SEDERET puisi yang dituliskan Aan Mansyur dalam buku kumpulan puisi “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau” tidak hanya berkutik pada lingkaran estetika dan keunikan gaya bahasa, tapi juga terdapat usaha lebih yang ingin disampaikan oleh penyair kepada pembaca. Usaha itu merupakan langkah penulis menyampaikan setiap luka-luka dalam kehidupan yang tak kunjung sembuh meski telah melewati berbagai massa berlalu.
Dalam setiap puisi yang ditulis dalam buku ini bersumber dari sederet cerita dan peristiwa kehidupan Aan Mansyur itu sendiri. Peristiwa itu merupakan sebuah batu pertama dalam membangun sebuah karya yang bernilai. Sebuah peristiwa itu sendiri merupakan suatu kenyataan yang bersifat absolut atau mutlak.
Berdasarkan hal itu kita dapat mengira dan memahami bahwa landasan utama yang digunakan oleh penulis pada setiap puisinya merupakan berbagai pengungkapan peristiwa yang nyata dialami oleh penyair dengan dibalut nilai-nilai estetika kebahasaan di dalamnya, agar memenuhi suatu pengertian yang disebut dengan puisi. Wujud karya sastra yang dinamakan dengan puisi jika di dalamnya tercapai efek estetik dalam berbagai unsur bahasa (Nurgiyantoro, 2010).
Aan Mansyur seakan berperan sebagai sebuah kamera yang menangkap setiap gambaran-gambaran peristiwa dalam hidupnya, dan terabadikan melalui puisi-puisinya. Puisi Aan Mansyur memang begitu terasa deretan realitanya, namun puisi yang disampaikan juga tidak hanya terbatas pada fenomena-fenomena dalam kehidupannya saja, tetapi juga terdapat semacam pesan-pesan yang disinggung oleh penyair.
Kurang lebih seperti itulah rantai peristiwa yang terjadi di dalam buku puisi “Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau” karya M. Aan Mansyur.
Mengapa luka tidak bisa memaafkan pisau? Karena setiap luka dalam kehidupan yang sudah terjadi memang akan dapat berlalu dan sembuh, namun tidak dengan bekas luka rasa sakit yang pernah dirasakannya akan tetap membekas selamanya.
Buku ini berisikan sejumlah 41 puisi di dalamnya dengan total halaman mencapai 100 halaman lebih yang terbagi menjadi 5 bagian penting. Berbagai ilustrasi turut di sajikan dalam pembuatan buku ini dengan harapan akan menjadi pendukung realitas setiap puisi-puisi di dalamnya. Ilustrasi-ilustrasi ini tercipta oleh tangan seorang ilustrator bernama Lala Bohang.
Ketika berusaha membaca dan menafsirkan kumpulan puisi Aan Mansyur, saya merasa seperti mulai di ajak menuju sebuah dimensi perjalanan kehidupan, dengan setiap lika-liku dan pelajaran di dalamnya.
Berbagai dimensi kehidupan seperti perjalanan cinta pasangan, keluarga, masyarakat, dan negara turut ikut dalam puisi yang tersajikan rapi dengan berbagai tipografi penulisannya.
Memang benar ketika membaca buku ini, perhatian utama saya adalah pada gaya penulisan tipografinya yang saya rasa sangat unik dan cukup berbeda dari puisi-puisi pada umumnya. Tipografi dalam puisi itu sendiri merupakan caa penulisan puisi untuk menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual atau langsung (Aminuddin: 2009). Memang peranan tipografi ini menjadi sebuah aspek artistik tersendiri secara visual yang dibangun dalam sebuah puisi, selain itu tipografi akan membantu menciptkan nuansa makna tertentu atau suasana.
Keunikan tipografi dalam bukku puisi ini dapat terlihat cukup jelas pada salah satu puisinya “Makassar Adalah Jawaban Tetapi, Apa Pertanyaannya”.
/ayah pergi ke kantor/,
/(ibu pergi kemana ?) /
/adik pergi ke bioskop/
/sarimin pergi ke pasar/
/makassar pergi ke jakarta//.
/untuk apa makassar pergi ke jakarta ?/
a. Studi banding
b. Menghadiri acara keluarga
c. Berlibur & belanja
d. Semua benar/.
Keunikan tipografi dalam bukku puisi ini dapat terlihat cukup jelas pada salah satu puisinya “Makassar Adalah Jawaban Tetapi, Apa Pertanyaannya”.
Penggunaan tipografi dalam puisi tersebut terasa seperti kita sedang melihat sebuah soal pilihan ganda ketika menghadapi sebuah ujian nasional, hal ini terasa cukup memiliki nilai keunikan tersendiri di dalamnya.
Selain itu saya menyorot tentang bagaimana seorang Aan Mansyur berusaha menebarkan setiap pecahan-pecahan momen kehidupananya pada setiap baris hingga baitnya seperti untaian tali yang benangnya berhamburan dan tidak pernah akur. Seperti itulah berbagai momen kisah kehidupannya yang dibalut dalam sebuah puisi.
Contohnya pada kutipan puisi berikut: /makassar bersalin nama jadi ujung pandang,/ pada 1971 setahun setelah reformasi,/ kembali mengenakan nama lama,/ alasannya: makassar tak kunjung berhenti sakit-sakitan,// hujan, hujan, hujan, banjir hari ini,/ makassar tidak bisa pergi kemana-mana,/ didekat jendela, makasar duduk mengenang,/ cita-cita masa kecilnya: ingin jadi tempat bersandar kapal-kapal dari penjuru dunia/ (puisi “Makassar Adalah Jawaban Tetapi, Apa pertanyaannya”, halaman 55).
Pada larik tersebut cukup terlihat nampak bagaimana penulis menampilkan setiap situasi yang terjadi dalam kehidupannya berpindah-pindah dengan cepat dan berhamburan.
Selain itu puisi-puisi Aan Mansyur ini juga memuat berbagai dialog kehidupan keluarga yang di dalamnya cukup menyayat perasaan karena dipenuhi oleh percakapan yang mengundang luka air mata di dalamnya.
Sebagai contoh hal tersbeut tergambarkan dalam kutipan puisi berikut, // ibu ku berkata: “maafkan abuku”,/ apakah dia mengatakan itu juga kepadaku?,/ ibuku berkata: “ juga kepada diriku,/ sebaiknya kita bicara hanya ketika bicara kepada diri sediri,/ seperti itu cara percakapan melapangkan jiwanya”/ (puisi “ Percakapan” , halaman 45).
Kutipan tersebut merepresentasikan bagaimana penulis berdialog dengan ibunya dengan percakapan tentang seorang ibu yang berpesan kepada anaknya untuk selalu lebih mengandalkan diri sendiri dan tidak terlalu banyak mendengarkan ucapan-ucapan orang lain, karena itu akan menentukan masa depanmu sendiri agar lebih cerah dan mendapatkan perasaan tenang dalam jiwanya.
Hal tersebut terasa begitu relate dengan kehidupan anak-anak muda saat ini yang arah hidupnya banyak disetir oleh pendapat orang lain di sekitarnya dan kurang merasa percaya diri terhadap dirinya sendiri.
Porsi penampakan kehidupan keluarga bersama sosok ibu ini memang begitu terasa mendominasi, nampaknya memang penulis ingin menampilkan luka kehidupan seorang ibu yang berjuang keras demi anak-anak dan keluarganya. Hal tersebut merupakan sebuah sindiran dan tamparan penulis kepada para orang tua di luar sana, seperti yang tergambar dalam kutipan puisi berikut:
/aku akan mengakui satu kesalahan,/ sebelum seseorang diantara kami melukai kalian,// “ laki-laki sudah terlatih sebagai laki-laki,/ bahkan sebelum mereka lahir,/ kehidupan cuma kesempatan singkat & terlambat untuk memperbaiki diri,// tertawalah anakku atau menangislah,/ kalian telah melepaskan anak yatim abadi dari dalam diriku,/ ayah kini seorang anak berisi hanya impian & ketidaktahuan./ (puisi “Bersama Daras & Sahda Menunggu Ibu Pulang dari Kantor” halaman 41).
Berdasarkan puisi tersebut terkandung sebuah makna yang dimana sebuah bentuk penyesalan dalam kehidupan akan selalu dapat di akhir, setiap manusia akan memiliki masalah dan persoalan dalam kehidupannya, penulis memberikan sebuah pesan dimana setiap persoalan dan permasalahan di kehidupan pasti akan berlalu dan mimpi tetap harus diperjuangkan. Kurang lebih seperti itulah pesan dari perjuangan kehidupan seorang ibu yang di representasikan penulis lewat diksi-diksi estetisnya.
Meskipun dalam penyampaiannya memang cukup membingungkan dan pembaca mesti melakukan pembacaan secara berulang-ulang untuk dapat menangkap makna yang diinginkan oleh penulis.
Lebih lanjut kembali penulis juga menampilkan tentang perihal sisi-sisi kehidupanya percintaanya, dalam dunia percintaan memang pasti akan banyak menemui berbagai peristiwa baik kebahagiaan maupun luka-luka yang hadir karena cinta tersebut. Hal tersebut selaras dalam beberapa puisi yang ada dalam buku ini meliputi, puisi “Sajak Cinta Untuk Anna“ , “Jatuh Cinta“, dan “ Makan Malam di Restoran Baru Tidak Jauh Dari Pantai Losari“. Puisi-puisi tersebut memberikan penafsiran tentang gambaran kehidupann percintaan yang cukup berliku-liku.
Sebagaimana yang tampak dalam salah satu kutipan puisi berikut: / “aku beli payung kuning untukmu,/ aku ingin melihat bunga matahari mekar diguyur hujan,// aku berdiri di beranda mencoba bercanda,/ kau & pagi & hujan hendak pergi ke pasar,/ sudah dua hari kulkas tidak berisi apa apa,/ selain dingin yang sia-sia./ (puisi “Rumah Tangga” halaman 36).
Dari puisi tersebut, dapat tergambar dimana momen peristiwa seorang suami dan istri yang mengalami cobaan kekurangan ekonomi, namun sang suami berusaha menenangkan keadaan rumah tangga dan tetap berusaha ingin memberikan kebahagiaan kepada istrinya. Momen-momen bernuansa puitik tersebut juga banyak diliputi dan diwarnai oleh berbagai diksi-diksi benda serta fenomena alam yang menjadi media pengantar penyampaian makan oleh penulis kepada pembaca. Penggunaan diksi seperti /hujan,/ bunga matahari,/ dan pagi/ membantu memberikan nuansa keadaan sehari-hari yang terjadi di lingkungan pembaca, dengan harapan suasana intim puitik tersebut akan dapat lebih bermakna.
Selain berbagai sorotan-sorotan terkait kehidupan pribadi sang penulis yang melahirkan berbagai luka-luka kehidupan, penulis juga memiliki kepedulian yang cukup tinggi terkait perhatianya kepada pemerintahan atau negara dimana dia berpijak dan bertumbuh sebagai seorang insan manusia.
Deretan puisi seperti “Negara”, “Harga Mati”, dan “ Kami Masuk Kantor DPR & Kami Hilang”, merupakan beberapa contoh bentuk perhatian penulis kepada negaranya.
Seperti halnya yang tersampaikan melalui salah satu kutipan puisi berikut ini: /jika mereka bedah mayatmu,/ mereka akan menemukan lambungmu,/ ususmu, sepasang ginjalmu, hatimu, darahmu,// jantungmu memadat oleh debu dari makamku/ (puisi “Harga Mati” halaman 79.
Terepresentasi secara cukup jelas dimana puisi tersebut berusaha di tunjukan kepada para korban-korban aktivis yang hilang dan menjadi korban salah tangkap oleh para penguasa yang merasa tidak senang dengan hadirnya mereka, karena banyak menentang kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat.
Terdapat penggunaan majas atau gaya bahasa hiperbola yang sangat kuat dalam puisi tersebut. Karena banyak menggunakan penggungkapan seperti: /jika mereka membedah mayatmu,/ mereka akan menemukan lambungmu,/ diksi tersebut memberikan makna berlebih tentang akhir hayat korban yang telah tertangkap penguasa.
Hiperbola sendiri adalah majas yang digunakan untuk menggambarkan suatu ide atau konsep dengan cara yang berlebihan atau melampau. Tujuan utama hiperbola adalah untuk memperbesar atau memperkecil sesuatu untuk menciptakan kesan yang lebih dramatis atau kuat. Ini adalah bentuk figuratif yang sering digunakan dalam puisi, prosa, retorika, dan bahasa sehari-hari untuk menekankan atau membesar-besarkan karakteristik atau situasi.
Penulis atau penyair memang cukup berhasil menampakan makna dan situasi yang terjadi dalam puisi tersebut.
Secara keseluruhan Aan Mansyur memang seorang penyair yang cukup terampil dalam memainkan unsur-unsur kebahasaan yang ada dalam sebuah puisi, sehingga menghasilkan sebuah karya sastra bernilai dan mendapatkan berbagai penghargaan dari pembacanya. Penulis ini cukup lihai memainkan dimensi-dimensi peristiwa dan pengalaman prbadinya melalui puisi untuk mencapai unsur estetika yang digerakkan oleh ide-ide briliannya, suara puisi yang sangat terasa subjektif dan berisi teriakan-teriakan luka kehidupan yang tak termaafkan.
Namun, memang banyak sekali kesulitan yang saya alami dalam perjalanan saya membaca buku ini karena terdapat banyak penggunaan diksi-diksi serta penyajian tiap lariknya yang berputar-putar, sehingga pembaca memang dituntut teliti dalam membacanya, selain itu peran pengetahuan dan latar belakang pembaca akan sangat mempengaruhi kebermaknaan puisi yang di tulis oleh Aan Mansyur ini. [T]