SETELAH lama berdinamika di Kota Denpasar, diri ini akhirnya dapat menikmati suasana pulang kampung ke Klungkung.
Bermodalkan tekad untuk healing awal tahun, sarira langsung menuju ke warung lokal bertagline “Mek Man”. Berdiameter kecil berlokasi dekat bencingah, warung ini ternyata masih berdiri kokoh dengan kesetiaannya menjajakan makanan-makanan tradisional. Salah satunya adalah makanan khas Klungkung yang bernama “serombotan”.
Daya tarik cita rasa serombotan khas Klungkung memang tiada tandingan. Dengan isi berupa campuran berbagai macam sayuran, ditimpali bumbu parutan kelapa serta kacang-kacangan, membuat lidah bergoyang-goyang tak tertahankan. Tanpa berpikir panjang, diri langsung memesan satu porsi tipat serombotan. Tak lupa juga ditimpali es rujak khas Klungkungsebagai teman minuman yang rasanya sangat menyegarkan.
“Sabar dulu nggih, Dik, niki Mek Man masih menyiapkan pesanan bapak-bapak disana,” ujar Mek Man sambil mengulek bumbu makanan.
Ternyata benar, di bangku warung sudah terdapat 4 orang bapak yang sedang menunggu pesanannya datang. Dengan kopi serta bungkusan rempeyek di tangan, mereka imbangi dengan berdialog satu sama lain. Saking asiknya obrolan bapak-bapak tersebut, turut menarik diri ini juga hanyut di dalamnya.
1. Petani akan Sirna atau Bertahan?
Bapak 1: “Aduhhh semakin lacur (miskin) saja jadi petani di zaman sekarang.”
Bapak 2: “Ya mau gimana lagi, Pak, lahan persawahan semakin sempit, harga barang pokok kian menjepit, ya petani jadi makin terhimpit.”
Bapak 3: “Belum lagi anak muda zaman sekarang ga ada yang mau jadi petani, Pak. Dibandingkan bertani, tentu mereka akan lebih memilih pekerjaan pasti.”
Bapak 4: “Jika dipikir-pikir, akan masih bertahan je ya pekerjaan petani di masa yang akan datang?”
Dari sisi data faktual dan aktual, apa yang menjadi topik obrolan dari bapak-bapak tersebut memang benar adanya.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2011, jumlah anak muda yang bergelut di bidang pertanian mencapai angka 29,18%. Angka tersebut kemudian merosot tajam di angka 19,18% pada tahun 2021. Penurunan angka tersebut menjadi refleksi rendahnya minat anak muda untuk bekerja sebagai petani.
Alasan yang dikemukakan oleh bapak- bapak tersebut juga dapat diterima. Jurnal Manajemen Agribisnis di tahun 2023 pernah mencatat bahwa salah satu faktor penentu menurunnya minat anak muda bergelut di sektor pertanian adalah citra penghasilan yang belum positif. Pertanian dianggap sebagai ladang yang tidak prestisius untuk menjamin kompensasi kehidupan di hari tua. Terlebih dengan era disrupsi saat ini, anak muda akan lebih memilih bekerja di subkultur teknologi dan informasi yang dianggap lebih menjanjikan. Tanpa kepedulian akan nasib kesejahteraan petani, hal ini bisa saja menjadi ancaman timbulnya krisis petani. Dari semua penjelasan tersebut, apakah mungkin suatu saat petani akan hilang?
***
2. Keasrian Bali akan Sirna atau Bertahan?
Bapak 1: “Prediksi tiang (saya) kayakne bakal hilang. Orang tanah-tanah persawahan liunan adepe (kebanyakan dijual). Gimana penerus mau ada jadi petani?”
Bapak 2: “Betul, Pak, dini-ditu (dimana-mana) pembangunan masif. Dibandingkan menanam padi, zaman jani (sekarang) liunan anak lebih memilih (kebanyakan) menanam beton.”
Bapak 3: “Sesungguhnya itu pertanda keasrian Bali sudah mekere (akan) hilang, Pak. Gumatap– gumatip (binatang kecil-kecil) sudah tidak terdengar, bumi semakin panas, punyan-punyanan (pohon-pohonan) kena enteb (ditebang).”
Bapak 4: “Mimih Dewa Ratu, apa je kar jadine (akan jadinya) jak (dengan) Bumi Bali ke depannya nah.”
Berdasarkan sisi empiris, apa yang dikemukakan oleh bapak-bapak tersebut juga benar adanya. Lahan-lahan hijau di daerah persawahan maupun perbukitan yang menghiasi Bali kian menipis dari hari ke hari. Giatnya pembangunan serta alih fungsi lahan menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini pun pada akhirnya berimbas pada banyaknya pohon-pohon serta kawasan hijau yang bertransformasi menjadi bangunan-bangunan.
Sejak saat itu, tidak terlihat lagi capung, bunyi enggung (kodok), serta kelap-kelipnya kunang-kunang di malam hari. Di samping habitatnya dirampas, suara mereka juga kalah oleh suara musik DJ dan suara bising lainnya yang ditimbulkan oleh manusia. Apabila semua ini terus dibiarkan, tanpa regulasi dan perhatian serius kepada alam, apakah benar keasrian Bali akan jadi tinggal kenangan?
***
3. Pariwisata Bali akan Hilang?
Bapak 1: “Lah Bapak tidak mendengar berita? Bali bahkan masuk ke dalam destinasi wisata yang tidak layak dikunjungi. Itu dah akibat keasrian dan kenyamanan Bali dipertanyakan.”
Bapak 2: “Betul Pak, apalagi keamanan Bali juga semakin memprihatinkan. Berita motor pisage (teman) hilang, rampok, begal, saling antem (pukul) di jalanan, seperti jadi makanan sehari-hari.”
Bapak 3: “Ah itu baru seberapa, Pak, masalah sampah juga sing pragat–pragat (tidak selesai-selesai). Belum lagi di kota sekarang, jalanane macet sing kodag-kodag (tidak tertahankan).”
Bapak 4: “Jika dipikir-pikir lagi dengan semua keadaan itu, masih seken-seken (baik-baik) je ya dikelola Pariwisata Bali? Pariwisata yang katanya berbasis budaya, ditimpali alam Bali yang indah dan juga asri”
Berdasarkan obrolan tersebut, bisa tercermin skeptisme bapak-bapak terkait hilangnya Taksu Bali yang aman, tentram, dan nyaman. Sebagai penguat, data dari BPS pernah mencatat kenaikan tingkat kriminalitas dalam beberapa tahun terakhir di Pulau Bali. Lonjakan terjadi pada tahun 2023, dimana BPS mencatat ada 10.889 kasus, dibandingkan tahun 2022 yang mencatat 3.945 kasus.
Lebih lanjut, permasalahan sampah juga menjadi tantangan pelik yang mesti dihadapi oleh Pulau Bali. Terbakarnya beberapa TPA/TPS, serta mulai masifnya timbul banjir di beberapa titik menjadi refleksi nyata dari dampak permasalahan sampah yang belum usai. Isu kenyamanan juga diperparah dengan timbulnya kemacetan di beberapa titik yang disinyalir akibat over tourism. Jadi apakah mungkin kriteria Bali sebagai destinasi wisata yang tak layak dikunjungi itu sesuatu yang layak?
***
Bapak 1: “Jika berkaitan dengan Pariwisata, ya sudah pasti itu akan….”
“Beh jaen sajan (enak sekali) bapak-bapak niki ngorte (ngobrol). Sudahi dumun (dulu), niki ajengannya (makanannya) sudah tiba,”potong Mek Man sambil membawakan pesanan.
Kedatangan Mek Man dengan membawa pesanan menjadi penutup obrolan intens bapak-bapak tersebut. Topik obrolan yang dilihat dari kulit luar semacam tercampur-campur dari berbagai macam bahan, namun sesungguhnya teraduk dan menyatu menjadi satu kesatuan keresahan. Obrolan yang diri ini ibaratkan bak adonan tipat serombotan dari Mek Man yang sedang diulek. Memiliki cita rasa khas yang pedas, namun tetap bisa dinikmati dengan penuh kenikmatan. [T]
BACA artikel lain dari penulis DEWA GEDE DARMA PERMANA