SUARA dari kotak pesan itu kudengar kembali. Ibu meminjam ponsel pintar milik kakak untuk mengirim pesan suara padaku. Beliau meminta agar aku dan pasanganku saling mengalah dan bersabar. Pesan itu sering kudengarkan saat kami berselisih paham. Ibu telah berpulang tiga tahun lalu, pada dini hari saat beliau tidur. Keluarga kami kehilangan sosok baik hati lagi penyayang. Ibu meninggalkan banyak kenangan berarti di hati kami, anak-anak dan cucu beliau.
Menikah dengan lelaki berbeda budaya dan agama, ibu pernah berkata padaku, tidak mudah. Ibu blasteran Belanda dan Jawa. Ayah berdarah Bali. Mereka bertemu saat bersekolah di Jawa Timur. Ayah memboyong ibu ke Bali, dan menikahinya. Mereka menikah di usia teramat muda.
Ibu mengalami kesulitan beradaptasi dengan keluarga besar ayah yang ketika itu kaya. Kakek pengusaha hasil bumi. Anak-anaknya diajaknya bekerja dengannya, termasuk ayah. Ibu kurang setuju dengan pola itu. Ia ingin ayah bisa mandiri dan tidak tergantung kepada keluarga besar. Ibu dan ayah kemudian mencoba usaha kuliner, membuka rumah makan dan berjualan tiket bus.
Perlahan, usaha mereka maju. Bus-bus yang hendak menuju Pulau Jawa dari Denpasar mampir di rumah makan “Melati” di kota Negara, kabupaten Jembrana, Bali bagian barat. Soto ayam buatan ibu amat digemari para penumpang bus. Ibu menjadi perempuan pengusaha yang disegani di kota kecil kami. Beliau aktif di IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) dan banyak punya teman pejabat. Aku dilahirkan saat ibu sedang berjaya secara ekonomi maupun pekerjaan.
Sayangnya, aku lahir muda atau dikenal dengan istilah prematur. Tiga bulan lamanya aku berada di inkubator sebuah klinik di kota Negara. Klinik itu milik yayasan Katolik. Ayah yang dilahirkan dalam keluarga Hindu berdoa di depan potret Bunda Maria, agar aku bisa pulih dan segera pulang, berkumpul dengan keluarga. Saat kesehatanku berangsur baik, ada anggota keluarga dekat yang kerapkali menyambangiku.
Mereka dua gadis bersaudara anak-anak dari paman, yang merasa “jatuh-hati” denganku. Dengan meminta izin dari ibu, mereka merawatku dan mengajakku ke rumah keluarga paman, kakak dari ayah. Dua minggu “dipinjam” lalu dipulangkan kembali, satu minggu berikutnya “dipinjam” lagi, dua minggu hingga satu bulan lamanya. Akhirnya, kakek menyarankan kepada paman untuk seterusnya mengasuhku. Ibu dan ayahku setuju.
Pada usia enam bulan, aku resmi menjadi bagian dari keluarga paman dan bibi. Mereka mengganti nama belakangku agar sama dengan saudara-saudara “angkat”-ku. Di samping itu, karena saat kecil aku sering menderita sakit parah.
Keterpisahan dengan ibu dan ayah baru berdampak saat aku duduk di sekolah dasar. Mulanya aku tak tahu bahwa keluarga yang mengasuhku bukan keluarga “kandung” Aku justru mengetahui hal sebenarnya dari para tetangga yang dengan kelakar dan canda mengejekku. Aku sedikit terguncang, tetapi aku diam dan tak menanyakannya pada paman dan bibi. Aku takut jikalau mereka yang telah menganggapku sebagai anak sendiri menjadi sedih atau tersinggung. Kenyataan bahwa aku anak “adopsi” aku terima dengan setengah hati, karena perasaan yang muncul kemudian adalah aku merasa sebagai anak yang tidak diharapkan dan “terbuang”; mengapa kedua orang tua kandungku dengan mudah memberi izin aku diasuh keluarga lain? Itu sering aku pertanyakan. Aku juga menganggap hidup dan Tuhan sangatlah tidak adil.
“Sampah” pikiran dan perasaan tersebut aku terus bawa hingga aku SMA. Aku sering mengalami sulit tidur, gampang tersinggung dan marah-marah. Terutama saat aku kelas tiga saat ujian akhir sekolah segera tiba. Saat mengerjakan soal-soal ujian, ada bisikan-bisikan suara yang mengatakan aku akan menjadi juara—nilaiku tertinggi di tingkat kabupaten.
Karena bisikan-bisikan itu aku tiap kali mengikuti ujian menjadi siswa pertama yang mengumpulkan jawaban, sementara siswa lain masih mengerjakan soal ujian. Saat itu sebenarnya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku mengalami ketegangan karena mulai sering menginap di rumah keluarga kandung dan hal tersebut tidak disukai oleh keluarga “angkat” terutama oleh paman atau ayah angkatku.
Aku mengalami depresi. Itu aku tahu sewaktu kakak kandungku mengajakku berobat pada salah satu psikiater di Denpasar. Aku diberi obat, hanya saja pengobatan tidak berlanjut lagi setelah obat dari psikiater habis. Entah mengapa, mungkin kakakku merasa malu bahwa aku dirawat psikiater. Stigma tentang penyakit jiwa begitu kental di masyarakat, termasuk di Bali.
Pada 2002 aku menamatkan studiku di SMA. Oleh paman dan bibi aku disuruh untuk berkuliah. Biaya akan ditanggung oleh dua anaknya. Aku mengiyakan saja. Ketika itu aku telah diterima menjadi mahasiswa jurusan Antropologi Budaya Fakultas Sastra Universitas Udayana melalui jalur PMDK. Hanya saja, keluarga angkat tidak setuju dengan jurusan yang kupilih.. Aku merasa kecewa. Akhirnya aku kuliah di program diploma satu bahasa Inggris di Universitas Udayana.
Setamat diploma satu, aku melanjutkan studi di Program Ekstensi S1 Sastra Inggris di universitas yang sama. Bertahan hanya satu tahun, sebelum akhirnya aku diam-diam mendaftar Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) agar bisa kuliah di jurusan Antropologi Budaya. Aku lulus ujian. Cita-cita lama akhirnya tercapai. Kuliah Antropologi dengan penuh antusiasme aku jalani. Hingga hampir lima tahun lamanya. Mahasiswa Antropologi saat itu dikenal kuliah dengan waktu yang lebih lama dari biasanya,
Bahkan, ada yang tujuh tahun baru tamat. Rata-rata mereka “aktivis” dan pegiat organisasi kampus dan luar kampus, membuat mereka terlalu larut sehingga melupakan untuk tamat tepat waktu, menjadi sarjana dan menjadi kebanggaan keluarga.
Menginjak semester sebelas, ada dua mata kuliah yang aku harus ulang. Praktik kerja lapangan (PKL) dan ujian PKL telah aku ikuti sehingga hanya tinggal menyusun skripsi yang belum aku jalani. Kesulitan tidur aku alami kembali. Bahkan hingga dua minggu lamanya. Ketika itu aku tinggal di rumah kost dekat kampus. Jarang dijenguk keluarga karena sebelumnya mereka tahu aku lama menetap di ashram—sejenis padepokan atau pesantren dalam terminologi Islam. Sejak keluar dari ashram, aku bekerja di sebuah warung internet (warnet) karena biaya dari keluarga angkat diputus terlebih setelah mereka kecewa saat tahu aku pindah jurusan kuliah diam-diam.
Salahku juga mengapa tidak terbuka. Aku pribadi yang tertutup waktu itu. Semua masalah aku pendam sendiri. Sering mengambil sebuah keputusan sendiri tanpa berkonsultasi atau berdiskusi dengan keluarga. Kondisiku saat itu lebih parah dari saat aku depresi pertama kali saat SMA. Aku merasa sebagai “orang suci” yang mempunyai misi tertentu. Gejala ini kemudian hari aku tahu bernama waham atau delusi, pola pikir dan keyakinan yang dirasakan benar walaupun sebenarnya keliru, tidak logis, dan jauh dari realitas atau kenyataan.
Pada 2009, aku didiagnosa mengidap skizofrenia paranoid oleh psikiater di rumah sakit jiwa (RSJ) provinsi Bali. Dua minggu lamanya aku dirawat disana, setelah sebelumnya mengamuk dan merusak warung milik warga saat aku berkunjung ke rumah bibiku di salah satu kabupaten di Bali. Aku diamankan pihak berwenang yang menghubungi keluargaku untuk menjemput dan membawaku berobat di RSJ. Hatiku remuk-redam. Kuliah tidak bisa aku selesaikan padahal hampir tamat. Sebenarnya bisa saja mengambil cuti kuliah selama aku sakit, tetapi itu tidak dilakukan kakak-kakakku. Mereka memutuskan aku tidak lagi tinggal di Denpasar dan kembali ke kampung halaman di Negara, Jembrana, Bali.
Aku dianggap tidak punya masa depan. Obat-obatan anti-psikotik membuat badanku kaku bagai seonggok robot. Aku juga sering mengantuk dan tidak bisa beraktivitas secara “normal”. Tak punya pekerjaan. Gagal menjadi sarjana. Aku benar-benar terpuruk dan berada di titik nol kehidupan. Hanya ibu kandungku yang menerima kondisiku dengan apa adanya. Setelah aku sakit, oleh keluarga angkat aku “dikembalikan” kepada keluaraga kandung. Aku menjadi mengenal kembali ibu dan ayah kandungku yang sempat “terpisah” lama sekali.
Ibu pada usia senja masih aktif bekerja. Bersama ayah ia membuka usaha laundry. Banyak pelanggan yang menyukai hasil cucian ibu. Aku diberi tugas untuk menjaga ruangan depan dan menerima orang yang membawa cucian untuk dicatat. Aku juga bertugas mengantar cucian yang sudah selesai dicuci dan disterika ke beberapa pelanggan. Biasanya sore dan malam hari.
Aktivitas harian itu sedikit banyak berperan pada pemulihan skizofrenia yang aku idap, selain tentunya berobat rutin ke Puskesmas yang saat itu setiap bulan dikunjungi tenaga kesehatan dari RSJ Provinsi Bali. Biaya pengobatan gratis. Itu tentu membantu orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan keluarganya, terutama yang termasuk keluarga pra-sejahtera.
Semua kejadian yang menimpa kita, betapa pun buruknya, pasti memiliki hikmah. Itu pula yang aku rasakan saat kembali berkumpul bersama ayah dan juga ibu yang melahirkanku. Kami banyak mengobrol tentang kisah masa lalunya sewaktu kecil dan remaja. Ibu dididik untuk mandiri semenjak kecil. Beliau juga kehilangan sosok ayah yang wafat sewaktu menjadi tentara NICA. Sementara ibunya (nenek) mengalami depresi semenjak ditinggal kakek bertugas di banyak tempat di Indonesia. Ibu lalu diasuh anggota keluarga lain di Surabaya. Hingga remaja, saat ia ingin mengenal ibu kandungnya dan pulang ke Negara, tempat nenek lahir dan dibesarkan.
Ibu melepasku dengan kesedihan, saat aku diterima bekerja di sebuah desa di Buleleng, Bali bagian utara, sebagai pengajar bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah dasar. Sebuah yayasan pendidikan membuka lowongan pekerjaan yang informasinya aku dapatkan di media sosial. Aku mengirim lamaran lalu diwawancarai melalui telepon dan akhirnya diterima bekerja di yayasan tersebut.
Aku bekerja di Buleleng hanya tiga bulan lamanya, tidak lolos masa percobaan, karena kompetensiku sebagai pengajar dinilai kurang cukup. Setelah itu aku kembali ke kampung halaman untuk kemudian menuju Denpasar, bekerja sebagai jurnalis dan menekuni lagi kegemaran menulis yang tumbuh sejak SMA. Ibu membaca puisi-puisi dan esai yang aku tulis. Beliau sangat senang dan selalu mendukung apa yang aku tekuni sejauh itu baik.
Ibu menemaniku dalam masa pemulihan skizofrenia, yang orang lain kerap kali tertawa melihat kondisi mentalku yang hancur. Beberapa kali aku pulang ketika hari raya setelah menetap dan bekerja di Denpasar. Ibu selalu ada untukku. Lima tahun lamanya kami bersama dalam suka dan duka. Puisi aku tulis dari kebersamaan kami. Berikut salah satunya:
Lagu untuk Ibu
Jika engkau selalu berdendang tentang
kepalsuan dunia, aku pernah ingin mati
tinggalkan semua kenangan tentang diri
Mimpi buruk hantui malam, walau aku
tahu masa lalu telah lama berlalu dan
kalender berganti tanpa pernah kusadari
Engkau di mana saat aku kecil dirawat
di rumah sakit dan terus menanyakan
mengapa kau belum juga datang melihat
Aku terpaksa pulang ke kampung halaman
saat skizofrenia merampas mimpi indah
hidupku, harapan yang sekejap kandas
Akhirnya aku mengenalmu, tak ada lagi
sesal kelahiran, kupeluk masa lalu seperti
memeluk tubuh tuamu di dingin dini hari
Kutemui lagi ibu yang dulu tak sempat
kukenal, ia mengusap kesedihan di hati
yang gundah dan kalah oleh kenyataan
Ibu membaca puisi-puisiku dalam buku.
Ia sangat senang melihat diriku kembali
temukan kepingan diri yang dulu hilang
Kudengar suara pelan di telepon, ibu
datang ke kota tempatku kini bekerja
Kami saling menatap penuh rasa haru
2020
BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA