9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Ibu Menemaniku Saat Skizofrenia Mendera

Angga WijayabyAngga Wijaya
December 21, 2024
inEsai
Telenovela

Angga Wijaya

SUARA dari kotak pesan itu kudengar kembali. Ibu meminjam ponsel pintar milik kakak untuk mengirim pesan suara padaku. Beliau meminta agar aku dan pasanganku saling mengalah dan bersabar. Pesan itu sering kudengarkan saat kami berselisih paham. Ibu telah berpulang tiga tahun lalu, pada dini hari saat beliau tidur. Keluarga kami kehilangan sosok baik hati lagi penyayang. Ibu meninggalkan banyak kenangan berarti di hati kami, anak-anak dan cucu beliau.

Menikah dengan lelaki berbeda budaya dan agama, ibu pernah berkata padaku, tidak mudah. Ibu blasteran Belanda dan Jawa. Ayah berdarah Bali. Mereka bertemu saat bersekolah di Jawa Timur. Ayah memboyong ibu ke Bali, dan menikahinya. Mereka menikah di usia teramat muda.

Ibu mengalami kesulitan beradaptasi dengan keluarga besar ayah yang ketika itu kaya. Kakek pengusaha hasil bumi. Anak-anaknya diajaknya bekerja dengannya, termasuk ayah. Ibu kurang setuju dengan pola itu. Ia ingin ayah bisa mandiri dan tidak tergantung kepada keluarga besar. Ibu dan ayah kemudian mencoba usaha kuliner, membuka rumah makan dan berjualan tiket bus.

Perlahan, usaha mereka maju. Bus-bus yang hendak menuju Pulau Jawa dari Denpasar mampir di rumah makan “Melati” di kota Negara, kabupaten Jembrana, Bali bagian barat. Soto ayam buatan ibu amat digemari para penumpang bus. Ibu menjadi perempuan pengusaha yang disegani di kota kecil kami. Beliau aktif di IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) dan banyak punya teman pejabat. Aku dilahirkan saat ibu sedang berjaya secara ekonomi maupun pekerjaan.

Sayangnya, aku lahir muda atau dikenal dengan istilah prematur. Tiga bulan lamanya aku berada di inkubator sebuah klinik di kota Negara. Klinik itu milik yayasan Katolik. Ayah yang dilahirkan dalam keluarga Hindu berdoa di depan potret Bunda Maria, agar aku bisa pulih dan segera pulang, berkumpul dengan keluarga. Saat kesehatanku berangsur baik, ada anggota keluarga dekat yang kerapkali menyambangiku.

Mereka dua gadis bersaudara anak-anak dari paman, yang merasa “jatuh-hati” denganku. Dengan meminta izin dari ibu, mereka merawatku dan mengajakku ke rumah keluarga paman, kakak dari ayah. Dua minggu “dipinjam” lalu dipulangkan kembali, satu minggu berikutnya “dipinjam” lagi, dua minggu hingga satu bulan lamanya. Akhirnya, kakek menyarankan kepada paman untuk seterusnya mengasuhku. Ibu dan ayahku setuju.

Pada usia enam bulan, aku resmi menjadi bagian dari keluarga paman dan bibi. Mereka mengganti nama belakangku agar sama dengan saudara-saudara “angkat”-ku. Di samping itu, karena saat kecil aku sering menderita sakit parah.

Keterpisahan dengan ibu dan ayah baru berdampak saat aku duduk di sekolah dasar. Mulanya aku tak tahu bahwa keluarga yang mengasuhku bukan keluarga “kandung” Aku justru mengetahui hal sebenarnya dari para tetangga yang dengan kelakar dan canda mengejekku. Aku sedikit terguncang, tetapi aku diam dan tak menanyakannya pada paman dan bibi. Aku takut jikalau mereka yang telah menganggapku sebagai anak sendiri menjadi sedih atau tersinggung. Kenyataan bahwa aku anak “adopsi” aku terima dengan setengah hati, karena perasaan yang muncul kemudian adalah aku merasa sebagai anak yang tidak diharapkan dan “terbuang”; mengapa kedua orang tua kandungku dengan mudah memberi izin aku diasuh keluarga lain? Itu sering aku pertanyakan. Aku juga menganggap hidup dan Tuhan sangatlah tidak adil.

“Sampah” pikiran dan perasaan tersebut aku terus bawa hingga aku SMA. Aku sering mengalami sulit tidur, gampang tersinggung dan marah-marah. Terutama saat aku kelas tiga saat ujian akhir sekolah segera tiba. Saat mengerjakan soal-soal ujian, ada bisikan-bisikan suara yang mengatakan aku akan menjadi juara—nilaiku tertinggi di tingkat kabupaten.

Karena bisikan-bisikan itu aku tiap kali mengikuti ujian menjadi siswa pertama yang mengumpulkan jawaban, sementara siswa lain masih mengerjakan soal ujian. Saat itu sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku mengalami ketegangan karena mulai sering menginap di rumah keluarga kandung dan hal tersebut tidak disukai oleh keluarga “angkat” terutama oleh paman atau ayah angkatku.

Aku mengalami depresi. Itu aku tahu sewaktu kakak kandungku mengajakku berobat pada salah satu psikiater di Denpasar. Aku diberi obat, hanya saja pengobatan tidak berlanjut lagi setelah obat dari psikiater habis. Entah mengapa, mungkin kakakku merasa malu bahwa aku dirawat psikiater. Stigma tentang penyakit jiwa begitu kental di masyarakat, termasuk di Bali.

Pada 2002 aku menamatkan studiku di SMA. Oleh paman dan bibi aku disuruh untuk berkuliah. Biaya akan ditanggung oleh dua anaknya. Aku mengiyakan saja. Ketika itu aku telah diterima menjadi mahasiswa jurusan Antropologi Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana melalui jalur PMDK. Hanya saja, keluarga angkat tidak setuju dengan jurusan yang kupilih.. Aku merasa kecewa. Akhirnya aku kuliah di program diploma satu bahasa Inggris di Universitas Udayana.

Setamat diploma satu, aku melanjutkan studi di Program Ekstensi S1 Sastra Inggris di universitas yang sama. Bertahan hanya satu tahun, sebelum akhirnya aku diam-diam mendaftar Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) agar bisa kuliah di jurusan Antropologi Budaya. Aku lulus ujian. Cita-cita lama akhirnya tercapai. Kuliah Antropologi dengan penuh antusiasme aku jalani. Hingga hampir lima tahun lamanya. Mahasiswa Antropologi saat itu dikenal kuliah dengan waktu yang lebih lama dari biasanya,

Bahkan, ada yang tujuh tahun baru tamat. Rata-rata mereka “aktivis” dan pegiat organisasi kampus dan luar kampus, membuat mereka terlalu larut sehingga melupakan untuk tamat tepat waktu, menjadi sarjana dan menjadi kebanggaan keluarga.

Menginjak semester sebelas, ada dua mata kuliah yang aku harus ulang. Praktik kerja lapangan (PKL) dan ujian PKL telah aku ikuti sehingga hanya tinggal menyusun skripsi yang belum aku jalani. Kesulitan tidur aku alami kembali. Bahkan hingga dua minggu lamanya. Ketika itu aku tinggal di rumah kost dekat kampus. Jarang dijenguk keluarga karena sebelumnya mereka tahu aku lama menetap di ashram—sejenis padepokan atau pesantren dalam terminologi Islam. Sejak keluar dari ashram, aku bekerja di sebuah warung internet (warnet) karena biaya dari keluarga angkat diputus terlebih setelah mereka kecewa saat tahu aku pindah jurusan kuliah diam-diam.

Salahku juga mengapa tidak terbuka. Aku pribadi yang tertutup waktu itu. Semua masalah aku pendam sendiri. Sering mengambil sebuah keputusan sendiri tanpa berkonsultasi atau berdiskusi dengan keluarga. Kondisiku saat itu lebih parah dari saat aku depresi pertama kali saat SMA. Aku merasa sebagai “orang suci” yang mempunyai misi tertentu. Gejala ini kemudian hari aku tahu bernama waham atau delusi, pola pikir dan keyakinan yang dirasakan benar walaupun sebenarnya keliru, tidak logis, dan jauh dari realitas atau kenyataan.

Pada 2009, aku didiagnosa mengidap skizofrenia paranoid oleh psikiater di rumah sakit jiwa (RSJ) provinsi Bali. Dua minggu lamanya aku dirawat disana, setelah sebelumnya mengamuk dan merusak warung milik warga saat aku berkunjung ke rumah bibiku di salah satu kabupaten di Bali. Aku diamankan pihak berwenang yang menghubungi keluargaku untuk menjemput dan membawaku berobat di RSJ. Hatiku remuk-redam. Kuliah tidak bisa aku selesaikan padahal hampir tamat. Sebenarnya bisa saja mengambil cuti kuliah selama aku sakit, tetapi itu tidak dilakukan kakak-kakakku. Mereka memutuskan aku tidak lagi tinggal di Denpasar dan kembali ke kampung halaman di Negara, Jembrana, Bali.

Aku dianggap tidak punya masa depan. Obat-obatan anti-psikotik membuat badanku kaku bagai seonggok robot. Aku juga sering mengantuk dan tidak bisa beraktivitas secara “normal”. Tak punya pekerjaan. Gagal menjadi sarjana. Aku benar-benar terpuruk dan berada di titik nol kehidupan. Hanya ibu kandungku yang menerima kondisiku dengan apa adanya. Setelah aku sakit, oleh keluarga angkat aku “dikembalikan” kepada keluaraga kandung. Aku menjadi mengenal kembali ibu dan ayah kandungku yang sempat “terpisah” lama sekali.

Ibu pada usia senja masih aktif bekerja. Bersama ayah ia membuka usaha laundry. Banyak pelanggan yang menyukai hasil cucian ibu. Aku diberi tugas untuk menjaga ruangan depan dan menerima orang yang membawa cucian untuk dicatat. Aku juga bertugas mengantar cucian yang sudah selesai dicuci dan disterika ke beberapa pelanggan. Biasanya sore dan malam hari.

Aktivitas harian itu sedikit banyak berperan pada pemulihan skizofrenia yang aku idap, selain tentunya berobat rutin ke Puskesmas yang saat itu setiap bulan dikunjungi tenaga kesehatan dari RSJ Provinsi Bali. Biaya pengobatan gratis. Itu tentu membantu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan keluarganya, terutama yang termasuk keluarga pra-sejahtera.

Semua kejadian yang menimpa kita, betapa pun buruknya, pasti memiliki hikmah. Itu pula yang aku rasakan saat kembali berkumpul bersama ayah dan juga ibu yang melahirkanku. Kami banyak mengobrol tentang kisah masa lalunya sewaktu kecil dan remaja. Ibu dididik untuk mandiri semenjak kecil. Beliau juga kehilangan sosok ayah yang wafat sewaktu menjadi tentara NICA. Sementara ibunya (nenek) mengalami depresi semenjak ditinggal kakek bertugas di banyak tempat di Indonesia. Ibu lalu diasuh anggota keluarga lain di Surabaya. Hingga remaja, saat ia ingin mengenal ibu kandungnya  dan pulang ke Negara, tempat nenek lahir dan dibesarkan.

Ibu melepasku dengan kesedihan, saat aku diterima bekerja di sebuah desa di Buleleng, Bali bagian utara, sebagai pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah dasar. Sebuah yayasan pendidikan membuka lowongan pekerjaan yang informasinya aku dapatkan di media sosial. Aku mengirim lamaran lalu diwawancarai melalui telepon dan akhirnya diterima bekerja di yayasan tersebut.

Aku bekerja di Buleleng hanya tiga bulan lamanya, tidak lolos masa percobaan, karena kompetensiku sebagai pengajar dinilai kurang cukup. Setelah itu aku kembali ke kampung halaman untuk kemudian menuju Denpasar, bekerja sebagai jurnalis dan menekuni lagi kegemaran menulis yang tumbuh sejak SMA. Ibu membaca puisi-puisi dan esai yang aku tulis. Beliau sangat senang dan selalu mendukung apa yang aku tekuni sejauh itu baik.

Ibu menemaniku dalam masa pemulihan skizofrenia, yang orang lain kerap kali tertawa melihat kondisi mentalku yang hancur. Beberapa kali aku pulang ketika hari raya setelah menetap dan bekerja di Denpasar. Ibu selalu ada untukku. Lima tahun lamanya kami bersama dalam suka dan duka. Puisi aku tulis dari kebersamaan kami. Berikut salah satunya:

Lagu untuk Ibu

Jika engkau selalu berdendang tentang
kepalsuan dunia, aku pernah ingin mati
tinggalkan semua kenangan tentang diri

Mimpi buruk hantui malam, walau aku
tahu masa lalu telah lama berlalu dan
kalender berganti tanpa pernah kusadari

Engkau di mana saat aku kecil dirawat
di rumah sakit dan terus menanyakan
mengapa kau belum juga datang melihat

Aku terpaksa pulang ke kampung halaman
saat skizofrenia merampas mimpi indah
hidupku, harapan yang sekejap kandas

Akhirnya aku mengenalmu, tak ada lagi
sesal kelahiran, kupeluk masa lalu seperti
memeluk tubuh tuamu di dingin dini hari

Kutemui lagi ibu yang dulu tak sempat
kukenal, ia mengusap kesedihan di hati
yang gundah dan kalah oleh kenyataan

Ibu membaca puisi-puisiku dalam buku.
Ia sangat senang melihat diriku kembali
temukan kepingan diri yang dulu hilang

Kudengar suara pelan di telepon, ibu
datang ke kota tempatku kini bekerja
Kami saling menatap penuh rasa haru

2020

BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA

Pekerja Anak Dalam Kenangan
“Galbay” di Negeri “Wakanda”: Sebuah Renungan
Setelah Suami Berpulang
Enam Bulan Kerinduan
Perlukah Mal di Bali: Sebuah Kajian Antropologis

Tags: ibuibu dan anakskizofrenia
Previous Post

Modernitas Logika dalam Perspektif Pendidikan

Next Post

Surealisme Tari Bali

Angga Wijaya

Angga Wijaya

Bernama lengkap I Ketut Angga Wijaya. Lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Belajar menulis puisi sejak bergabung di Komunitas Kertas Budaya asuhan penyair Nanoq da Kansas. Puisi-puisinya pernah dimuat di Warta Bali, Jembrana Post, Independent News, Riau Pos, Bali Post, Jogja Review, Serambi Indonesia dan Antologi Puisi Dian Sastro for President! End of Trilogy (INSIST Press, 2005). Bekerja sebagai wartawan di Denpasar.

Next Post
Surealisme Tari Bali

Surealisme Tari Bali

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more

Deepfake Porno, Pemerkosaan Simbolik, dan Kejatuhan Etika Digital Kita

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 9, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

BEBERAPA hari ini, jagat digital Indonesia kembali gaduh. Bukan karena debat capres, bukan pula karena teori bumi datar kambuhan. Tapi...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co