DI Museum Buleleng, instalasi seperti kincir angin dan orang-orangan sawah, saung kecil sebagai tempat berteduh, membawa suasana diskusi tentang “Dharma Pamaculan dari Perspektif Pegiat Teater Bali” di Singaraja Literary Festival 2024 menjadi lebih hidup. Suasana yang akrab dengan sawah ini memang cocok dan patut diapresiasi.
Tetapi itu hanya suasana yang diciptakan oleh seniman seni rupa, nyatanya, imajinasi tentang pertanian, khusus di Bali, telah mengalami pengalihfungsian lahan pertanian menjadi gedung semacam hotel atau villa. Tentu hal ini adalah salah satu imbas dari wacana pariwisata—sebagaimana yang telah diagungkan oleh pemerintah dalam menaikan pendapatan daerah.
Adapun mereka yang barangkali masih bertahan dengan sawahnya dan statusnya masih sebagai petani itu, di tengah ruang-ruang pariwisata mereka terlihat aneh, menjadi instalasi dalam sebuah tabung pariwisata di tengah sawah-sawah yang sudah berhasil dialihfungsikan itu.
Agus Wiratama saat menjadi narasumber dalam panel diskusi “Dharma Pamaculan dari Perspektif Pegiat Teater Bali” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Gus Prim
Agus Wiratama, seorang aktor seni pertunjukan (teater) dan film, membawa para peserta untuk memikirkan kembali bagaimana lahan pertanian di Bali Selatan dalam kurun 10 tahun terakhir. Di selatan, pertanian mengalami perubahan signifikan. Hal itu menjadi perhatiannya dalam membahas bahwa manusia dan tanah, adalah satu kesatuan yang erat kaitannya dalam menjalankan hidup.
“Hari ini, kita berada pada situasi sulit, di mana di satu sisi kita ingin mempertahankan sawah, tapi di sisi lain, sawah bukanlah jawaban atas kebutuhan ekonomi kita hari ini, tidak seperti beberapa puluh tahun lalu, di mana kita tidak peduli dengan token listrik, tidak peduli dengan kuota internet, bahkan mencari air minum pun kita tidak perlu berpikir panjang,” kata Agus, Minggu (25/8/2024) pagi.
Baling-baling masih saja berputar-putar ditiup angin di dekat saung kecil itu. Orang-orangan sawah mematung di tengah 25 orang yang sedang menyimak khusyuk di balai bengong di dekat Museum Buleleng.
Naasnya, kata Agus, perubahan ini mengingatkannya pada kemandegan kebudayaan Bali, khususnya. Bayangkan, alat-alat pertanian yang dipakai untuk menggarap sawah, yang dulu dibuat oleh petani sendiri, atau anggota komunitasnya, kini harus kita impor dari Cina atau Jepang.
Agus Wiratama saat menjadi narasumber dalam panel diskusi “Dharma Pamaculan dari Perspektif Pegiat Teater Bali” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Gus Prim
“Situasi ini sama persis dengan teknologi pengolah sampah yang orang Bali sebutTeba, yang kini sudah tidak berfungsi ketika bertemu dengan sampah-sampah modern,” Agus menggebu-gebu. Peserta diskusi mengangguk-angguk.
Agus secara kritis mempertanyakan fenomena di Bali itu dengan beberapa pertanyaan menukik seram pada zaman yang serba cepat berubah ini—dengan kering.
“Jika kita yakini bahwa sawah ‘sempat’ menjadi laboratorium produksi kesenian, pertanyaan pesimis saya adalah, apa yang mampu kita produksi dengan situasi pertanian yang seperti saat ini? Atau pertanyaan yang lebih spesifik, pertunjukan yang seperti apakah yang akan lahir dari konteks keruangan seperti saat ini?”
Tentu pertanyaan tersebut dilatarbelakangi dirinya yang seorang seniman. Ia juga menjelaskan tentang begitu apiknya hubungan tubuh manusia dalam kesenian dan tanah atau bumi dalam pandangan teatrikalnya. Bagaimana di setiap tarian di Bali, katanya, sangat lekat kakinya dengan menyentuh tanah secara dominan.
Agus Wiratama saat menjadi narasumber dalam panel diskusi “Dharma Pamaculan dari Perspektif Pegiat Teater Bali” di Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Gus Prim
“Hal demikian menandakan jika bumi atau tanah, manusia menghubungkan dirinya melalui seni untuk itu. Tapi, ke mana kita semua akan menanam jika lahan pertanian sama sekali tidak ada lagi suatu saat?” terang Agus sekaligus melontarkan pertanyaan kritis dan mendasar.
Peserta terdiam, menyimak, setelah membayangkan kemungkinan-kemungkinan tentang lahan pertanian jika benar-benar tidak ada itu apa yang akan terjadi. “Tanamani diri sendiri (dengan ilmu)!” jawab Agus Wiratama.
Seniman senior, Putu Satria Kusuma—yang juga menjadi pembicara pada panel itu, seperti memberikan kesempatan pada seniman muda di sampingnya itu dengan ikut menyimak dengan saksama. Di akhir panel, pada saat Agus hendak mengakhiri materinya, ia menukil syair Ida Pedanda Made Sidemen, “Saya Setuju itu. Nandurin Karang Awak.”[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024