SEORANG kawan—penyair kawakan Bali—mengirimkan poster acara sastra bagus di mana dia akan tampil menyanyikan puisinya. Saya menjawab singkat: “kemungkinan saya akan datang”. Namun, sayangnya, saya tak bisa hadir ke acara penting tersebut. Tunangan ingin saya menemaninya hari itu. Maafkan saya, Bung. Bukan berarti saya takut padanya—lebih dari itu: ‘kepentingan bersama’ menjadi prioritas utama. Bung tentu tahu—bahkan Chairil Anwar pun sering cekcok dengan istrinya karena perkara ‘gaya hidup’ bohemian penyair ‘jalang’ yang ‘ingin hidup seribu tahun lagi’ itu. Penyair hebat yang namanya selalu dikenang oleh kita semua.
Akhirnya, istrinya meninggalkan dia. Tak tahan—soal ekonomi, penyair kerap berhadapan dengan kenyataan hidup sehari-hari; pendapatan yang tak pasti, terlebih jika punya anak; uang menjadi masalah pelik; jika kini: menjual buku puisi seharga lima puluh ribu rupiah saja sulit, sementara gelegak api kreativitas bisa padam saat pasangan dalam kondisi emosi kurang baik– membuat hati penyair yang terkenal peka terusik; apa yang sebaiknya kita lakukan kemudian? Bersiasat ‘mencari pekerjaan di luar dunia sastra’ atau dengan kecewa—berhenti dan mengundurkan diri dari jalan aksara dan sastra yang bahkan sejak remaja kita sukai dan cintai?
Hidup ‘jalang’ rasanya bisa terus dilakukan ketika penyair/seniman tidak mengikatkan diri pada sebuah komitmen bernama ‘rumah tangga’. Ah, ini tentu soal lain lagi. Kita akan bahasa lain waktu saja. Sifatnya tentu relatif dan sangat personal. ‘Lain padang, lain ilalang’. Begitulah.
Buku kumpulan puisi [Bukan] Anjing Malam ini pun semacam antitesa: bahwa saya bukanlah seperti yang banyak sahabat juga kerabat sematkan pada sosok penyair yang hidupnya dikenal bebas—terlebih di masa lalu, misalnya, ia dikenal punya banyak kawan perempuan. Puisi-puisi boleh saja “liar”, tetapi itu tidak lantas menjadi gambaran nyata kehidupan. Bahkan, justru sering terjadi kebalikan dari itu semua. Dalam karya yang terkesan polos, tersimpan gelora yang mengejutkan; jauh dari apa yang pembaca bayangkan, termasuk dalam hidup keseharian penyair.
[Bukan] Anjing Malam adalah buku kumpulan puisi ketujuh saya yang akan segera terbit. Berisi 49 puisi yang saya tulis dari tahun 2021 hingga 2023. Judul buku saya ambil dari salah satu puisi dengan judul yang sama. Puisi itu adalah tentang ingatan lama saat saya pernah menjadi mahasiswa pada salah satu universitas negeri di Bali. Syahdan, kakak kelas saya dari jurusan lain menulis prosa liris dengan judul ‘Anjing Malam’. Prosa liris itu dimuat pada salah satu koran besar yang digawangi oleh almarhum Umbu Landu Paranggi. Bagi penulis di Bali, tulisan yang lolos seleksi beliau dan dimuat di koran tersebut merupakan kebanggaan tersendiri. Prosa liris itu bercerita tentang kehidupan mahasiswa yang disebutkan penulis mirip dengan anjing malam; mengacu pada bebasnya kehidupan para mahasiswa laki-laki termasuk dalam asmara dan seks.
Kala itu saya membaca tulisan kakak kelas tersebut. Menurut saya ia memposisikan dirinya lebih sebagai seorang ‘moralis’, apalagi ia dikenal religius dan aktif pada kegiatan organisasi agama. Dari amatan saya, ia juga tak punya pacar, sehingga apa yang ia tulis ketika itu agak bias—semacam rasa muak melihat mahasiswa yang menurutnya ‘liar’, kuliah belum lulus-lulus karena aktif berorganisasi, dan terlalu ‘bebas’ karena lebih mengutamakan urusan asmara ketimbang misalnya menyelesaikan skripsi sehingga bisa lulus tepat waktu seusai harapan dari orang tua.
Bagi saya, apa yang ia tulis saat itu bisa benar dan bisa juga keliru. Benar, karena memang demikian adanya kondisi para mahasiswa di fakultas kampus tersebut. Keliru, karena dalam kasus mahasiswa yang lulusnya lama terdapat juga sebab lain yakni sistem yang tidak berjalan dengan baik. Para dosen yang kurang serius mengajar juga menjadi salah satu sebab, sehingga ketika menyusun skripsi banyak mahasiswa yang kurang memahami apa yang diajarkan baik teori maupun dalam menemukan konteks dengan apa yang hendak mereka teliti dalam skripsi. Agaknya kini sistem dan kondisi perkuliahan tersebut sudah lebih baik seiring dengan perubahan dan perbaikan di sana-sini. Aturan drop-out (DO) mahasiswa juga kabarnya kini lebih ketat.
Puisi [Bukan] Anjing Malam kemudian hadir mengkritisi tulisan kakak kelas saya itu. Bahwa, tidak semua mahasiswa yang ia gambarkan pada prosa liris tersebut kenyataannya begitu. Masih ada mahasiswa baik-baik dan ‘lurus’, sehingga apa yang ia tulis hanya bersifat kasuistik. Pandangan sebagai ‘moralis’ juga seakan-akan menghakimi apalagi tanpa disertai dengan riset mendalam juga solusi dari apa yang ia kritik melalui tulisannya. Berikut puisi saya tersebut:
[BUKAN] ANJING MALAM
Anjing dalam tulisanmu menggonggong keras,
suaranya penuhi kampus kita. Bagai moralis,
kau hakimi para lelaki yang gemar bercinta.
Bisa jadi, bercinta hiburan kita kala kuliah
tak kunjung tamat. Sibuk berorganisasi,
terlalu kritis sehingga dosen tidak suka
dan menunda memberikan nilai ujian.
Kurasa engkau terlalu kuper–tak punya
banyak teman, suka mengurung diri
di kamar kos bersama buku-buku.
Aku tentu bukan anjing malam kau maksud.
Aku lebih takut kepada tuhan melebihimu.
Biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya.
Lama aku tak mendengar kabar tentangmu.
Ada yang bilang kau menikahi orang asing.
Tentu kau tak perlu menjadi anjing seperti kau tulis,
dulu sekali—saat kita sama-sama muda dan belia.
2022
Kembali pada judul esai saya ini, kehidupan mahasiswa yang lajang, dalam artian belum menikah yang biasanya dianggap ‘jalang’, ‘liar’, dan ‘bebas’ tentu akan berubah seiring waktu. Tamat kuliah, menjadi sarjana dan bekerja, lalu menikah dan berkeluarga—adalah fase kehidupan yang alami dan mesti dijalani. Prosa liris ‘Anjing Malam’ pun demikian; asumsi di dalamnya bisa gugur seiring perubahan gaya hidup mahasiswa yang mungkin saja kini berubah: rajin belajar dan mengerjakan tugas kuliah, tidak ikut organisasi kampus; nilai kuliah yang bagus sehingga cepat lulus, tidak pacaran serius sehingga lebih fokus kuliah, dan seterusnya. Tentu, pada posisi ini, ‘Anjing Malam’ hanya akan menjadi cerita masa lalu tentang sosok mahasiswa di kampus tertentu, dan mereka ternyata jauh lebih tangguh saat terjun di dunia kerja maupun bermasyarakat, karena telah melewati banyak pengalaman saat menjadi mahasiswa dulu. [T]
- BACA artikel lain dari penulisANGGA WIJAYA
.