GEGURITAN Japatuan berkisah tentang tentang perjalanan hidup seseorang bernama Japatuan. Ki Japatuan memiliki seorang kakak bernama Gagak Turas, sedangkan istrinya bernama Ni Ratnaning Rat. Kecantikan istrinya itu konon bagai bulan yang bersinar paling terang di tengah kegelapan. Terlebih ia juga seseorang yang menjalankan patibrata ‘brata tertinggi yang menunjukkan kesetiaan seorang istri terhadap suami’.
Ki Japatuan adalah pengantin muda. Pernikahannya dengan Ratnaning Rat baru berumur tiga bulan. Saat mereka sedang menikmati madu pernikahan, pada suatu malam istrinya bermimpi bahwa batas waktunya di dunia hanya tersisa tujuh hari. Ratnaningrat segera menyampaikan sipta itu kepada suaminya, sembari menitipkan pesan kepada Ki Japatuan agar ia kuat menjalani hidup sendiri. Ratnabumi juga meyakinkan suaminya, salaksa reinkarnasipun ia ke dunia hanya untuk bertemu dan menemani Japatuan.
Tiba batas waktunya. Sakit keras menjadi jalan kematian Ratnaning Rat. Hancur hati Ki Japatuan menghadapi situasi ini. Iapun ingin mengikuti kematian istrinya dengan cara bunuh diri menggunakan keris, tetapi berhasil dihalangi oleh Ki Gagak Turas. Rasa sayangnya yang mendalam kepada Ratnaningrat menyebabkan ia tak rela berpisah meski dengan badan kasar tanpa jiwa. Mayat istrinya selama tiga bulan masih setia dirawat dan dipeluk sepenuh hati oleh Ki Japatuan. Tubuh yang tanpa jiwa akan kembali ke alam karena konon bahannya tak berbeda. Bau amis dan busuk menjadi ciri bahwa tubuh Ratnaning Rat akan bersatu dengan alam.
Cinta ternyata tak hanya menutup mata seseorang, tetapi juga menyumbat saluran hidung. Meski mayat istrinya perlahan membusuk dengan aroma alid, Japatuan sama sekali tak bermasalah. Yang bermasalah justru warga desa. Mereka tahu bahwa menyimpan mayat di pekarangan rumah dalam batas tertentu bisa menumbulkan penyakit secara sakala dan niskala. Terlebih setelah mereka bertanya kepada sang pendeta dan raja. Dari kedua orang yang mempunyai otoritas rohani dan politik itu didapatkan informasi bahwa menyimpan mayat di rumah akan sangat mengotori desa. Mayat itu akan berubah menjadi Banaspati yang menjadi sumber aneka penyakit mematikan.
Warga desa tentu tidak mau jika masalah pribadi Japatuan sampai merugikan mereka. Menyikapi hal itu, warga desa beramai-ramai menuju rumah Japatuan untuk membawa paksa mayat Ratnaning Rat. Tak hanya itu, balai tempat mayat tersebut disemayamkan juga diambil untuk dibawa ke kuburan. Berhadapan dengan masyarakat desa, Japatuan harus merelakan jenazah istrinya dibawa ke kuburan. Entah apa yang sesungguhnya menjadi kekuatan cinta itu, kuburan tak membuat Japatuan takut. Kuburan dijadikannya rumah kedua untuk menemani istrinya. Siang malam ia habiskan waktunya di Setra Gandamayu itu hingga sabda dari angkasa diterimanya. Samar-samar Ki Japatuan tahu bahwa suara halus itu milik belahan jiwanya, Ratnaningrat.
Melalui sabda itu Ratnaning Rat berpesan agar mayatnya dikubur dengan baik oleh Japatuan. Apabila ada pohon kastuba yang tumbuh di areal kuburan, itulah pertanda kehadirannya di dunia. Ratnaningrat juga meminta agar Japatuan meminum getah dari pohon kastuba tersebut sebagai simbol bahwa mereka telah bertemu kembali. Pohon kastuba yang tumbuh di arah timur memiliki getah berwarna putih, sangat nikmat, dan menjadi jiwa kehidupan manusia.
Pohon kastuba yang ada di arah selatan berwarna merah, karena sangat wirya getahnya tidak boleh dimakan. Apabila dimakan seseorang bisa menjadi loba dan murka. Oleh sebab itulah, getahnya harus diubah menjadi sari. Pohon kastuba yang ada di arah barat, getahnya berwarna kuning. Bisa diolah menjadi racun yang mematikan. Akan tetapi, yang kuning betul-betul hening dinamakan sunya. Pohon kastuba yang tumbuh di arah utara berwarna hitam. Apabila dicampur semua getah itu, disebut dengan ampiun yang mengandung racun sekaligus juga sari.
Belum tuntas sabda itu didengar oleh Japatuan, tiba-tiba tanah kuburan bergetar lalu terbelah. Dari lubang tanah muncullah Hyang Siwa dengan wujud gundul tanpa busana. Batara Siwa memberikan Japatuan restu untuk mencari istrinya ke sorga karena dijadikan penari legong oleh Dewa Indra. Hyang Tunggal juga menyarankan agar Japatuan berjalan ke arah timur laut menuju sungai Serayu untuk melakukan tapa brata selama 42 hari. Berbekal anugerah itu Japatuan bersama kakaknya segera menuju sungai Serayu.
Dalam perjalanan, Japatuan kembali ingat kepada Ratnaningrat yang dikenangnya dalam kening. Kepadanyalah seluruh angan ingin diterbangkan bersama angin. Bunga tampakbela yang berwarna putih bagai melambai-lambai, sulur bunga sikarini serasa memberi petunjuk agar Japatuan mempercepat langkah sehingga dengan cepat sampai di tempat istrinya. Daun siwalan yang dihanyutkan oleh air sungai laksana anak rambut di pelipis Ratnaningrat. Bambu kuning yang telah lepas salunya, mengingatkan Japatuan pada paha Ratnabumi. Nyuh gading kembar seperti sengaja menuntun ingatan Japatuan kepada suburnya buah dada istrinya yang dibelah oleh celah sempit. Semua tingkah polah alam itu mendramatisasi mata hatinya sehingga air matanya tak tertahankan menetes melalui ujung mata.
Sampai di Tukad Sarayu yang ditandai dengan batu putih, Japatuan memusatkan konsentrasi memuja Tuhan dalam prabawa Hyang Harimurti. Sesuai anjuran Hyang Siwa sebelumnya, tapa itu dilakukannya selama 42 hari. Ternyata benar, setelah hari akhir dari tapa, Batara Wisnu muncul. Hyang Wisnu tak segera memberi petunjuk menuju sorga, beliau menanyakan sosok yang memberi anugerah kepada Japatuan sampai ke tempat itu.
Usai menjelaskan bahwa Dewa Siwa yang berkenan memberi petunjuk kepadanya, Hyang Wisnu memberitahu Japatuan untuk sampai ke sorga ia harus menyeberangi sungai Sarayu menggunakan bantuan buaya. Betapa takutnya Gagak Turas karena buaya yang ditumpangi mereka begitu besar dengan taring tajam. Akan tetapi aneh, buaya yang konon bengis pemakan manusia itu tampak jinak dan bersahabat. Setelah bertanya kepada Japatuan, Gagak Turas tahu bahwa buaya itu adalah saudara mistisnya, yang berpisah saat mereka lahir. Buaya itu adalah air-ari dan lamas.
Gagak Turas tak menyangka setelah bertemu dengan buaya, ia harus merasakan dekat dengan maut lagi karena melihat raksasa dengan mulut ternganga lebar memenuhi jalan. Mata raksasa itu mendelik, giginya seperti pedang yang baru diasah, siap memangsa siapa saja yang ada di depannya. Mereka berdua tak punya jalan lain kecuali masuk ke mulut raksasa itu agar bisa menempuh jalan berikutnya. Belum sempat berpikir untuk lari, raksasa itu menjerit seraya meminta bantuan untuk menghilangkan sesuatu yang mengganjal pada giginya. Japatuan bersama Gagak Turas memasuki mulut raksasa tersebut sampai akhirnya berhasil tembus ke luar lagi. Ternyata mereka masih hidup. Japatuan menjelaskan bahwa raksasa itu sesungguhnya adalah bagawasa ‘lubang vagina, tempat semua manusia lahir’ ke dunia.
Berselang beberapa saat, adrenalin Gagak Turas kembali berguncang karena melihat seekor macan belang berwarna merahdan seekor anjing hitamdengan perawakan yang besar menakutkan. Mengetahui kakaknya sangat takut, Japatuan menjelaskan bahwa macan itu juga adalah saudara mistis mereka. Macan itu tiada lain adalah darah yang mengalirkan sari-sari makanan ketika berada di perut sang ibu. Sementara itu, anjing hitam yang menungguinya adalah yeh nyom yang juga saudara mereka ketika dalam garba sang ibu. Mendengar penjelasan itu, Gagak Turas menjadi tenang. Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan.
Habis gelap terbitlah terang. Usai mengalami berbagai kecemasan karena dihadang oleh buaya, raksasa, macan, dan anjing hitam, Japatuan bersama kakaknya tiba di suatu tempat yang dipenuhi dengan bunga beraroma harum. Jalan yang indah dengan sembilan cabang membuat Gagak Turas terpesona seraya ingin menempuh jalan itu untuk sampai ke sorga bertemu dengan iparnya. Akan tetapi, Japatuan tidak mengizinkan saudaranya melewati jalan itu. Ia mengatakan bahwa jalan itu disebut dengan marga sanga ‘sembilan jalan’ yang dipenuhi oleh berbagai raksasa yang siap memangsa manusia.
Mereka kemudian memilih jalan lain, hingga sampai di suatu tempat. Dari tempat itu Gagak Turas dapat melihat meru bertingkat sebelas yang ada di lima penjuru arah mata angin. Di arah timur ia melihat meru dengan seluruh busana berwarna putih. Di arah selatan juga ada meru berwarna merah. Di arah barat ada meruh dengan hiasan berwarna kuning. Di arah tengah warna busananya panca warna. Pada masing-masing sudut juga ada meru yang tingkatannya berbeda-beda. Di arah timur laut meru bertingkat sembilan dengan busana berwarna biru. Di arah timur laut meru bertingkat lima dengan busana berwarna merah muda. Di arah tenggara meru bertingkat tiga dengan busana jingga. Di arah barat daya meru bertingkat tujuh dengan warna hijau.
Tempat itulah yang disebut sorga menurut penjelasan dari Japatuan. Terdapat uraian yang cukup panjang mengenai sorga, termasuk neraka tempat para atma berdosa mendapatkan hukuman. Satu hal yang perlu dicatat adalah posisi sorga yang sesungguhnya tidak jauh dari neraka. Sorga seperti yang diceritakan dalam teks-teks sastra lain bukan saja sangat dekat dengan neraka, tetapi juga rentan terhadap gangguan dari para raksasa. Barangkali karena itulah capaian ideal manusia Bali di masa lampau bukan sorga atau neraka, tetapi sesuatu yang ada di antara kedua wilayah tersebut yaitu sunyamreta.
Pada bagian ini juga ada penjelasan mengenai sapta yadnya yang terdiri atas Dewa Yadnya (memuja dewa yang ada di dalam tubuh ‘dewa ring ragane puji’), Pitra Yadnya (memberi persembahan kepada leluhur ‘aweh saji pitrane’), Bhuta Yadnya (mengharmoniskan Butha dengan caru), Resi Yadnya (pemberian kepada para resi), Siwangsit Yadnya (memberi isi kerajaan kepada Sang Adi Guru), Aswameda Yadnya (yadnya yang bersarana kuda), dan Manusa Yadnya (pemberian kepada tamu ‘salwiring atatamwan’). Uraian tentang yadnya, dilengkapi dengan sejumlah pustaka yang kemungkinan besar digunakan oleh pengarang dalam menulis karya sastra ini yaitu Anggastya, Atma Prasangsa, Kunjara Karna, Parwa, dan Kalepasan.
Pasca uraian yang panjang mengenai sorga neraka, panca yadnya, dan pustaka-pustaka, perjalanan Japatuan bersama Gagak Turas untuk mencari Ratnaningrat ke sorga dilanjutkan. Pertama-tama mereka bertemu dengan Bhagawan Wrehaspati. Beliau berkenan memberikan tirta penyucian dan jalan menuju ke arah timur laut agar Japatuan dan Gagak Turas bertemu dengan Bhagawan Sukra. Setelah menyatakan bahwa yang memberi anugerah untuk mencari istrinya ke sorga adalah Batara Siwa, Bhagawan Sukra pun bersedia memberikan tirta panglukatan untuk menyucikan Japatuan dan Gagak Turas.
Dalam perjalanan pulang dari pasraman, Japatuan dan Gagak Turas dihadang oleh empat raksasa dengan taring tajam, mata melotot, kuku panjang, susu menjuntai, rambut merah kusam tak teratur. Mereka berempat siap menyiksa atma manusia berdosa yang datang ke tempatnya. Menghadapi situasi itu, Japatuan tetap tenang karena ia tahu bahwa keempat raksasa itu adalah evolusi dari empat saudara mistisnya. Japatuan mengakui keempat rakasasa itu sebagai saudara dengan penjelasan sebagai berikut. Pada saat masih di dalam kandungan sang ibu, keempat raksasa itu bernama I Lembada, Abra Murub, I Sugyan, I Kekerek. Setelah lahir, mereka bernama I Salahir, I Jalahir, I Mokahir, dan I Makahir. Setelah dewasa, mereka bernama Anggapati, Prajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja. Setelah itu, mereka berganti nama menjadi Jogormanik, Suratma, Dorakala, dan Mahakala. Dengan penjelasan tersebut, keempat raksasa itu tertawa dan setuju bahwa mereke berempat adalah saudara dari Japatuan.
Dari empat saudara mistis itulah Japatuan dan Gagak Turas mendapatkan petunjuk agar mereka berdua menyucikan diri di sebuah pancuran yang bernama Pancaka Tirta, sebab mereka masih berbadan manusia. Jogormanik bahkan mengantarnya sampai ke tempat pemandian. Di pancaka tirta mereka melakukan berbagai penyucian. Tirta yang ada di sebelah selatan berwarna merah dengan Dewa Brahma sebagai penguasa. Tirta itu bisa menyucikan orang-orang yang suka mencuri dan berbuat buruk semasa hidupnya. Tirta yang terletak di sebelah barat dianugrahi oleh Batara Mahadewa untuk menyucikan orang-orang yang hina, berdosa kepada guru dan suami.
Tirta yang ada di sebelah utara berwarna hitam, dianugerahi oleh Batara Wisnu untuk menyucikan orang-orang yang bisa ngaleak, suka berselingkuh, dan perbuatan buruk lainnya. Tirta yang ada di sebelah timur berwarna putih, dianugerahi oleh Batara Iswara untuk menyucikan orang-orang yang suka berbohong, melakukan ujaran kebencian, fitnah, dan hal-hal yang berkaitan dengan perkataan lainnya. Tirta yang ada di tengah berwarna lima jenis, dianugerahi oleh Batara Siwa menyucikan diri bagi orang-orang yang selama hidupnya sakit-sakitan, serta dipenuhi dengan segala kekotoran.
Usai melakukan penyucian, Japatuan dan Gagak Turas melanjutkan perjalanan. Dari angkasa muncul dua makhluk bersayap bernama Garudha dan Wilmana. Karena berwujud menakutkan, Ki Gagak Turas sampai menggigil melihat dua makhluk tersebut. Japatuan sendiri bersikap tenang, karena ia tahu bahwa yang sedang datang menjemputnya itu adalah ayah dan ibunya. Dengan menyebutkan kata kunci ibu pertiwi dan bapa akasa, kedua makhluk menakutkan itu mengakui Japatuan sebagai anaknya. Mereka juga meminta sesajen berupa bubur suyup pirata. Setelah mendapatkan sesajen, Japatuan dan Gagak Turaspun diterbangkan menuju Wisnu Bhuwana.
Japatuan mengajak Gagak Turas untuk mampir ke beberapa tempat untuk memohon petunjuk.
Pertama, ia datang ke tempat yang diakuinya sebagai milik i bapa dengan kata kunci ‘angkara sumber munculnya api’. Kedua, ia menghadap ke tempat yang diakuinya sebagai milik i pekak(apakah di sini ada kata kunci “ung kara munculnya air”? dalam teks tidak disebutkan). Ketiga, ia menghadap ke tempat yang diakuinya sebagai milik i kompyangdengan kata kunci ‘mangkara munculnya angin’. Keempat, ia menghadap ke tempat yang diakuinya milik i kelab dengan kata kunci ‘tidak berani/tunduk semua bunyi/sabda’.
Kelima, ia menghadap ke tempat yang diakuinya milik i buyut dengan kata kunci ‘I kara memunculkan dunia’. Keenam, ia menghadap ke tempat yang diakuinya sebagai i canggah dengan kata kunci, ‘angkara munculnya sinar’. Ketujuh, ia menghadap ke tempat yang diakuinya i warengdengan kata kunci ‘angkara munculnya angin’. Ke delapan, ia menghadap ke tempat yang diakuinya sebagai i krepek dengan kata kunci ‘ungkara munculnya langit’. Melalui i krepeklah mereka berdua memohon bantuan agar diantarkan menuju Kahyangan Bhatara Indra. Penawaran i krepek membuat Batara Indra berkenan memberikan anugerah kepada I Japatuan serta mengembalikan istrinya untuk diajak kembali ke dunia.
Kisah Japatuan di atas mengantarkan kita pada suatu narasi tentang perjalanan menjelajahi tubuh. Yang ditemukan oleh Japatuan dalam penjelajahannya justru adalah saudara dan keluarganya sendiri secara mistis. Ia juga mendapatkan istri atau saktinya. [T]
BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA