KAMI HIDUP DI SEPANJANG SUNGAI KALIMALANG. Sebuah tempat di mana setiap hati saling bertaut dan rekaan surga telah berhenti sampai di sini. Kami hidup di sepanjang sungai Kalimalang karena kaki menuntun langkah ini untuk tak usah kemana-mana lagi.
Saat itu, hari masih sore saat seorang nenek tua sedang menyapu halaman rumahnya yang masih tanah. Gugur dedaunan dari pohon yang meranggas di depan rumahnya mulai terkumpul di satu titik untuk kemudian segera dibakar. Angin sore membawa bau lembut daun yang mulai mengering, bercampur dengan aroma tanah basah yang masih tertinggal dari hujan pagi tadi.
Nenek itu tinggal sendiri di sebuah rumah besar yang sudah dibangun sejak ia masih kecil. Almarhum ayahnya sendirilah yang mewariskan rumah itu dalam surat wasiat yang sampai sekarang masih tersimpan rapi bersama dokumen penting lainnya. Dahulu, rumah ini sering dipenuhi suara riuh anak-anaknya yang berlari di halaman, atau suaminya yang bersiul sambil menyiapkan perangkap ikan di sungai Kalimalang. Kini, semua itu hanya tinggal kenangan.
Tapi rumah di pinggiran Sungai Kalimalang itu tak seramai dulu lagi. Anaknya satu-persatu meninggalkan rumah, berkeluarga entah di mana dan mempunyai beberapa orang anak yang bahkan ia sendiri belum pernah melihatnya.
Tak tahukah mereka bahwa seorang cucu adalah salah satu syarat yang dapat menyempurnakan wujud setiap manusia berusia lanjut —seperti halnya ia sekarang? Mungkin suatu hari nanti ia akan pindah dari situ, dari rumah di pinggir sungai itu. Percakapan indah itu pun terjadi perlahan-lahan.
“Nenek sedang apa?” Suara seorang anak kecil tetangganya membuyarkan lamunan.
“Eh, Andin. Ini nenek lagi nyapu,” jawabnya singkat sambil tersenyum kecil.
“Nyapu apa, Nek?”
“Nyapuin daun-daun tua.”
“Kenapa daun-daun tua disapu, Nek?” Si kecil lalu jongkok tak jauh dari tumpukan daun yang disapu Nenek.
“Karena daun-daun tua ini jatuh dari pohonnya, dan hanya akan mengotori halaman kalau tidak dibersihkan.”
“Oo.. Jadi disapu biar bersih ya, Nek?!”
“Iya. Daun yang sudah tua akan rontok dari pohon, jatuh ke tanah, dan tidak berguna lagi. Nanti akan dibakar saja.”
“Nek, Ndin mau bantuin Nenek, nyapuin daun-daun tua. Boleh?”
“Boleh saja. Tapi nggak usah. Ini khan udah kerjaan nenek saban sore. Ndin main aja lagi sama Tiwul, sama Malik, dan sama temen-temen Ndin lainnya.”
“Enggak ah. Ndin mau di sini aja dulu. Ndin mau temenin nenek.”
Tanpa disuruh, anak kecil itu langsung saja duduk di beranda depan rumah itu. Api pelan-pelan mulai membakar tumpukan daun, melahirkan asap putih yang sesak–membumbung naik kemudian hilang dimakan langit sore. Sambil berdiri, nenek cuma bisa diam menyaksikan peristiwa yang ia ciptakan sendiri barusan. Apakah daun-daun tua itu pernah mengira sebelumnya bahwa suatu hari wujudnya akan musnah.
“Dan asap itu pun akan segera terlupakan,” bisik nenek pelan. Si kecil tak mendengar karena bola mata bulatnya memperhatikan pemandangan sederhana ini dengan takjub. Andin lalu berkata, “Nek, kalo Ndin udah gede nanti, Ndin mau nyapu halaman ini juga. Tapi Ndin nggak mau berhenti di situ. Ndin mau nyapu sungai juga, biar sungainya bersih lagi.”
Nenek tertawa kecil, matanya berkaca-kaca. Ia tidak tahu bagaimana menyapu sungai, tapi ia memahami keinginan anak itu. Dipeluknya erat Andin, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa tidak lagi sendirian. “Terima kasih, Ndin. Semoga mimpi kamu terwujud,” bisik nenek di telinga kecil itu.
Bertahun-tahun kemudian, Andin–yang beranjak dewasa, menikah, dan punya dua anak–tinggal di rumah besar milik nenek di samping sungai Kalimalang. Setelah menyapu pekarangan rumah, ia selalu menebar kembang melati di atas nisan nenek di dekat pohon besar depan rumah. Nisan itu menghadap ke sungai, seakan menjadi penjaga abadi tempat ini.
***
KAMI HIDUP DI SEPANJANG SUNGAI KALIMALANG. Sebuah tempat di mana setiap hati saling bertaut dan rekaan surga telah berhenti sampai di sini. Kami hidup di sepanjang sungai Kalimalang karena kaki menuntun langkah ini untuk tak usah kemana-mana lagi.
Sampai suatu hari ada dua orang pemuda yang sedang duduk-duduk di taman samping sungai Kalimalang sehabis hujan gerimis. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa sederhana. Dan segalanya seperti terasa menakjubkan. Seorang pemuda tampan berambut tebal hingga jatuh menutupi mata memulai percakapan.
PEMUDA 1:
“Adakah kau percaya padaku sekarang? Saat-saat ini adalah saat yang terbaik sejak 10 tahun persahabatan kita berjalan.”
PEMUDA 2:
“Ternyata kau betul. Untung kau mengajakku ke sini sekarang. Padahal tadinya kupikir akan lebih baik jika di rumah saja. Tidak kusangka sungai Kalimalang bisa sebagus ini sehabis hujan. Dan coba kau lihat di sana, aspal jalan raya seakan memantulkan cahaya keindahan sesungguhnya dari nyala lampu setiap kendaraan yang lewat. Begitu dekat dan nyata. Padahal baru malam ini aku tidak mabuk apa-apa.”
PEMUDA 1:
“Ha.. ha.. ha.. ha! Tidak hanya aku, tapi kau juga betul kawan. Aku bahkan pernah berpikir bahwa Tuhan sepertinya selalu tinggal tak jauh dari sini. Dan lalu.. bagaimana kabar orang tuamu di kampung? Apa-apa saja yang sudah kau bangun selama di sana?”
Untuk selanjutnya kedua pemuda ini bakal terus saling berbicara. Mereka memang teman lama, dan baru malam ini takdir kembali mempertemukan keduanya. Keindahan sungai Kalimalang memaksa kedua pasang mata itu terus menatap setiap sudut yang tersedia. Kelak di masa mendatang, kedua sahabat ini akan terus hidup bertetangga, beristri-anak-dan cucu di sebuah pemukiman sepanjang Sungai Kalimalang.
***
KAMI HIDUP DI SEPANJANG SUNGAI KALIMALANG. Sebuah tempat di mana setiap hati saling bertaut dan rekaan surga telah berhenti sampai di sini. Kami hidup di sepanjang sungai Kalimalang karena kaki menuntun langkah ini untuk tak usah kemana-mana lagi.
Tenangnya alam, segar bau tetumbuhan, udara yang memabukkan, kicau rindu nyanyian burung, lukisan awan di percikan langit; semuanya seperti melebur–berjalan tenang dan membaur seiring arus sungai imaji tanpa polusi yang diairi indahnya kecoklatan.
Jika anda memasuki daerah kami lewat jalan utama, anda dapat melihat barisan panjang dan teduhnya hijau pepohonan tua; bukti bahwa para leluhur kami sangat menghargai keserasian hidup antara manusia dengan alam.
Kenikmatan perjalanan anda menyimak pemandangan sekitar tentunya tak akan mengalami gangguan, sebab aspal yang melapisi jalan raya di bawahnya terbuat dari pasir alam dan kerikil-kerikil keselamatan dalam cairan sutera hitam yang telah mengeras dengan cara lembut.
Dan dapat dipastikan bahwa kami termasuk orang-orang yang berbahagia. Maka silahkan anda lihat sendiri bahwa anak-anak kami tumbuh riang dan subur dengan gizi sempurna yang mengalir di setiap jengkal darahnya.
Beranjak dewasa, generasi muda kami akan bekerja keras untuk menjadikan hidup ini lebih dari sekedar menggapai keinginan; karena bagi kami, hidup adalah sebuah rute berjalan yang tujuannya sudah hadir sejak saat sekarang.
Kami juga akan berbicara kepada siapa saja dengan sopan santun yang menyenangkan, layaknya setiap senyuman adalah lambang kebiasaan yang terlestarikan.
Lalu bagaimana dengan para orangtua? Para orangtua atau yang telah hidup di masa sebelumnya selalu meninggalkan tradisi, budaya, dan petuah bijak hasil pemikiran atas pengalaman selama ini–falsafah sederhana–yang kelak dijadikan bahan pertimbangan serta pembelajaran kami di kemudian hari.
Kami juga memperlakukan daerah pemukiman ini sebagai tempat tinggal yang nyaman untuk menghabiskan usia lanjut, demi menghadapi saat-saat perpindahan jiwa ke dunia selanjutnya dengan cara indah, halus, dan tenang.
Di sini, kematian merupakan pengalaman baru sebagai ritual suci yang mampu dimiliki setiap insan. Sebuah kematian yang menggairahkan, layaknya gairah akan kehidupan mereka itu sendiri.
Kami semua memang hidup di sepanjang sungai Kalimalang. Sebuah tempat di mana setiap hati saling bertaut dan rekaan surga telah berhenti sampai di sini. Kami hidup di sepanjang sungai Kalimalang karena kaki menuntun langkah ini untuk tak usah kemana-mana lagi. [T]