BERGEMURUH ombak yang bergelombang di dada Saidi ketika pesawat terbang yang membawanya melintasi antar benua dikabarkan akan mendarat di bandara Jeddah oleh pramugari. Sehingga tak terasa mendung di kelopak matanya pecah hingga hujan membasahi kedua pipinya. Tak jemu ia melontarkan takbir dengan penuh semangat. Bibirnya juga tiada henti mengucap bacaan Talbiyah.
Begitu juga dengan rombongan calon jamaah haji yang satu kloter bersamanya. Mereka menaikkan ucapan syukur ke langit berkali-kali. Ini merupakan ritual ibadah haji pertama yang telah ditunggu-tunggu oleh Saidi setelah penantian selama 20 tahun. Ia baru mulai menabung sejak usianya 30 tahun. Kini usianya sudah 50 tahun dan Allah memanggil dirinya sebagai tamu di rumah-Nya.
Saat pesawat telah landing di landasan pacu bandara, kedua mata Saidi memandang keluar dari jendela kabin. Tampaklah di kedua matanya pohon kurma yang berbaris dengan rapi seolah asykar Saudi yang sedang menyambut para tamu Allah.
Di sana juga tampak para jamaah haji yang berasal dari negara lain. Ada yang berkulit hitam arang, hitam manis, kulit putih, kuning langsat, ada juga yang setinggi tiang listrik dan ada juga yang sependek pagar. Semuanya tampak seragam dalam pakaian yang sama. Dan meski bahasa mereka berbeda, namun tempat yang akan mereka tuju adalah sama, Ka’bah.
Bacaan Talbiyah berkumandang dari bibir mereka. Sementara kedua mata Saidi tak mau terlepas dari pemandangan gaya bangunan bandara Jeddah yang ada di hadapannya. Ia mengira kalau sudah sampai di Mekkah sehingga ia merasa penasaran ingin melihat Ka’bah, bangunan pertama yang dibangun oleh malaikat di muka bumi.
“Apakah kita sudah sampai di Masjidil Haram, Pak?” tanya Saidi yang berangkat haji seorang diri. Istrinya meninggal dunia saat berusia 43 tahun karena penyakit tumor ganas yang menyerang payudaranya. Jadi, berangkatlah Saidi sendirian.
“Kita masih berada di Jeddah, Pak Saidi,” jawab ketua kelompok haji yang berasal dari kota di mana lelaki desa itu tinggal. “Kita belum sampai di Mekkah. Dan dari sinilah kita akan memulai miqat. Jadi, setelah ini Pak Saidi harus mengganti pakaian dengan pakaian ihram.”
Saidi terlihat sangat senang. Akhirnya, setelah berjuang menabung selama puluhan tahun ia memakai pakaian ihram. Sebagai seorang Muslim, ia juga merasa bersyukur kepada Allah karena telah memenuhi semua rukun Islam. Setelah ini ia sudah tak memiliki tanggungan lagi. Kewajibannya agar menjadi Muslim yang sempurna sudah lunas. Ia sudah tak memiliki utang kepada Tuhan.
“Akhirnya bapak dipanggil juga sama Allah, Bu,” gumam Saidi kepada istrinya yang sudah menduluinya menghadap Allah di Alam Baka. “Nanti di depan Ka’bah bapak akan mendoakan ibu agar diberikan tempat yang nyaman di sisi Allah. Dan kelak, ibu akan dipertemukan kembali dengan bapak.”
Sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan oleh Fiqih, para jamaah haji memulai miqat dari kota Jeddah. Mereka semua mengenakan pakaian ihram yang serba putih untuk menuju titik yang sama. Lautan manusia tampak seperti gelombang yang datang silih berganti seraya mengumandangkan doa Talbiyah.
“Labbaikallahumma labbaik.”
“Labbaikallahumma labbaik.”
Merinding tubuh Saidi saat bibirnya mengucapkan doa itu. Dan ia merasa seolah di kedua ketiaknya tumbuh sayap yang akan mengangkatnya ke langit. Belum lagi melihat Ka’bah, tubuhnya sudah merinding. Apalagi kalau sudah berdiri di hadapan kiblat umat Islam sedunia itu.
“Ndak nyangka sama sekali, kalau negeri gurun yang dulunya tandus kini jauh lebih modern dari pada negara kita,” ujar Poniman, tetangganya lain desa.
“Iya. Ndak menyangka ya kalau Arab sudah jauh lebih maju ketimbang negara kita,” timpal Saidi merespons.
“Konon, di sini apa di kota Neom akan dibangun gedung pencakar langit setinggi 1000 meter. Penasaran. Seperti apa gedung setinggi itu.”
Saidi hanya merasa takjub saja. Soalnya ia tidak tahu-menahu tentang gedung pencakar langit. Ia belum pernah melihat gedung-gedung tinggi. Kemarin baru pertama kali melihatnya di Jakarta.
***
Lautan manusia memenuhi Masjidil Haram dalam pakaian ihram, termasuk Saidi yang tampak merinding ketika pertama kali melihat Ka’bah. Matanya tak mau berkedip saat lelaki itu melihat kiswah hitam berkibar-kibar dicumbu angin. Bahkan agar segera sampai di depan rumah ibadah yang dipugar oleh Nabi Ibrahim bersama Nabi Ismail itu, ia sampai rela menembus gelombang manusia yang terus bertambah.
“Apakah itu Ka’bah?” bisiknya di dalam hatinya sendiri. “Labbaikallahumma labbaik. Labbaikallahumma labbaik. Labbaikallahumma labbaik.”
Saidi terus bergerak agar semakin dekat dengan Ka’bah. Air matanya meleleh saat mengingat cinta dan kasih sayang Allah yang telah memberinya sebuah kesempatan naik haji ke tanah suci. Inikah bangunan yang terbuat dari batu yang dituduhkan oleh orang-orang yang takut agamanya roboh sebagai Tuhan?
Saidi terus mendekati bangunan tua itu. Tampak para jamaah berpakaian ihram melakukan thawaf seraya membaca Talbiyah. Suara mereka menggema seakan meruntuhkan langit. Tidak ada ritual ibadah paling agung di atas muka bumi ini selain ritual ibadahnya umat Islam. Dan semua pemeluk agama merasa iri. Iri yang terlahir dari perasaan benci dan cemburu.
Tapi, apa yang terjadi dengan Saidi saat ia berdiri hanya beberapa meter dari Ka’bah. Ia berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintunya yang tertutup pintu emas. Suaranya macam orang gagap. Tentu saja kejadian yang datang secara tiba-tiba ini membuat orang-orang kaget. Para asykar yang bertugas di sekeliling Ka’bah pun mendekat untuk mengamankan jamaah asal Indonesia itu.
“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” tanya seorang asykar berseragam hitam.
Terik matahari yang menghantam lantai masjid tak membuat mereka urung untuk menolong lelaki paro baya itu.
“Entahlah. Tiba-tiba, orang ini berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu Ka’bah,” jawab temannya.
“Tolong ambilkan air zam-zam!” kata seorang petugas haji yang menenangkan Saidi. Apakah lelaki itu kerasukan jin?
Lalu salah seorang asykar datang dengan membawakan air zam-zam. Setelah itu, kepala dan sekujur tubuh Saidi diusap dengan air zam-zam dengan harapan lelaki itu sembuh.
Aneh, air bertuah itu tidak bisa memberikan efek apa pun. Saidi tetap berteriak-teriak macam orang tak waras. Tidak sedikit para jamaah yang menganggap demikian, terutama orang Indonesia yang sudah terbiasa beranggapan seperti itu.
“Mungkin dia sudah gila,” komentar salah seorang jamaah bermuka kasar.
“Pulangkan saja ke tanah air,” sahut yang satunya.
Spontan saja kejadian itu langsung menjadi tontonan seperti topeng monyet. Kenapa? Karena mereka tidak melihat sesuatu yang tak kasat mata. Tidak sedikit di antara orang-orang itu yang beranggapan bahwa “sesuatu yang tak kasat mata” itu adalah barang yang tak berwujud dan hanyalah ilusi yang hanya ada dalam otak orang yang tak waras. Mereka tak beriman kepada yang gaib karena belum melihatnya secara langsung.
Agar tidak mengganggu ritual ibadah jamaah yang lain, pihak petugas haji dan kepolisian mengamankan Saidi dengan membawanya ke rumah sakit. Tapi anehnya, setelah dibawa keluar dari area masjid, Saidi seperti baru sadar macam orang yang habis kesurupan.
“Kenapa dengan saya? Kenapa dengan saya? Kenapa saya dibawa ke sini?” tanya Saidi kepada petugas haji.
“Apakah Bapak tidak tahu kalau tadi Bapak berteriak-teriak di depan Ka’bah?”
“Tidak. Saya tidak kenapa-kenapa kok. Saya tidak berteriak-teriak.”
Para asykar dan petugas haji saling berpandangan. Bahkan salah satu di antara mereka ada yang menyilangkan jari di keningnya.
“Saya mau kembali ke masjid. Antarkan saya ke sana,” pinta Saidi.
“Sebaiknya Bapak istirahat dulu di sini. Dan tenangkan pikiran Bapak. Setelah itu baru kami antar ke masjid,” jawab salah seorang petugas haji dengan kalem.
“Saya mau ke masjid. Antarkan saya ke sana. Sudah lama saya menantikan kesempatan ini untuk melihat Ka’bah dari dekat,” sahut Saidi ngeyel.
“Apakah Bapak tidak sadar apa yang Bapak lakukan tadi di depan Ka’bah?!” tanya seorang asykar bertubuh kekar dan tinggi dalam bahasa Arab. Lalu, ia hapenya.
***
Saat itu, saat Saidi berteriak-teriak di depan Ka’bah sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintunya, ia melihat ada sosok manusia tinggi yang mengenakan pakaian putih. Sosok suci itu melihat ke arahnya. Entahlah siapa sosok itu. Bisa jadi Nabi Ibrahim. Apakah Nabi Ibrahim ada di sana? Jawabannya ada. Tapi terserah orang-orang yang menanggapinya, yakin atau tidak. Bila ingin membuktikan, buktikanlah sendiri. Lalu, kenapa Saidi meraung-raung macam orang tak waras? Bukankah ia orang yang religius dan alim? Bahkan selama 20 tahun ia memendam cita-cita ingin naik haji ke tanah suci. Kita pun tidak. Ah, jangankan bertekad mau naik haji, mendengar nama tanah suci pun hati kita sudah muak.
Jadi begini, memang Saidi kelihatan suci, alim dan religius menurut pandangan orang-orang. Niatnya yang ingin menyempurnakan rukun Islam dianggap sebuah keistimewaan. Dari pada tidak naik haji sama sekali? Tapi, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Saidi mendapatkan uang yang ditabungkannya untuk naik haji dari hasil menipu orang lain. Ia bisa disuruh mengerjakan pagar rumah, namun ia menipu orang yang menyuruhnya saat hendak membeli bahan-bahan. Selain itu, ia juga pernah diminta menjadi saksi di kepolisian, namun ia mengibuli orang yang menyuruhnya setelah menerima duit sogokan.
Apakah istri Saidi benar meninggal karena penyakit tumor ganas? Sebagiannya memang benar, namun ada rumor bahwa sebenarnya Saidi tidak pernah ingin membawa istrinya berobat. Ia tidak mau uang tabungannya terkuras buat biaya operasi pengangkatan tumor istrinya.
Setelah sadar beberapa jam, Saidi kembali meraung-raung sambil menunjuk-nunjuk ke arah kiblat. Saat itu, kedua matanya melihat sosok-sosok bersayap secara bergantian turun dari langit. [T]
2024
- BACAcerpen laindi tatkala.co