DIBAL Ranuh duduk bersama John Ketut Purna di Jatiluwih Resto (JR) di Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali, di depan wartawan yang hendak menanyakan dan meliput kegiatan yang berlangsung di desa tersebut. Mereka berdua duduk sebagai narasumber dalam jumpa pers Subak Spirit Festival 2024, Sabtu (9/11/2014) siang.
Perjumpaan non formal tersebut dihadiri banyak media—cetak dan online—dari seluruh Bali. Di tengah ramainya Jatiluwih siang itu, Dibal, selaku kurator Subak Spirit festival, memulai lebih dulu. Ia menjelaskan latar belakang sampai tujuan diselenggarakannya Subak Spirit Festival ini—festival yang diselenggarakan oleh Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, di bawah Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Katanya, festival ini perlu dilakukan mengingat masih banyak PR, khususnya terkait pelestarian warisan budaya dunia, subak.
Dibal, kurator Subak Spirit Festival 2024 saat jumpa pers | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Tahun ini kami mengambil tema ‘Pemuliaan Air untuk Kehidupan’,” terangnya. Lalu ia menjelaskan sedikit tentang Subak Spirit Festival. “Festival ini tidak hanya sekadar mengakui pentingnya air dalam sistem subak, tetapi juga menghormati sawah sebagai detak jantung kehidupan masyarakat Bali,” sambungnya.
Lebih dari sekadar sistem irigasi, subak juga merupakan sistem sosial dan budaya yang membentengi komunitas, keberlanjutan, dan keseimbangan ekologi di Bali. Dengan semangat Tri Hita Karana, acara ini, kata Dibal, berupaya menyoroti hubungan harmonis antara (1) manusia dengan manusia, (2) manusia dengan alam, dan (3) manusia dengan Tuhan, yang diwujudkan dalam setiap jengkal sawah di Bali.
Selain itu, festival ini juga akan menampilkan ekosistem hilir subak, yang baru dirancang sebagai tujuan wisata berkelanjutan, yang secara langsung menyalurkan manfaat ekonomi kembali ke pemeliharaan sistem subak di hulu.
John Ketut Purna, manager DTW Jatiluwih saat jumpa pers | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Inisiatif ini menggarisbawahi peran penting sawah sebagai penjaga ekosistem air dan sebagai sumber kehidupan masyarakat Bali. Festival ini memperlakukan sawah tidak hanya sebagai ruang fungsional, namun juga sebagai kanvas seni ekologi tempat manusia dan alam terhubung dalam keseimbangan yang harmonis,” jelas Dibal.
Dalam jumpa pers tersebut, Dibal menekankan bahwa konsep festival ini bertujuan untuk membawa pengunjung kembali ke sawah dan merasakan makna mendalam dari hal tersebut. “Saya sengaja merancang festival ini untuk mengajak masyarakat kembali ke sawah,” jelasnya.
Di festival ini, sambungnya, semua orang bisa merasakan keaslian sawah, mulai dari terik matahari, keindahan pemandangan, lumpur, hingga aktivitas bercocok tanam sehari-hari. Kembali ke ladang berarti kembali ke rumah, katanya.
“Sawah adalah rumah kita bersama yang harus dilindungi, dipelihara, dan diwariskan kepada generasi mendatang,” ujar Dibal.
Bukan Sekadar Hiburan
Sebagaimana sebuah festival, Subak Spirit Festival juga bakal menampilkan—atau dalam bahasa Dibal—mewadahi seniman-seniman tradisi maupun kontemporer untuk mengekspresikan karya-karya garapannya. Meski demikian, meski disebut sebagai “pesta rakyat”, menurut Dibal, festival ini bukan sekadar “hiburan”.
Lebih dari itu, ada semacam spirit yang lebih dalam mengenai nomenklatur perlindungan, pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya dunia: subak.
“Subak Spirit Festival 2024 lebih dari sekadar hiburan. hal ini merupakan seruan untuk mengapresiasi dan melestarikan sawah sebagai elemen penting dalam kehidupan masyarakat Bali,” ujar Dibal.
Dengan perpaduan acara edukasi dan rekreasi yang menyatukan alam, budaya, dan inovasi, festival ini mengundang penduduk lokal dan wisatawan untuk ikut menjaga keindahan ekologi Bali dan nilai-nilai budaya Subak, membuka jalan bagi masa depan Bali dan dunia yang lebih cerah. [T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole