BAGI seorang cerpenis atau penulis prosa pemula, untuk menulis satu cerita saja bisa berminggu-minggu dan sangat mungkin berbulan-bulan. Lebih horor lagi, tidak selesai-selesai dengan waktu segitu karena masih dirasa kurang ini kurang itu saat menulis. Dirasa harus ditambah waktu lagi, lagi, dan lagi—untuk menyempurnakan ini dan itu dalam satu waktu, akhirnya timbul sebagai hasrat paling buas.
Bergelut dengan kata apa yang cocok di kalimat pertama, seperti menghadapi hutan lebat—kebingungan yang luar biasa. Belum lagi tentang premis apa yang mesti dibahas, mau diapakan lagi agar tulisan bisa lebih terstruktur dan jernih jika dibaca dalam sekali duduk itu.
Fenomena di atas, tentu saja siapa pun pernah mengalami di posisi demikian, lebih-lebih menulis menunggu mood baik adalah salah satu ritual yang sering dijumpai oleh setiap orang, terutama bagi penulis pemula yang baru saja terilhami oleh gaya menulis yang bagus dari seorang penulis. Lalu ia mengidolakan, dan ingin menulis seperti sang idola. Atau alasan lainnya yang tak terduga, misalnya, karena kebutuhan kerja.
Dee Lestari saat menyampaikan materi dalam “Workshop Menulis Prosa” di SLF 2024 | Foto: SLF/Saka
Tetapi dengan air muka yang sangat kalem dan membuat suasana menjadi riang di Bale Agung, Kelurahan Paket Agung, Buleleng—tempat masa kecilnya Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda presiden pertama bangsa ini, Soekarno, dengan penuh rasa mendorong dan tegas meyakinkan kepada peserta di sana, Dee Lestari, penulis novel Supernova yang laris manis itu, memberikan resep yang gampang sekali untuk menulis bagi penulis pemula pada “Workshop Menulis Prosa” dalam acara Singaraja Literary Festival (SLF) pada Jumat, 23 Agustus 2024.
Bahkan, ini lebih dari apa yang sebelumnya dibayangkan jika ternyata untuk memulai menulis dan menyelesaikannya cukup sederhana. Menulis itu, kata Dee sambil tersenyum, “Jangan cepet-cepet pengen bagus. Harus bertahap. Biar kita bisa menemukan apa yang kurang dari kita sebelum menulis ide-ide yang lain di lain tulisan,” ucapnya dengan lembut.
Ia memiliki perangai yang baik sebagai penulis. Sangat murah senyum. Para peserta dibuatnya seperti tak ada sekat, tak ada kasta. Benar-benar suasana menjadi setara di siang itu—bahwa tempat itu sebagai tempat belajar bersama walaupun panas sudah menjarah semuanya dengan gerah.
“Gas aja dulu. Habiskan semuanya, sampai tamat. Edit belakangan!” lanjut penulis Filosofi Kopi yang menggetarkan itu.
Peserta “Workshop Menulis Prosa” di SLF 2024 | Foto: SLF/Saka
Ia juga menegaskan jika menulis jangan sambil mengedit. Karena itu dua hal yang berbeda, katanya lagi. Menulis ya menulis—mengeluarkan ide. Setelah selesai, itulah kemudian tahap pengeditan, jangan disatukan dalam proses penulisan. “Jadi, biar kita gak berat saat menulis. Pokoknya, tulis-tulis aja deh dulu hehe..” Ia terkekeh.
Sampai di sini, ia juga memberikan teknik yang lain agar menulis tak dirasanya sebagai aktifitas yang berat. Mendiamkan tulisan menjadi sebuah draft beberapa waktu itu penting, biar inspirasi penulisan berkembang.
“Berikan waktu pada tulisan kita juga itu perlu agar kita mendapatkan celah apa yang kurang. Dari sanalah perkembangan pada tulisan akan terlihat, dari pada sibuk menulis sekaligus mengedit itu kan rasanya pasti berat sekali sehingga tulisan gak selesai-selesai,” terang Dee.
Manusia tidak akan pernah bisa menulis yang bagus. Maksudnya, pasti ada saja yang dianggap kurang oleh si penulis—walaupun itu hanya tanda baca, atau satu kata yang kurang, dan atau premis dan lainnya. Dari pada stress memikirkan itu menghabiskan waktu, sebagaimana dikatakan Dee, sebaikknya kita mesti belajar menerima ketidaksempurnaan itu.
“Jadi, menulis itu tak hanya sekadar membuat karya, tetapi juga bagaimana kita mengeluarkan sampah-sampah yang ada di dalam pikiran kita. Itulah efek baiknya dari menulis. Muntahkan semuanya dalam tulisan—ingat, nanti editnya belakangan!” Dee seperti mengajar anak SD yang masih belum sempurna menulis huruf.
Dee Lestari dan Henry Manampiring saat menyampaikan materi dalam “Workshop Menulis Prosa” di SLF 2024 | Foto: SLF/Saka
Kemudian untuk inspirasi, agar tulisan lebih kaya akan cerita secara imajinasi, Henry Manampiring melanjutkan menyampaikan materinya kemudian. Ya, lokakarya ini memang diisi oleh Dee dan Henry, penulis Filosofi Teras yang terkenal itu.
Media sosial dan film, kata Henry menjelaskan, dapat menjadi pemantik bagaimana imajinasi akan bermunculan saat menulis, baik itu pada cerita humor atau cerita yang serius—atau cerita-cerita receh dari media sosial yang kita lihat secara tidak sengaja.
“Di sana juga, secara filsafati kita sebagai penulis, bisa kita bawa ke arah mana atau dipakai buat apa itu, sebagai bahan penulisan, jika memang dianggap bagus atau ada. Saya sering mendapatkan ide dari media sosial, dari memperhatikan tingkah netizen. Kemudian juga film-film seperti Joker dan lain sebagainya,” kata Henry
Dalam mewujudkan perwatakan pada si tokoh dalam membangun cerita yang lebih hidup, cerita-cerita di sekitar kita juga bisa kita tiru atau diambil. Satu waktu, kata Henry memulai cerita, temannya mengeluh kepadanya, kok bisa bawahannya lebih hedon—dengan mobil bagus dan jam tangan lebih mahal—daripada temannya yang sebagai bos.
“Kemudian dia, teman saya itu, bertanyalah kepada bawahannya yang ia curigai dan siniskan, ‘Kok kamu lebih mewah gaya hidupnya dari saya? Padahal gajimu pas-pasan?’ Anak buahnya kemudian menjawab, ‘Bapak pernah waktu kecil menahan lapar? Tak bisa membeli baju bagus? Atau tadi, bingung besok mau makan apa?” Henry memutus ceritanya.
Dengan ritme lebih santai Henry melanjutkan—ia memandang wajah para peserta yang menunggunya melanjutkan cerita. “Gue udah kenyang ama miskin!” lanjut Henry menceritakan jawaban anak buah temannya itu dalam kisah.
Dee Lestari dan Henry Manampiring saat menyampaikan materi dalam “Workshop Menulis Prosa” di SLF 2024 | Foto: SLF/Saka
Para peserta tertegun saat mendengar kalimat “Gue udah kenyang ama miskin!”. Benar-benar cerita yang tak bisa ditebak. Dalam mengisahkan perwatakan, lanjut Henry, kita bisa membuat bagaimana si tokoh tak dapat dikira sebenarnya ia memiliki alasan dalam berbuat sesuat, dan atau mengapa ia seperti itu.
“Seperti cerita singkat tadi, kita bisa menilai bahwa anak buah teman saya itu dulunya miskin, dan ia ingin mengubah dan menujukan ke dunia jika ia bisa melakukan sesuatu hal—dengan usaha dan kerja kerasnya sendiri. Sebab itulah back story, itu sangat diperlukan dalam menuliskan kisah atau menanamkan watak pada si tokoh,” kata Henry.
Sampai di sini, terkait tulisan yang membuat kesal karena tidak selesai-selesai, yang kerap menjangkiti para penulis muda—yang tulisannya ingin terlihat bagus dalam sekali belajar dalam sekali menulis, itu akan sulit, dan hanya menhadirkan deretan panjang ketidaksempurnaan yang lain—dalam keterampilan menulis.
Henry sepakat apa yang dikatakan oleh Dee Lestari jika memberi “tenggat selesai” pada tulisan yang sedang digarap sangatlah diperlukan walaupun masih pemula. Itu baik untuk menemukan kekurangan diri sendiri.
“Selesai atau gak selesai, pokonya harus selesai.. haha..” Jelas penulis yang pupuler itu penuh humor sambil menyemangati. “Dan pokoknya, jangan sesekali menunggu mood bagus untuk menulis selesai, karena bergantung pada kondisi semacam itu tidak akan bisa membawa kita kepada tahap kepenulisan yang berkembang,” tambahnya sambil tersenyum.[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024