SETIAP datang ke Yogyakarta, saya selalu ingat empat hal yaitu Jalan Malioboro, Kraton, Kota Pelajar, dan Umbu Landu Paranggi (ULP).
Pertama,Jalan Malioboro yang inspiratif dengan suguhan selalu menggugah. Ibarat puisi tidak pernah selesai digali oleh penyair di jalan legendaris ini.
Kedua, Kraton Yogyakarta sebagai pusat kunjungan wisata kota yang tertib melaksanakan ritual pagi sebelum waktu operasional kunjungan dibuka. Seperti tradisi saiban di Hindu, Kraton Yogyakarta juga melakoninya. Buktinya di pintu masuk utama juga ada sesajen pengeling-eling, mengingatkan bahwa Kraton masih merawat tradisi warisan leluhurnya.
Ketiga, Yogyakarta sejak dulu dikenal sebagai Kota Pelajar. Lembaga Pendidikan Tinggi Negeri dan Swasta banyak di sini, seperti UGM, UNY, UIN, Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Sanata Darma, Universitas Atmajaya, Universitas Mercu Buana, Universitas Muhamadyah. Mahasiswanya pun dari berbagai daerah di Indonesia yang mengukuhkan Yogya sebagai Kota Pelajar yang multikultural.
Keempat, ULP yang menggelandang di Malioboro pada era 1970-an sampai dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Presiden yang membangun jiwa bangsanya senantiasa menebar bibit berbobot bagi dunia perpuisian Indonesia. Muridnya pun telah banyak menjadi orang dan sukses di berbagai bidang di berbagai wilayah di Indonesia. Menyebut beberapa di antaranya Emha Ainun Najib, Ebiet G Ade, Korry Rayun Lampan.
Di Bali di bawah media Bali Post juga banyak penyair berkat sentuhan Umbu, seperti Mas Ruscitadewi, IB Parwita, Jengki Sunarta, dan sejumlah tamatan Sanggar Minum Kopi (SMK) pada 1980-an. Kini coba dibangkitkan kembali melalui Jati Jagat Kampung Puisi (JKP).
Dari empat pengingat Kota Yogyakarta, tulisan ini berfokus pada Jalan Malioboro dan Umbu Landu Paranggi. Mengapa? Jalan Malioboro adalah jalan kebudayaan tempat seni dan budaya disemaikan oleh ULP bersama kawan-kawan melalui Persada Studi Klub (PSK) yang mengingatkan saya akan Perhimpunan Indonesia (PI) beranggotakan Pelajar Indonesia yang studi di Belanda untuk memikirkan lalu mengaktualisasikan ke arah mana Indonesia dibawa kelak bila merdeka. Mereka adalah pembaca literat melampui zamannya.
Demikian juga ULP dengan PSK-nya di Kota Pelajar Yogyakarta. Anggota PSK adalah pelajar yang menempuh pendidikan di Kota Yogyakarta. Mereka berasal dari berbagai daerah lintas kampus tanpa melalui seleksi pendaftaran sebagai anggota. Kehadiran mereka secara sukarela dipertemukan oleh kesamaan frekuensi untuk menjadi literat di Jalan Raya Indonesia Merdeka.
ULP sadar bahwa Jalan Malioboro menjadi ikon Kota Yogyakarta selain Kraton menjadi pusat kesultanan yang membuatnya menjadi Daerah Istimewa berkat kesejarahannya pernah menjadi ibu kota Negara masa awal kemerdekaan. Di kalangan para pekerja seni dan budaya, Jalan Malioboro adalah kampus kehidupan untuk mematangkan ide-ide menjadi karya nyata yang menyentuh adab kemanusiaan.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan bila widya wisata SMA Negeri 2 Kuta Selatan selama tiga hari di Yogyakarta menginap di hotel dan dua hari di Malang. Di Yogyakarta, rombongan menginap di Hotel Grace yang dekat dengan Malioboro dan dapat dijangkau dengan berjalan kaki untuk sekadar refreshing dan shopping bila masih ada bekal. Keuntungan ganda menginap di Hotel Grace.
Pertama, di Jalan Malioboro aneka hiburan musik nusantara dan nasional bisa ditonton oleh siswa secara gratis. Penonton yang terketuk hatinya bisa mendonasikan sejumlah rupiah seikhlasnya, dengan mengisi kotak amal. Tanpa paksaan, bukan dengan gaya ngamen yang umumnya seperti pengemis. Nyatalah bahwa aura Jalan Malioboro membentuk para pekerja seni berjalan di ladang seni persembahan sebagai manusia Bali memandang seni pada awalnya. Itulah yang pada akhirnya melahirkan taksu ‘karisma seni’ yang menyala sampai ke ujung dunia.
Kedua, di Jalan Malioboro terdapat tempat shopping dan kuliner yang saling mendukung. Shopping tidak sekadar membeli aneka busana, siswa dan pengunjung pada umumnya dapat menikmati aneka kuliner di angkringan yang juga menjadi ikon kota pelajar itu. Di Jalan Malioboro, persisnya di Teras Malioboro (diresmikan 22 Januari 2022 oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X) semua orang yang lewat dapat shopping puisi gratis.
Ada tiga petikan puisi inspiratif, dua dalam Bahasa Indonesia dan satu dalam Bahasa Jawa. “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”, dan “Bagi setiap orang yang pernah tinggal di Jogya, setiap sudut kota di Jogja itu, romantis”. Satu petikan puisi Jawa di area masuk kuliner, “Urip sejatine gawe urup”, (Hidup sejatinya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi sekitarnya : menyala).
Dari penelusuran berita on line, dua kutipan puisi berbahasa Indonesia adalah petikan puisi Joko Pinurbo (Jokpin) yang meninggal 27 April 2024 dalam usia 62 Tahun. Ia lahir di Sukabumi 11 Mei 1962. Sayangnya, nama Jokpin tidak disertakan di Teras Yogya. Sementara itu, petikan puisi dalam Bahasa Jawa itu, belum ditemukan siapa pemiliknya. Mungkin milik bersama sebagai karya anonim sebagai mana sastra lama diproduksi tanpa nama pengarang. Contohnya, “da ngaden awak bisa” tembang Ginada dalam kesenian Bali yang mencitrakan orang Bali selalu rendah hati. Kerendahhatianlah yang membuatnya menyala ibarat lentera di malam gelap. Begitulah seyogyanya pencari di jalan kehidupan melalui jalur pendidikan : urip iku urup.
Latar puisi di Teras Malioboro Jogya itu dapat menjadi oleh-oleh bagi siapa saja yang berwisata ke Jogja untuk dibagikan kepada sahabat di dunia nyata dan dunia maya. Respon netizen pasti cepat dengan emoji dan kata-kata positif : wow…wah…, keren, mantap, dua jempol….
Begitulah Yogyakarta selalu mengetuk kesadaran dan kerinduan untuk kembali. Seperti juga orang luar Bali yang pernah datang ke Bali selalu ingin kemBali. Hal itu disampaikan tetamu yang berkali-kali datang ke Bali, mengaku selalu menemukan sudut berbeda dan inspiratif. Tidak berlebihan, Bali mendapat pujian orang dari berbagai negeri, sebagai sorganya dunia.
Dengan status Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, membuatnya menjadi kota inspiratif bagi Pemajuan Pendidikan di negeri ini. Di Kota ini juga perjuangan pergerakan melalui dunia Pendidikan diembuskan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan mendirikan Perguruan Tamansiswa. Oleh ULP, kata “taman” dan “tanam” selalu dipertukarkan dalam arti taman menyediakan media tanam.
Di taman, pejalan kehidupan diajak untuk sadar menanam aneka bibit tanaman untuk menggenapi lahan yang kosong. Agar tampak indah, taman perlu ditanami aneka bibit tanaman dan dirawat dengan penuh cinta kasih agar kelak bermanfaat bagi kehidupan. Ibarat pelukis, taman adalah kanvas yang mesti diisi dengan lukisan yang proporsional dan indah memenuhi seluruh bidang dengan pewarnaan yang selaras dan simetris agar tampak estetis. Indah dipandang mata. Begitulah Pendidikan diniatkan ULP pengagum ajaran Ki Hadjar Dewantara, yang kini selalu dirujuk Kemendikbud Ristek dalam Kurikulum Merdeka dengan semangat Merdeka Belajar.
Berguru ke Yogyakarta tidak lupa Malioboro yang ikonik dan ULP yang tampil nyentrik. Selalu memantik penuh puitik. Jangan lupa shopping puisi sebagai oleh-oleh dengan cekrak-cekrek : foto diunggah untuk anak seluruh negeri. [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT