SELAMA tiga hari, 17 – 19 November 2024Balai Guru Penggerak(BGP) Bali melaksanakan Penulisan Praktik Baik bagi penyelenggara Program Sekolah Penggerak (PSP) Angkatan II (2022) dan III (2023) di Hotel Plagoo Taman Mumbul Nusa Dua Bali. Menurut Kepala BGP Bali, Dr. I Wayan Surata, S.Pd., M.Pd., kegiatan ini nyaris tidak terlaksana akibat rasionalisasi anggaran. Namun, berkat negosiasi yang diperankan BGP Bali secara logis dan argumentasi yang persuasif edukatif kepada pihak Kemedikdasmen, akhirnya Penulisan Praktik Baik ini dapat terlaksana.
PSP Angkatan I dimulai pada 2021 saat Pandemi Covid-19 sedang merajalela. Untuk Provinsi Bali, PSP Angkatan I menyasar dua kabupaten/kota (Buleleng dan Kodya Denpasar). Artinya, hanya dua kabupaten/kota itu yang berhak mengikuti seleksi mandiri dengan kesadaran belajar tinggi (motivasi internal). Selanjutnya, PSP Angkatan II diperluas ke Kabupaten Badung dan Klungkung, sedangkan PSP Angkatan III diperluas lagi sampai Karangasem. Artinya, di Provinsi Bali PSP menyasar 5 Kabupaten/Kota sehingga ada 4 kabupaten yang tak tersentuh, yaitu Bangli, Tabanan, Gianyar, dan Jembrana.
Sementara itu, PSP Angkatan I sudah berakhir kegiatan pendampingan dengan skema BOS Kinerja ditandai dengan Pameran Hasil Belajar pada 2024, sedangkan sekenario Pameran Hasil Belajar PSP Angkatan II pada 2025, selanjutnya 2026 untuk PSP Angkatan III. Tampaknya, PSP hanya sampai di sini dan programnya tidak berlanjut lagi, seiring dengan pergantian Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Dikti dipecah menjadi 3 kementerian : Kemedikdasmen, Kemenristekdikti, dan Kementerian Kebudayaan.
Terlepas dari dihentikannya PSP oleh Kemendikdasmen, ada Gerakan dan Capaian yang pantas dicatat dengan tinta emas. Pertama, PSP diikuti oleh Kepala Sekolah dengan kesadaran diri melalui proses melamar dan mengikuti seleksi secara bertahap : Tahap Seleksi Administrasi dan Tahap Seleksi Substansial (Tes Mengajar dan Wawancara dengan fokus pada kepemimpinan dan 5 kompetensi Kepala Sekolah). Tidak ada Sekolah Penggerak tanpa melalui proses itu. Artinya, PSP dikembangkan secara bottom up, dari bawah. Berbeda dengan model RSBI yang ada sebelumnya, ditunjuk dari atas (top down) sehingga suasana kebatinan yang melingkupinya kurang membumi.
Kedua, Capaian PSP sampai dengan Angkatan III terus menyalakan semangat dan prestasi. Itu dimungkinkan karena PSP mendapatkan suntikan dana BOS Kinerja dengan pendampingan selama 3 tahun. Setelah itu, diharapkan nyala api semangatnya tetap dikobarkan secara mandiri dan berharap ada bantuan dari Pemerintah Daerah. Nyalanya makin besar lebih-lebih saat perayaan Panen Hasil Belajar dengan dukungan Media Sosial secara masif.
Ketiga, tidak hanya pameran hasil belajar yang dirayakan oleh PSP, tetapi juga menginternalisasikan dan merefleksikan ke dalam untuk melihat plus minusnya. Hal itu difasilitasi oleh BGP Bali melalui Workshop Menulis Pengalaman Praktik Baik yang akan dibukukan dan disebarkan ke berbagai satuan Pendidikan. Dalam konteks ini, BGP Bali telah melakukan pendokumentasian praktik baik PSP yang dapat menjadi candi pustaka sebagai catatan pengingat dalam sejarah Pendidikan di Bali. Ini juga bagian dari strategi mengembangkan literasi dan numerasi di PSP secara kolaboratif sesuai dengan kecenderungan pembelajaran abad ke-21 : berpikir Kritis, Kolaboratif, Komunikasi, dan kreatif-inovatif.
Saya (penulis Nyoman Tingkat) di tengah workshop Penulisan Praktik Baik | Foto: Dok
Mencermati presentasi dari para Kepala Sekolah Penggerak, dari Pendidikan Dasar hingga Pendidikan Menegah, saya mencatat prestasi sekolah dalam mengembangkan literasi, budaya positif sekolah, dan iklim kebinekaan. Di PAUD Lentera Hati misalnya, Wahyu mengajak siswanya berwidya wisata ke Tenganan Pagringsingan. Mereka dikenalkan dengan tradisi dan kesempatan menjadi petani dadakan. Para siswa bersama orang tua diajak bersenang-senang penuh keceriaan. Tidak merasa tertekan dalam belajar. Belajar sambil bermain ala Bobo. Melajah sambil malali, malali sambil malajah. Strategi pembelajaran ala Kurikulum Merdeka tercipta dalam suasana kegembiraan dan berdampak pada lingkungan sekitar objek yang dijadikan sekolah sementara. Secara ekonomi, berdampak bagi Desa Adat Tenganan Pagringsingan, secara edukatif berdampak bagi siswa memahami budaya yang adiluhung dimiliki Bali. Simpulannya, kolaborasi pembelajaran dengan semangat simbiotis mutualistik.
Berbeda dengan SMA Negeri 2 Kuta Kuta Selatan, yang menampilkan Praktik Baik “Gelis Diksi Toska, Upaya Mewujudkan Budaya Literasi”. SMA Negeri 2 Kuta Selatan menamai Program Literasinya dengan Gelis Diksi sebagai perpaduan nama dalam kosa kata Bahasa Bali ‘gelis’ dan Bahasa Indonesia ‘diksi’. Dalam Bahasa Bali, gelis berarti cepat, sedangkan dalam Bahasa Indonesia, diksi berarti pilihan kata yang tepat. Singkatnya, Gelis Diksi semakna dengan pilihan kata yang cepat dan tepat untuk membangun narasi. Tidak jauh dari makna itu, Gelis Diksi Toska adalah akronim dari Gerakan Literasi Sekolah bersama Pendidik dan Siswa Toska (Two South Kuta, nama beken SMA Negeri 2 Kuta Selatan).
Program ini telah berlangsung sejak 2021 di Toska ketika Pandemi Covid-19 berlangsung. Melalui Gerakan bersama pendidik dan siswa, Program Gelis Diksi memantik semangat literasi pendidik dan siswa dengan produk berupa lahirnya buku karya siswa, guru, dan Kepala Sekolah. Sejak berdiri, SMA Negeri 2 Kuta Selatan 3 September 2019, telah melahirkan sejumlah produk buku dan tiga edisi Majalah Komtempasi (2022, 2023, dan 2024). Buku yang dilahirkan antara lain Karya Kepala Sekolah, I Nyoman Tingkat : Sadhar Nama Praktik Toleransi Beragama di Sekolah (2020), Literasi Masa Pandemi (2021), Taksu Cinta dalam Pengelolaan Sekolah (2023), Sekolah Penggerak, Sebuah Reffleksi (2024). Buku antologi karya guru yaitu Antologi Puisi Pendidik (2023), Guru Merdeka Menulis (2024). Buku karya siswa antara lain Pandemi : Antara Fiksi dan Fakta (2021), Antologi Puisi Siswa (2022), Siswa Merdeka Menulis (2024). Produk Literasi itu membuktikan literasi terawat secara berkesinambungan di Toska.
Melalui Program Gelis Diksi Toska, SMA Negeri 2 Kuta Selatan telah mengaplikasikan ajaran Trikon dari Ki Hadjar Dewantara : kontinuitas, konsentris dan konvergensi. Program Gelis Diksi berlangsung secara berkesinbungan adalah aplikasi dari kontinuitas. Untuk melahirkan narasi tidak mungkin tanpa membaca lalu menenun setiap kata menjadi satu-kesatuan (konsentris) lalu menggabungkan aneka perbedaan untuk diselaraskan agar sesuai dengan semangat Profil Pelajar Pancasila (konvergensi). Jadi, Gelis Diksi secara implisit telah membumikan ajaran Ki Hadjar Dewantara di SMA Negeri 2 Kuta Selatan.
Lain lagi praktik baik dari SMA Widiatmika Jimbaran, Sekolah Penggerak Angkatan III menampilkan pentingnya refleksi dan berbagi dalam pembelajaran yang diakronimkan menjadi Seregi (Seru Refleski dan Berbagi). Kepala SMA Widiatmika,I Made Suadnyana, mengatakan tertantang menginisiasi program ini karena guru di sekolahnya memiliki banyak pekerjaan selain mengajar sehingga sulit meluangkan waktu untuk refleksi secara mendalam. Di samping itu, ia juga mencatat kurangnya dukungan profesional teman sejawat, dan sulitnya guru menghadapi kekurangan diri sehingga merasa tidak nyaman dengan kritik dari teman. Padahal, kritik itu adalah semacam obat yang terasa pahit tetapi bisa menyembuhkan. Itu kurang disadari para guru.
Para peserta workshop Penulisan Praktik Baik | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Tantangan itu dijawab dengan membuat kesepakatan bersama melalui Project Managemen Ofice (PMO) pada awal tahun pelajaran. Projek itu dirancang berbasis komunitas belajar memanfaatkan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD) dan Modul, tanpa meninggalkan siswa di kelas dengan sinkronisasi jadwal untuk penguatan Literasi dan Numerasi setiap Kamis. Melalui pola itu, Seregi diaplikasikan dengan keseruan belajar, keseruan refleksi, dan seruan berbagi. Para guru berbagi dengan sesama sebagaimana layaknya siswa yang dituntut terus berkolaborasi untuk mewujudkan sekolah yang dicita-citakan.
I Made Suadnyana mengatakan Seregi di SMA Widiatmika berhasil memantik para guru berinisiatif menawarkan topik-topik seru untuk berbagi dan lebih mudah berkolaborasi dengan sejawat. Ini semua berkat intervensi dari PSP yang mewajibkan sekolah membentuk Komite Pembelajaran sebagai agen transformasi perubahan dan peradaban.
Begitulah, PSP telah melahirkan banyak praktik baik di sekolah-sekolah. Hal itu dapat dimaklumi karena penyelenggara PSP diraih dengan kesadaran belajar melalui melamar yang harus dipertanggungjawabkan oleh Kepala Sekolah. Walaupun Menteri berganti, kebijakan akan berubah, hal-hal positif di PSP layak dilanjutkan dan yang kurang baik dicarikan solusi.
Ibarat rumah dengan isinya, jangan sampai rumah terbakar yang meludeskan isinya. Di dalamnya mungkin ada emas berlian, selain sampah. Penting sekali kita menyelamatkan rumah sambil menjaga emas berlian, bersamaan dengan itu kita rajin menyapu membersihkan sampahnya, sehingga rumah belajar kita makin nyaman dan menyenangkan, sebagai mana Taman Siswa. Kabar baik inilah yang perlu kita gemakan melalui PSP. [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT