SEJAK menempati gedung baru,SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska: Two South Kuta) pada Januari 2020 telah memiliki Program Makan Siang Bersama. Program itu berlangsung selama 2,5 bulan sebelum Pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, yang berakibat pada pembelajaran daring selama hampir 3 tahun. Sebelum menempati gedung baru, SMA Negeri 2 Kuta Selatan meminjam ruang belajar selama 6 bulan di SMA Negeri 1 Kuta Selatan.
Ide saya menginisiasi Program Makan Siang Bersama kala itu adalah untuk membangun kebersamaan. Apa yang saya gagas lima tahun silam, ternyata kini menjadi Program Nasional. Makan Siang Bersama di SMA Negeri 2 Kuta Selatan, kini memasuki babak baru dengan nama Program Masima Krama Toska (Makan Siang Bersama Keluarga Besar SMA Negeri 2 Kuta Selatan).
Program Masima Krama Toska kental dengan kearifan lokal Bali tanpa bermaksud untuk berpikir sempit kedaerahan. Namun, sebaliknya, memperkenalkan kearifan lokal Bali untuk menasional bahkan semakin mengglobal. Secara semantik, masima krama berarti melakukan silaturahmi.
Dalam konteks politik kekinian, seorang politikus masima krama untuk mendapatkan dukungan, biasanya dengan umpan yang menjanjikan walaupun terkesan provokatif bin instan. Ulah aluh, ulah elah. Singkatnya pragmatis gelis.
Namun, tidak demikian halnya Program Masima Krama Toska di SMA Negeri 2 Kuta Selatan. Pertama, Program Masima Krama untuk menyukseskan program pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dengan program makan siang bergizi. Sekolah di bawah naungan Kemendikdasmen wajib hukumnya menyukseskan program ini dalam rangka mendidik dan membangun kebiasaan positif di kalangan generasi muda. Ini adalah bagian dari bakti kepada guru wisesa.
Kedua, Program Masima Krama bertujuan mewujudkan sinergi Program Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dan Gerakan Sekolah Sehat (GSS) yang getol dikampanyekan ke sekolah-sekolah.
Di Bali, Program PJAS diinisiasi oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) diniatkan untuk memastikan makanan yang dijual di kantin sekolah aman dan bergizi tidak mengandung bahan berbahaya, misalnya borax.
Sementara itu, GSS diinisiasi oleh Direktorat SMA sebagai gerakan bersama diniatkan untuk melaksanakan kampanye Program 5 Sehat: Sehat bergizi, sehat fisik, sehat imunisasi, sehat jiwa, dan sehat lingkungan.
Ketiga, mewujudkan kebersamaan dan kesetaraan dalam pilihan menu makanan. Menu tidak mesti mahal asalkan diperlukan oleh tubuh untuk menjaga imun meningkatkan iman. Dengan demikian, belajar menjadi tenang untuk meraih prestasi sesuai dengan semangat Merdeka Belajar.
Keempat, mendidik para siswa agar tertib waktu untuk makan mulai dari sarapan, makan siang, dan makan malam. Selama ini, ditengarai banyak siswa yang tidak sarapan sebelum pergi ke sekolah. Alasannya, bermacam-macam: tidak terbiasa, tidak sempat, belum siap makanan di rumah. Dengan adanya Program Masima Krama di Toska, semua alasan itu terjawab.
Kelima, Masima Krama mencakup sarapan pagi (breakfast) dan makan siang (lunch) karena secara umum waktu dari pagi hingga sore disebut siang dan sisanya disebut malam. Ini sesuai dengan hukum Rotasi Bumi yang menyebabkan adanya siang dan malam. Hukum Rwabineda dalam konteks ini terang gelap yang sama temponya.
Dalam konteks Bali, dalam Program Masima Krama Toska terdapat nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dilembagakan sebagai habitus. Mulai dari cara memperoleh makanan yang disarankan menurut Pustaka Hindu, adalah makanan yang satwika, yaitu makanan yang diperoleh dengan cara yang baik dan benar.
Makanan yang baik adalah makanan bergizi yang diperlukan tubuh dan tidak mesti mahal. Makanan yang benar adalah makanan yang diperoleh dengan semangat karma yoga (hasil kerja sebagai sarin pagaen, sarin pakaryan, sari kerja, kerja masari).
Dengan demikian, bukan saja makanan itu masuk ke mulut, melainkan juga mengalirkan vibrasi positif ke seluruh bagian tubuh melalui darah. Aliran darah ke seluruh organ tubuh berasal dari saripati makanan yang kita konsumsi yang memengaruhi vibrasi buana alit dan pancarannya terbaca ke luar.
Selain itu, perlu pula diperhatikan etika dengan belajar makan. Tetua sering menasihati untuk “malajah madaar”. Jangan sampai disindir dengan “madaar dogen sing bisa, apa buin magae”, kepada orang makan dan minum berlebihan sampai mabuk, tetapi kerjanya malas.
Etika lain yang perlu diperhatikan dalam Program Masima Krama dan makan pada umumnya dapat dibaca dalam Gaguritan Pati Jlamit (Pupuh Sinom) karya Ida Ketut Sudiasa (Ida Pedanda Gede Ketut Sidemen) dari Gria Kelodan Taman Sari Sanur. Dalam geguritan itu, terdapat etika makan dari mulai, makan, sampai selesai makan.
Etika mulai makan diawali dengan berdoa yang dalam tradisi Bali dimulai dengan mengaturkan banten saiban. “…rikala madahar, pang masari amretane, negak masila apang luhung, ada sesapan abedik, Ong maha mrta sapala nama swaha…” (Ketika makan agar bertuah, duduklah bersila dengan baik, ucapkan mantra “Ong maha mrta sapala nama swaha…”).
Kalau tidak didoakan makanan yang kita makan, kita disebut maling. “…yening tusing buka keto, awake kaucap maling” (kalau tidak didoakan, kita dicap maling).
Selanjutnya, posisi saat makan juga perlu diperhatikan. Secara implisit terbaca, saat makan yang utama menghadap ke utara atau ke timur. Ini sesuai dengan kiblat sembahyang umat Hindu pada umumnya. Makan pada hakikatnya adalah memuja dan berterima kasih kepada Dewa Amrtha.
Di dalam Gaguritan Patijlamit juga disebutkan beberapa istilah: makan sambil berdiri disebut nyeret—“…de pesan majalan, jele ento kahadanin, madan nyeret ane keto”. Makan sambil jongkok disebut ngaloglong. Bila makan berdiri disebut nglaler.
Selain itu, disebutkan pula kiblat saat makan. Bila menghadap selatan nidik disebut. Bila menghadap ke barat disebut mamantet. Bila makan mengambil dengan mulut disebut mlokpok, bila makan sambil tidur disebut ngamah. Nasihat tentang makan dalam geguritan ini juga disebut sebagai ritual dengan ungkapan “anggo ngupakara idup”.
Begitu pula selesai makan pun ada etikanya.“Suba suud madaar nasi, buin ingetang, da masehin lima di piringe lad anggon cening, plih yani buka keto, nundung amrta kahadaning, yan suba suwud madahar, limane sasadang malu, di tlapakan batise dadua. Ento memah, lautang mabaseh jani, to pangancingan amrtha”.
Artinya, setelah selesai makan nasi, harap diingat, jangan mencuci tangan di piring yang dipakai makan, salah kalau itu dilakukan, menolak amrtha disebut, jika sudah selesai makan, tangan dikeringkan di kedua telapak kaki. Setelah itu barulah mencuci tangan di air mengalir, itulah pengunci amrtha.
Dalam konteks Program Masima Krama Toska, etika dalam makanjuga perlu ditanamkan. Sebab makanan yang mengalir ke dalam tubuh akan menjadi sari pikiran (manacika) yang menjadi dasar wacana dalam perkataan (wacika) dan selanjutnya menjadi dasar berbuat (kayika). Ketiganya itu disebut Trikaya Parisudha, sebagai landasan etika paling mendasar dalam ajaran Hindhu.
Selain mengembangkan etika, Program Masima Krama Toska adalah ajang membangun kebersamaan dan saling menyemangati. Nilai sebuah kebersamaan itu sangatlah mahal dalam komunitas belajar di sekolah.[T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT