TEKNIK naratif cerpen dalam buku ini menarik. Sebagian besar penulis mengawali kisahnya dengan tipe “pada suatu waktu” atau ”di sebuah tempat”. Dari mana para penulis pemula ini mendapatkannya?
Anthony de Mello yang terkenal dengan buku Doa Sang Katak 1 dan 2, menggunakan cerita dari seluruh dunia untuk meditasi; menyatakan ”pada suatu hari” adalah kata-kata paling bertuah di dalam kebudayaan umat manusia dimana pun itu. Dan, kata-kata itu milik dunia cerita. Cerita sendiri disebut berbagai nama atau istilah di seluruh dunia, seperti hikayat, kisah, cerita, dongeng, fabel, legenda, sage, dan lain-lain. Apapun itu, kalimat pembukanya selalu ”pada suatu hari” atau ”alkisah”.
Asumsi yang dapat dipegang adalah kata-kata untuk mengawali ceritanya, para penulis di dalam buku ini bukanlah terjadi secara alamiah. Itu telah mereka dapat dari pemberian dunia cerita lewat para perantara, seperti ibu di rumah, orang tua, alat perekam, televisi, youtube, dan tradisi cerita di PAUD/TK dan masih ada di kelas-kelas awal di sekolah dasar. Cerita-cerita melekat dengan kuat dan abadi, termasuk firanti-firanti narasinya.
Anthony de Mello benar, karena merupakan kata-kata yang menakjubkan, kata-kata yang paling bertuah, dan kata-kata milik dunia cerita; maka daya lekatnya pada benak anak-anak pun kuat. Hal ini dibawa hingga mereka mungkin mulai meninggalkan dunia kanak-kanak, berada saat remaja dan mendapat kesempatan menulis cerita. Seperti para penulis muda yang karyanya dikumpulkan di dalam satu buku antologi ini; berkat didikan seorang guru yang telah menjaring siswanya memasuki dunia menulis. Pun mereka kembali kepada kata-kata cerita yang sedemikian dalam menancap di batinnya, ”pada suatu hari” atau ”di sebuah desa/sekolah/pasar atau dengan menulis langsung nama tempat, nama geografi, seperti Padangsambian.”
Cerita-cerita yang sederahana dan abadi karena tuah kisahnya, pernah mengisi seluruh hidup manusia. Semuanya terjadi secara lisan. Cerita disimpan di dalam batin manusia. Hal ini terjadi sangat lama hingga cerita hampir semuanya ditulis. Lalu kelak direkam, disiarkan, dialihwahanakan menjadi komik, relief candi, kartun, film animasi, dan di ujungnya adalah cerita dalam versi digital yang amat jauh dari dunia lisan yang penuh tuah itu: game online.
Pada masa itu, cerita berperan tunggal untuk mengisi batin umat manusia dan ini hanya dimungkinkan oleh daya imajinasi dalam otak yang terbentuk semasa revolusi kognitif Homosapien, 50 ribu tahun yang lalu. Sehingga dengan bagian itu yang ada di dalam otaklah, cerita mendapat sistem operasinya yakni imajinasi.
Cerita bukan sebagai perkara pilihan atau bakat. Cerita adalah perkara klinis dengan adanya bagian di otak yang bekerja untuk mengidupkan daya imajinasi yang sangat dahsyat. Karena itu, siapapun bisa menikmati cerita. Juga siapapun bisa bercerita. Siapapun bisa mengarang cerita. Selanjutnya adalah soal latihan yang terus-menerus untuk mengasah keterampilan bercerita. Di dalam pengasahan yang tidak mengenal batas waktu inilah, hanya bisa membuat orang sedikit tahan di jalan sunyi yang sejatinya nikmat dan ekstase. Mereka adalah para juru kisah atau tukang cerita. Yang tidak hanya menceritakan berbagai kisah abadi tetapi juga mengarang cerita untuk mengisi khazanah sastra umat manusia, menyuplai bagian otak manusia sehingga imajinasi terus hidup dan bekerja.
Maka lahirlah tokoh-tokoh cerita yang tenar dengan cerita-cerita yang mengagumkan. Ini ditemukan di seluruh dunia. Karya-karya Christian Anderson atau Aesop misalnya, telah menjadi warisan dunia. Pada masa yang lebih awal dan jauh sebelum mesin cetak ditemukan, cerita-cerita yang dibuat tidak diketahui lagi siapa pengarangnya. Dunia mewarisi terlampau banyak cerita dengan pengarang tidak bernama.
Para guru sekolah memang lebih banyak menggunakan cerita sebagai materi pelajaran dalam artian yang luas. Di sekolah cerita diwariskan. Sangat sedikit memang sekolah-sekolah awal mengajak siswa mengarang cerita. Namun demikian, keterampilan narasi anak-anak tumbuh diam-diam. Lantas mulai menduplikasi kisah-kisah yang mereka dapat dari guru di kelas.
Keadaan ini adalah proses seseorang menjadi pengarang. Tapi karena sekolah tidak memiliki kurikulum mengarang atau menulis cerita, hal ini tidak dipelajari atau dilatih dalam pelajaran bercerita atau pelajaran lainnya, seperti bahasa dan agama. Hanya ada beberapa anak atau memang jauh lebih sedikit, pun menulis ceritanya diam-diam. Di sini benar kata-kata Gao Xinjian, bahwa dia menulis untuk dirinya sendiri. Demikian pula Anne Frank. Ia menulis untuk Kitty, sosok imajiner di dalam buku hariannya. Jauh berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer, yang menulis untuk para kawan tapol, lewat satu proses kisah-kisah lisan yang panjang di Pulau Buru, seluruhnya telah dikisahkan di hadapan para tapol 1965.
Karena kurikulum cerita di sekolah tidak menyediakan materi menulis maka fokus pelajaran cerita adalah menyimak dan dengan sedikit kombinasi, yakni menceritakan. Dengan kondisi inilah, tulisan ini memahami cerita-cerita di dalam antologi ini. Mereka menulis karena motivasi dan pelatihan dari seorang guru yang juga penulis. Tanpa latar belakang kepunulisan seperti ini, seorang guru akan mengubur niat menulis anak-anaknya. Guru memang selalu mengajar dengan kebiasaannya sendiri dan seluruh minatnya. Jadi mengajar adalah tindakan yang sangat subjektif. Bersyukur jika guru mengajar dengan kesadaran sebagai suatu kehebatan, seperti Bapak Indra Andrianto sehingga lahirlah cerita-cerita ini dan terbit dalam satu buku.
Buku ini adalah dokumen karya bahasa dan sastra yang sering dipelajari di dalam kurikulum sekolah dimanapun di dunia ini. Namun menjadi lebih tinggi nilainya setelah dijadikan karya dan terbit. Bukan lagi karya di dalam kelas untuk tujuan belajar yang sempit. Sejatinya belajar itu dalam kehidupan dan semua hal yang dipelajari dan dikembangkan di dalam kelas-kelas adalah bagian dari hidup. Maka menulis cerita dan menerbitkannya menjadi buku adalah mempelajari satu seri kecil dari kehidupan yang maharumit ini.
Kata pengantar buku dicarikan penulis orang yang berpengalaman atau menjadi praktisi di bidangnya. Karya diterbitkan menjadi buku yang beredar di masyarakat. Peran seorang guru dalam hal ini sangat penting. Banyak peluang belajar dalam hidup nyata sering dikontaminasi oleh sikap atau paradigma yang memisahkan sekolah dari kehidupan. Dengan cara ini, seorang guru telah mengerdilkan pendidikan itu sendiri hanya pada bagian satuan yang lebih kecil, yakni mata pelajaran yang diampunya.
Dengan cara ini, Bapak Guru Indra Andrianto telah membawa siswanya ke dalam dunia nyata kepunulisan dan penerbitan karya atau buku. Siswa akan paham bagaimana kelanjutan dan sejatinya pelajaran menulis cerita. Bukan hanya untuk mata pelajaran di kelas. Menulis cerita bisa digunakan jauh lebih praktis dari hanya kehidupan di kelas di bawah langit mata pelajaran dengan horison yang tertabatas oleh tembok-tembok dan papan tulis, dimana merdeka belajar kembali mentok karena guru-gurunya sendiri yang terpasung paradigma sesat dalam dunia pendidikan, yang antiperubahan.
Anak-anak atau para penulis di dalam buku ini beruntung karena telah ditarik jauh ke dalam kehidupan dengan berkarya menerbitkan buku. Mereka mendapat guru yang memiliki pandangan luas. Pelajaran dan hasil-hasilnya bukan saja untuk dunia belajar yang terasing dari hiruk-pikuk masyarakat. Belajar di sekolah adalah bagian dari kehidupan ini. Indra Andrianto yang menjadi mentor para penulis pemula ini amat menyadari bahwa ada tujuan yang lebih besar di dalam hidup ketimbang hanya mencapai tujuan-tujuan instruksional. Hal ini ia terapkan di dalam dunia menulis.
Fokus kata pengantar ini memang tidak membahas sejumlah karya, walaupun hal ini disinggung pada bagian awalnya, soal geneologi naratif ketika cerita-cerita bergerak dari kalimat-kalimat penuh tuah, ”pada suatu hari” atau ”di sebuah …”. Dan, secara umum memang terasa energi kuat cerita ini yang masih harus mencari satu data pendukung. Apakah energi yang terpancar di dalam cerita ini terjadi secara alamiah atau berkat pelatihan menulis yang dilakukan oleh seorang guru.
Sayang sekali waktu untuk menulis kata pengantar ini sangat singkat. Jika lebih lama, akan ada tinjauan beberapa karya dan dengan ini jadi satu sampel kritik atas karya tersebut. Namun demikian adanya, ada dua hal yang penting dalam seluruh karya: (1) Teknik narasi yang geneologis dan (2) energi cerita atau energi bahasa. Yang kedua terasa saat membaca cerita-cerita ini sepintas kilas. Bahasa itu merujuk pada suatu peradaban yang kuat. Terasa terbawa pada suatu lingkungan sosial yang melahirkan dan kelak mengasuh anak-anaknya, para penulis di dalam buku ini. Hal ini akan terpecahkan lewat pembahasan latar belakang para penulis, yang mereka berkumpul di suatu sekolah bernama Jembatan Budaya. Ideologi pendidikan yang dikembangkan di sekolah ini pun akan sangat membantu untuk mengungkap energi bahasa anak-anak di dalam buku ini. Demikian pula perspektif yang digunakan oleh para penulisnya dalam mengurai cerita.
Tidak hanya dua itu, karena di samping itu, harus ada satu hal yang menjadi konsekuensi lagi, yakni pemilihan tema cerita atau memilih persoalan. Hal ini juga sangat kuat! Jika harus biacara potensi di kalangan para penulis muda, yang mungkin terasa latah karena suatu kekaguman, sejalan dengan ketiga hal yang dijadikan fokus dari seluruh karya ini maka sangat besar peluang untuk ditingkatkan menjadi karya yang jauh lebih baik.
Peranan guru yang bekerja jauh lebih banyak karena minat pribadi dan jalan di dunia penulisan itu yang kelak menjadi garansi. Ini adalah jaminan bagi guru dalam bekerja sejati untuk mencapai tujuan yang melampaui tujuan-tujuan instruksional. Satu kutipan penting, anak-anak tidak dipersiapkan dari dalam kelas menuju kehidupan karena kelas dan seluruh proses sehari-hari di sekolah adalah kehidupan yang fana. Sekolah bukan tahapan menunggu dilahirkan di dalam kehidupan setelah tamat. Sekolah-sekolah berbagai jenjang atau tingkatn, inilh kehidupan.
Sejalan dengan itu, menulis bukan belajar satu hal yang asing dari kehidupan tetapi karena menulis dalam pengertian yang luas, ada dalam kehidupan. Inilah satu alasan pokok yang tidak bisa ditawar mengapa anak-anak dan guru mentornya, Indra Andrianto menyelenggarakan proyek menulis cerita dan menerbitkannya menjadi satu buku. [T]
BACA artikel lain dari penulisI WAYAN ARTIKA
.