PURA Gunung Payung di Gumi Delod Ceking, tepatnya terletak di Desa Adat Kutuh, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pura ini berstatus sebagai Pura Dang Kahyangan terletak di batas Timur Desa Adat Kutuh, sedangkan batas Baratnya adalah Pura Batu Pageh. Keduanya berstatus sebagai Pura Dang Kahyangan yang dipercaya sebagai pura tempat persinggahan Dang Hyang Nirartha dalam dharma yatranya di Gumi Delod Ceking.
Dalam buku sejarah Pura-Pura di Bali karya I Ketut Subandi, Pura Gunung Payung disebut Pura Bukit Tedung. Penamaan ini terkait dengan dharma yatra Dang Hyang Nirartha di Gumi Delod Ceking. Konon dalam pengembaraan-Nya, setiba di Gunung Payung, Beliau kehausan tiada air di atas batu karang yang kering kerontang. Maka ditancapkanlah tangkai payung dan keajaiban tiba-tiba muncul mengeluarkan air sebagai pelepas dahaga.
Krama Desa Adat Kutuh menyebut tempat sumber air yang keluar dari bebatuan itu disebut kubung, ’danau karst’. Kini kubung itu disakralkan sebagai sumber tirta yang tidak pernah kering walaupun musim kemarau sekali pun. Menurut penuturan I Wayan Kitra, anak seorang pemangku Pura Gunung Payung, menyebutkan, pernah warga nunas tirta ketika terjadi masalah keributan antarpemuda desa bertetangga, tirtanya keruh ‘puek’, tidak seperti biasanya, bening. Fenomena ini dapat ditafsirkan sebagai respon alam Spiritual terhadap disharmoni yang terjadi di sekitarnya.
Dalam sejarahnya, upacara besar dengan Caru Panca Kelud pernah dilaksanakan di Pura Gunung Payung pada 1984 saat Purnama Sasih Kadasa, ketika Bandesa Adat Kutuh dijabat oleh I Ketut Subrata. Sejak itu, Pujawali Pura Gunung Payung dilaksanakan pada Purnama Sasih Kadasa padahal menurut Awig-Awig Desa Adat Kutuh Pujawali Pura Gunung Payung jatuh pada Purnama Sasih Kaulu. Sejak 2005, Pujawali dikembalikan ke Purnama Sasih Kaulu, saat Bandesa Adat Kutuh dijabat oleh I Wayan Litra (almarhum).
Pada 2008 penataan dilakukan secara besar-besaran, mengikuti konsep trimandala : Utama Mandala, Madya Mandala, Nista Mandala. Saat penataan itu, sejumlah bangunan penunjang didirikan termasuk Bale Gong dan Bale Kulkul.
Sebelumnya, sekitar 1997 didirikan Padmasana atas petunjuk Ida Pedanda dari Geria Taman Sanur. Setelah penataan selesai, dilaksanakan upacara besar pada 2012 dan sejak itu, Pura Dang Kahyangan Gunung Payung mendapat bantuan dana Upacara Pujawali dari APBD Pemerintah Kabupaten Badung, saat Bupati Badung dijabat Anak Agung Gde Agung, S.H.
Sampai 2024, dua kali musibah menimpa Pura Gunung Payung, pada 2013 setahun setelah karya besar itu, Bale Papelik roboh diterjang badai dan 2023 Meru Tumpang Tiga Pura Gunung Payung terbakar dengan dugaan sumber api berasal dari api dupa setelah sembahyang.
Di dalam Awig-Awig Desa Adat Kutuh, disebutkan Pura Gunung Payung termasuk Pura Pangibeh sisi timur, sedang sisi Baratnya adalah Pura Batu Pageh yang juga disungsung oleh Desa Adat Ungasan. Pura Pangibeh di Utara adalah Pura Melang Kaja dan Pangibeh Selatannya adalah Pura Penyarikan. Di Tenggara Desa Adat Kutuh terdapat Pura Pangibeh Melang Kelod, sedangkan di Timur Lautnya Pura Bangbang Beji, dengan pusatnya di Pura Pengubengan.
Di Barat Laut Desa terdapat Pura Pangibeh Dauh Margi. Keberadaan Pura Pangibeh Desa Adat Kutuh ibarat padma buana yang mengelilingi Desa Adat Kutuh tak ubahnya benteng pertahanan penjaga sekala niskala Desa Adat Kutuh.
Selain memiliki Pura Pengibeh, Desa Adat Kutuh tentu saja memiliki Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem,dan Pura Praja Pati di Ulu Setra), Pura Toyo Ning serta Pura Segara. Jika Desa Adat Kampial memiliki Pura Penataran dan sejumlah Pura Ibu Tapa sebagai ciri pemerlainnya, Desa Adat Kutuh memiliki Pura Pengibeh dan Pura Pengubengan sebagai ciri pemerlain. Hal ini unik karena konsep Pura Pengibeh ini tidak ditemukan di desa adat Delod Ceking lainnya.
Begitu juga Pura Pengubengan, di Gumi Delod Ceking hanya ada di Desa Adat Kutuh. Mirip dengan Desa Adat Kampial dengan Pura Penataran dan Kutuh dengan Pura Pengubengan mengingatkan saya pada keberadaan Pura Besakih yang memiliki Pura Penataran Agung dan Pura Pengubengan. Boleh jadi kedua desa adat itu mendekatkan diri dengan Besakih melalui mendirikan penyawangan Pura Penataran dan Pura Pengubengan tempo doeloe ketika akses dan transportasi masih sulit.
Kembali ke Pura Gunung Payung sebagai Pura Dang Kahyangan. Walaupun secara geografi kewilayahan berada di Desa Adat Kutuh, tetapi penyungsung pangarep-nya juga dari Desa Adat Kampial, Desa Adat Bualu, dan Desa Adat Peminge. Ada dua tugas dari Desa Adat Kampial yaitu ngaturang banten sesayut menjelang usai rangkaian Puja Wali yang jatuh setiap Purnama Kaulu dan ngaturang tabuh rah. Itu dilakoni Desa Adat Kampial secara konvensional turun – temurun dari dulu hingga kini.
Desa Adat Bualu biasanya ngaturang ayah masolah dari sekaa unen Jaba berupa Rangda dan Barong, sedangkan Desa Adat Peminge ngaturang ayah masolah dari sekaa unen Banjar Sawangan. Yang unik dari Sekaa Unen Sawangan, selain menampilkan Barong dan Rangda, juga diiringi Tari Telek. Perlu juga dicatat, Sekaa Unen dari luar Desa Adat Kutuh, jika ngaturang ayah masolah serangkaian Pujawali selalu dimulai dari Sekaa Unen Banjar Pantigiri Kutuh sebagai tuan rumah yang berupa Rangda, Ratu Ayu Manik Sari dengan iringan Tari Legong.
Sebagai mana pujawali pada umumnya, puja wali di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung merepresentasikan menyatunya semangat ritual dan spiritual yang selalu ditunggu-tunggu krama Desa Adat Kutuh karena selain melaksanakan persembahyangan mereka juga mendapat tontonan gratis di Madya Mandala yang luas dari sekaa unen yang ngaturang sesolahan. Munculnya festival-festival seni di berbagai Kawasan wisata kini juga terinspirasi dari semangat ngayah yang berlangsung di Pura dengan konsep persembahan kepada Hyang Widhi dengan segala manifestasinya.
Keberadaan sekaa unen di desa adat itu membuktikan bahwa Pura Gunung Payung (dan Pura pada umumnya) adalah lembaga pendidikan senyata-nayatanya dalam rangka mendidik dan mengajarkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap kepada krama panyungsung-nya. sebagaimana Lembaga Pendidikan modern mengajarkannya.
Dalam konteks keberagamaan, bukan hanya di Pura tempat mengaktualisasikan ajaran tatwa, susila, upacara melainkan juga di setiap jejak langkah kehidupan karena beragama adalah laku hidup dalam keseharian. Pura dan tempat suci pada umumnya adalah tempat penguatan dalam mengembangkan tatwa, Susila, upacara. Jika Pendidikan pada hakikatnya mendidik diri sendiri, maka Pura pada hakikatnya meru sarira dalam diri. Menempuh Pendidikan keluar untuk meningkatkan kualitas diri, begitu juga melakukan dharma yatra keluar juga untuk meningkatkan kualitas diri terhubung dengan Sang Maha Kawi. Begitulah, Dang Hyang Niratha meningkatkan kualitas pencapaian hingga moksa di Pura Uluwatu. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT