FILM pendek “When Cening Meets Kawa, the Magical Forest” berhasil mencuri perhatian publik setelah resmi menjadi Official Selection pada Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-19 dalam program Layar Anak Indonesiana kategori fiksi.
Festival film Jogja-NETPAC Asian Film Festival yang berlangsung dari 30 November hingga 7 Desember 2024 mengangkat tema besar “Metanoia”.
Selain pemutaran film, festival ini juga menghadirkan acara film market di JEC yang menjadi wadah penting bagi pelaku industri untuk berjejaring dan memperkuat ekosistem perfilman Indonesia.
Film ini “When Cening Meets Kawa, the Magical Forest” ini ditayangkan perdana di Empire XXI Yogyakarta pada 1 Desember 2024 pukul 14.15 WIB dan mendapat perhatian besar dari pengunjung karena film dari Bali ini mengangkat budaya Bali, juga fantasi anak-anak.
Film yang berdurasi 13 menit ini merupakan karya sutradara perempuan asal Yogyakarta, Epriliana Fitri Ayu Pamungkas, atau yang akrab disapa Ayu Pamungkas, yang kini menetap di Bali.
Tim produksi dan pemain film When Cening Meets Kawa, the Magical Forest” di JAFF ke-19
Ayu berkolaborasi dengan I Made Denny Chrisna Putra selaku produser sekaligus sinematografer film ini untuk menciptakan sebuah cerita yang memadukan fantasi dan nilai budaya Bali.
Diproduksi oleh DENFILM Bali di bawah naungan PT. Sinemedia Kreatif Bali, film ini mendapatkan dukungan dari program open call Layar Anak Indonesiana yang digagas oleh Indonesiana.tv.
Cerita dan Motivasi di Balik Layar
“When Cening Meets Kawa, the Magical Forest” bercerita tentang perjalanan seorang anak perempuan bernama Cening yang bertemu dengan makhluk ajaib bernama Kawa di sebuah hutan magis.
Ayu Pamungkas menjelaskan, menjadi seorang ibu dari anak perempuan telah memberinya tantangan tersendiri dalam memahami dunia anak.
“Motivasi saya menciptakan cerita ini adalah untuk memberikan nasihat melalui media yang menyenangkan bagi anak-anak, sambil mengeksplorasi tema lingkungan yang erat dengan budaya tradisional Bali,” kata Ayu,
Proses penciptaan karakter Kawa, yang menjadi daya tarik utama film ini, membutuhkan eksplorasi mendalam.
“Kami ingin menciptakan karakter yang bersahabat, bukan menyeramkan, sehingga anak-anak merasa nyaman dan terhubung dengan cerita,” tambah Ayu.
Dengan prosthetic makeup dan kostum memukau, Kawa menjadi ikon unik yang memikat anak-anak tanpa kehilangan unsur budaya.
Selain itu, film ini juga menyisipkan elemen tari tradisional yang ditampilkan oleh penari-penari muda, menambah nuansa budaya yang kuat.
“Menggunakan fantasi dengan latar budaya Bali memungkinkan anak-anak untuk memahami nilai tradisi dengan cara yang menyenangkan,” ujar Ayu.
Produksi yang Serius dengan Sentuhan Profesional
Sebagai produser, Denny Chrisna Putra yang juga dosen Film di ISI Denpasar, menekankan bahwa film ini dikerjakan dengan sangat serius. Dengan dukungan teknologi visual yang canggih, production value-nya terlihat menonjol dibandingkan karya lain di kategori yang sama.
“Visual dan narasi yang kami bangun dibuat ringan dan mudah diterima oleh anak-anak, namun tetap memiliki kedalaman untuk penonton dewasa,” jelas Denny.
Denny juga menyoroti pentingnya pengembangan konten anak-anak di Indonesia. “Kita membutuhkan lebih banyak konten menarik untuk anak-anak, agar mereka bisa mengalihkan kebiasaan bermain gadget ke tontonan yang edukatif. Program seperti Layar Anak ini penting untuk dilanjutkan setiap tahunnya,” tegasnya.
Program Open Call dan Masa Depan Konten Anak
Keberhasilan film ini sebagai bagian dari Layar Anak Indonesiana membuktikan bahwa program open call seperti ini adalah langkah strategis dalam mendukung sineas lokal.
Ayu menambahkan, ia sangat membutuhkan program seperti ini. “Selain memberikan ruang bagi sineas untuk berkarya, ini juga menjadi cara untuk menghadirkan lebih banyak konten berkualitas bagi anak-anak Indonesia,” katanya.
Denny juga berharap pemerintah terus memperkuat dukungan terhadap sektor perfilman melalui program-program serupa. “Dengan dukungan seperti ini, kita bisa menciptakan generasi yang lebih baik melalui media film yang mendidik dan menyenangkan,” katanya.
Screening Perdana di JAFF ke-19
Film ini ditayangkan di program Layar Anak Indonesiana bersama empat karya lainnya. Namun, “When Cening Meets Kawa, the Magical Forest” menawarkan pendekatan unik dengan visual magis dan cerita yang mengangkat hubungan ibu dan anak, tanggung jawab pada alam, dan penghormatan terhadap budaya.
Salah satu daya tarik utama film ini adalah keterlibatan kru dan pemain berbakat yang mampu menghadirkan karya dengan kualitas produksi atau production value yang sangat baik.
Beberapa rekan kru dan talent juga ikut meramaikan penayangan perdana film ini di JAFF seperti Gus Adi (camera assistant), Ega (camera best boy), Pradnya (HMU), dan Wira yang berperan sebagai Kawa. Para kru menyampaikan rasa bangga mereka dapat berpartisipasi dalam festival bergengsi seperti JAFF.
Rencana Distribusi dan Masa Depan Film
Setelah pemutaran perdana di JAFF, Denny dan tim merencanakan untuk mengirimkan film ini ke berbagai festival nasional dan internasional.
Ayu juga mengungkapkan keinginan untuk mengadakan private screening di Bali, tentunya setelah mendapatkan izin dari Indonesiana.tv sebagai pemegang hak siar. [T][Ado/*]