- Materi Pelatihan Cerpen, MGMP Bahasa Indonesia se-Kabupaten Buleleng
YANG sangat ”berbahaya” dalam pelajaran menulis ketika pelajaran itu menjadi teoretis. Guru sering dipandang sebagai tenaga profesional tetapi untuk bidang-bidang tertentu tidak dinilai sebagai praktisi. Hal ini tampak dalam pelajaran bahasa Indonesia. Salah satu keterampilan guru yang paling dianggap tidak praktis adalah menulis. Guru bisa mengajarkan menulis tetapi tidak pernah menulis.
Namun demikian, kurikulum menuntut guru bahasa dan sastra Indonesia harus mengajarkan keterampilan menulis. Semuanya berjalan lancar namun tidak pernah lahir penulis dari tangan guru. Kalau ada siswa yang terampil menulis, ini hanya sebuah ”kecelakaan”.
Penulis itu lahir dari dalam kehidupannya. Dari biografi para penulis terungkap banyak sekali faktor pendorong seorang menjadi penulis. Yang paling lumrah adalah lingkungan literasi, terutama di keluarganya.
Misalnya seorang memiliki orang tua yang suka membaca dan membeli buku, sampai membangun perpustakaan di rumah maka anak yang tumbuh di sana kelak menjadi penulis. Bisa pula menulis itu untuk tujuan yang tidak masuk akal yaitu untuk penyembuhan sakit jiwa.
Ada pula menulis karena ingin menyampaikan isi hatinya. Ada pula yang suka menulis karena ingin memiliki buah pena. Saking inginnya mereka memiliki karya, ia membaca karya yang bagus. Karya ini kemudian disalin atau ditulis ulang berdasarkan ingatannya tanpa perubahan. Jika ada perubahan pada karya yang dijiplaknya, semata-mata karena keterbatasan ingatannya. Atau sedikit perubahan yang disengaja. Lantas cerita itu dibubuhi namanya sendiri.
Alasan lain orang menulis adalah karena diberi dorongan oleh bahan bacaan yang menarik hatinya. Ia ingin menulis seperti apa yang ia baca. Tulisan ini biasanya tidak selamanya hanya menarik tetapi juga mudah untuk ditiru. Maka mulailah seseorang menulis.
Kurang lebih itulah beberapa asal-muasal seseorang menulis. Latihan menulis memang sering dilakukan tetapi bekerja metode seleksi. Orang-orang yang ikut latihan menulis sebenarnya bukan mulai dari nol tetapi sudah mencapai kemampuan menulis sekitar 85%. Artinya sangat mustahil melakukan latihan menulis (juga menulis cerpen) dengan modal nol.
Yang dimaksud modal di sini adalah pengalaman membaca dan daya tarik terhadap cerita. Karena itu jangan salahkan bahwa guru bahasa gagal mengajarkan menulis. Mereka hanyalah guru yang tahu teori menulis tetapi pada umumnya tidak memiliki karya karena tidak menulis.
Bagi yang awam, menulis itu berat tetapi ringan bagi penulis. Pelatihan-pelatihan menulis atau pelajaran menulis memang tidak cukup sehari dua hari. Ini tidak memberi hasil nyata kecuali bagi mereka yang sudah memiliki 85% tadi. Artinya, mereka sudah memiliki modal. Mengajarkan atau melatih menulis orang yang dimulai dari nol dalam pelatihan resmi tidak hanya berat bagi peserta tetapi justru lebih berat bagi pelatih.
Yang harus diingat atau lazimnya terjadi adalah yang sering memberi pelatihan menulis bagi orang-orang yang gemar menulis yang sudah memiliki 85% itu adalah para penulis. Para penulis seperti cerpennis, sastrawan, atau penulis esai, tidak memiliki teori umum dalam menulis. Yang terjadi dalam pelatihan menulis adalah apa yang dialami oleh instruktur yang adalah penulis.
Pelatihan menulis adalah menceritakan pengalaman sebagai penulis yang terus menulis hingga puluhan tahun (dari buku harian, surat-surat kertas dikirim via pos, hingga medsos). Menulis dalam waktu yang lama dengan intens tidak pernah putus. Hal ini sering diberi tekanan atau perhatian. Dalam pelatihan menulis yang diber oleh penulis adalah pengalaman pribadi.
Pengalaman ini biasanya berkaitan dengan cerita yang ditulis untuk teks sastra dan teknik menulis. Teknik menulis mungkin bisa sama tetapi teknik bahasa berbeda karena menyangkut gaya perseorangan. Pemilihan cerita yang akan ditulis dijadikan cerpen juga sangat subjektif. Di sini pengalaman yang banyak bicara.
Cerpen itu sebenarnya tidak berupa karangan (fiksi) tetapi cerita yang ada di dalam kehidupan manusia. Benar yang dikatakan oleh Julia Kristeva bahwa pengarang itu hanyalah talang air tempat cerita dari semesta mengalir lalu ditulis di atas kertas atau di dalam komputer.
Untuk memulai mengarang, yang dibutuhkan adalah bahan berupa cerita (bukan tema). Untuk gampangnya cerita ini bukan fiksi tetapi kejadian nyata di muka bumi. Kejadian nyata inilah yang diolah oleh pengarang dengan imajinasi dan kreativitas.
Jumlah imajinasi di dalam cerpen itu sangat sedikit. Orang salah paham kalau cerpen atau sastra itu dipandang fiksi, khayalan, buah lamunan. Cerita dari realitas adalah bahan utama dalam membuat cerpen atau novel.
Imajinasi adalah semacam bumbu penyedap saja. Karena tidak seluruhnya fiksi, cerpen (dan semua karya sastra) selalu mengandung pengetahuan tetapi sering dianggap tidak benar karena semata-mata diberi label cerpen, novel, atau roman.
Tidak mudah bagi semua orang berimajinasi. Imajinasi bisa bekerja kalau dipadukan dengan kejadian yang nyata. Untuk itu, menulis cerpen mulai dari cerita yang sudah pernah terjadi di masyarakat. Kata cerita mungkin terlalu berbau dongeng atau sastra. Sebaiknya harus diganti dengan peristiwa. Peristiwa itu sangat banyak. Ada yang menarik, ada yang tidak.
Menulis cerpen mulai dari cerita apa yang akan kita tulis. Cerita ini sama sekali bukan tema tetapi kesatuan atau keutuhan informasi yang melibatkan manusia. Untuk mudahnya peristiwa itu selalu bisa dipahami dengan 5W 1H. Sastra, cerpen atau novel juga memiliki unsur 5W 1H yang berlapis-lapis karena dikembangkan.
Yang perlu dilatih adalah menemukan cerita. Ditangkap secara lisan. Di dalam pikiran cerita itu disusun sesuai dengan apa yang ada di dalam kenyataannya. Setelah itu cerita itu ditulis dan pada saat penulisan ini terjadi pengolahan dengan menggunakan campuran kekuatan-kekuatan imajinasi. Maka lahirlah fiksi.
Manusia bersyukur memiliki imajinasi dan ini adalah bagian penting dari otak homo sapiens. Dengan daya imajinasi dalam otak homo sapiens dan merupakan bagian dari satu tahap revolusi kognitif manusia purba maka peradaban manusia memiliki sastra dalam berbagai bentuk.
Begitu pentingnya bagian imajinasi dalam otak yang diwujudkan dalam produk sastra, baik penciptaan maupun penikmatan karya; maka Akademi Nobel Swedia memberikan penghargaan nobel sastra.
Kategori penghargaan nobel sastra setara dengan kedokteran, kimia, perdamaian, fisika, ekonomi dan lain-lain. Kemampuan manusia bercerita atau bersastra adalah kemampuan berimajinasi itu, sebenarnya bukanlah karena pengaruh peradaban tetapi itu sebenarnya genetik dan klinis.
Namun teori sastra sering memandang karya sastra itu lebih rendah daripada ilmu pengetahuan. Relasi sastra dan ilmu pengetahuan bukan relasi atasan dan bawahan tetapi adalah relasi yang komplementer, saling melengkapi. Keduanya memiliki eksistensi. Karena itu, tidak bisa saling menyerang.
Menulis cerpen adalah aktivitas menangkap cerita dari apa yang ada. Jangan sekali-sekali berpikir menulis cerpen itu adalah berimajinasi. Jika menulis cerpen itu berimajinasi maka bagi pemula ada dua beban. Beban imajinasi dan beban menulis. Karena itu menulis cerpen adalah menulis kembali cerita yang terjadi.
Jika belum mampu menulis cerita dengan daya imajinasi, cukup menulis cerita-cerita yang nyata apa adanya. Karena itu, jika siapa pun memiliki cerita atau mengetahui suatu cerita dari kehidupan, bisa menuliskannya. Ini telah dibuktikan dalam buku seri chicken soup. Para penulis di dalam buku ini sama sekali bukan sastrawan atau penulis.
Penulis-penulis dalam buku seri chicken soup adalah siapa saja, asalkan mereka memiliki cerita yang menarik (cerita pribadi) lalu dibukukan dalam satu buku dan dibaca sebagaimana karya itu karya para pengarang yang sudah memiliki nama besar.
Jangan juga berpikir menulis cerpen itu hanyalah bagi sastrawan karena para penulis di dalam buku chicken soup telah membuktikan. Hanya satu cerita dan itu menjadi satu-satunya cerita yang pernah ditulis oleh seseorang tetapi dibaca di seluruh dunia.
Sastrawan itu hanya orang yang kebetulan bisa tertarik dengan peristiwa-peristiwa yang ada di dalam kehidupannya sendiri, kehidupan orang lain, di dalam kehidupan masyarakat, atau di dalam kehidupan suatu bangsa dalam sejarah. Ia mengolahnya dengan imajinasi. Lahirlah cerpen, drama, atau buku puisi.
Yang terpenting adalah menemukan peristiwa. Tulis saja apa adanya. Baca lagi dan sekali lagi! Dapat melakukan eksperimen kecil di era medsos ini. Tulis cerita lalu lempar begitu saja. Dan tulis lagi cerita atau peristiwa yang terjadi. Jangan pikirkan imajinasi. Imajinasi nanti. Baru dipikirkan setelah beberapa kali menulis cerita dari peristiwa sehari-hari. Sumber peristiwa sehari-hari itu banyak sekali terutama diri sendiri adalah pelaku dalam cerpen.
Agar tidak malu menceritakan hal-hal yang kurang baik lakukan imajinasi, misalnya menggunakan orang lain untuk bersembunyi. Nah, itulah cara imajinasi bekerja. Imajinasi pada prinsipnya membelokkan realitas. Mengaburkan realitas. Memotong realitas. Atau mendobelkan realitas. Artinya, imajinasi itu menghapus jejak-jejak realitas di dalam cerpen.
Membangun jejak baru dan menghapus jejak lama maka inilah yang disebut dengan imajinasi. Saking percayanya bahwa sastra atau cerpen itu imajinatif maka jika sebuah cerpen ditulis begitu persis dengan kehidupan yang nyata yang pernah terjadi maka para pembaca tidak pernah bisa menerima cerita itu sebagai cerita nyata.
Pokoknya asal berlabel cerpen, sastra, atau novel pasti imajinatif atau karya rekaan, dan khayalan pengarang. Hal ini tidak benar. Pengarang atau sastrawan itu sejatinya pembohong. Alat berbohongnya adalah kreativitas imajinatif. Karya sastra telanjur diterima sebagai lembaga fiksi sehingga siapapun yang masuk ke dalamnya harus memasuki realitas fiksi atau realitas rekaan. Bukan dunia sains atau realitas sosial, agama, filsafat, politik, ekonomi.
Sekali lagi, mengapa hal itu bisa terjadi? Karena otak homo sapiens (kita) di mana adalah hasil revolusi kognitif; satu-satunya spesies manusia purba yang sukses, semata-mata karena di dalam otak ada bagian yang mengurusi imajinasi.
Menyusun cerpen adalah menulis peristiwa yang menarik. Peristiwa itu biasanya terjadi sekali setelah itu perulangan. Sekali seseorang menemukan peristiwa yang menarik maka peristiwa-peristiwa lain yang sejenis sudah tidak berguna dan tidak menarik lagi (misalnya cerita surat kepada Tuhan).
Pengarang hanya bertugas menemukan cerita yang menarik kemudian mengolahnya secara kreatif dan imajinatif, misalnya dengan mengubah kronologi menjadi sorot balik atau menghilangkan satu bagian dari suatu peristiwa. Bagi pemula mungkin tidak harus berpikir tentang perkara imajinasi dan kreativitas. Tulis saja apa yang terjadi apa adanya. Semua peristiwa kehidupan adalah penuh dengan daya tarik. Romantisme, dramatis, kesedihan, penderitaan, kejayaan, dan lain-lain.[T]
BACAesai-esai lain dari penulisI WAYAN ARTIKA