DENGAN yakin saya memilih, itu sebuah kebodohan. Jika ada yang menganggap tradisi, maka saya setuju, itu tradisi terbodoh sepanjang sejarah di jagat raya ini. Apalagi perundungan oleh senior di sebuah institusi pendidikan dan menyebabkan kematian.
Itu bukan lagi sekadar kebodohan belaka, hati-hati, jangan-jangan ini merupakan gejala dini runtuhnya peradaban sebuah bangsa. Sebab, sekolah adalah bangunan suci tempat penciptaan peradaban dan kebijaksanaan. Bukan arena holocoust pembasmian homo sapiens. Kalau pembasmian lingkungan oleh para “terdidik” sih sudah banyak.
Mungkin saja itulah produk institusi pendidikan yang penuh perundungan. Dan kejadian siswa tewas di asrama sekolah masih terus saja berlanjut. Pada kadar yang lebih ringan, pun terdengar pada sistem pendidikan kedokteran. Artinya, realita kelam itu memang nyata ada meskipun buram atau diburamkan. Maka saya percaya, ada fenomena gunung es di sana. Hanya bagian kecil puncak gunung es yang tersibak, dari samudera yang airnya mulai menghitam.
Kenapa selalu terjadi? Setidaknya ada tiga hal yang bertanggung jawab terhadap pelestarian budaya keji tersebut.
Pertama, terutama pelaku, bahkan korbannya sendiri, telah menerima, menganggap biasa dan benar praktek-praktek perundungan tersebut. Dalam hal ini, kejahatan tersebut memang telah membudaya. Kejahatan yang telah dilembagakan, maka itu menjadi sah untuk dilakukan. Menariknya lagi, bukan hanya pelakunya, bahkan para korbannya sendiri, sering merasa keberatan jika penyimpangan perilaku ini dibahas atau dipermasalahkan.
Maka betul ucapan Hitler, sang kaisar kebengisan, “Lakukanlah terus-menerus kesalahan itu. Maka suatu saat, ia akan menjadi sebuah kebenaran.” Atau mari kita singgung apa yang disebut sebagai Stockholm Syndrome. Korban penculikan yang telah begitu lama disandera oleh penculiknya. Timbul cengkeraman psikologi yang berbalik membuat si korban merasa dekat dan nyaman dengan penculiknya, karena saking lamanya bersama. Hingga pada suatu hari, si korban merasa sangat sedih, saat penculiknya ditangkap pihak berwajib. Ia merasa kehilangan. Betapa mengerikannya, kejahatan yang telah menjadi budaya. Karena itu mengakar jauh ke dalam pikiran insani. Jangan-jangan telah menyusup ke DNA dan menciptakan mutasi genetik.
Kedua, institusi terkait selalu defensif. Ini tampaknya sandera dari budaya lama, budaya ABS (asal bapak senang.) Sebuah kultur yang semata-mata berorientasi pada citra, meskipun itu semu, sesemu-semunya. Bukan hanya pelakunya yang menyangkal, institusinya pun segera mengambil jurus untuk menutupi borok yang terjadi di tubuhnya.
Borok yang mestinya diamputasi, dalam artian reformasi sistem, namun ini justru ditutupi dengan kasa sekedarnya agar tak kelihatan saja. Sementara dibawah kasa, infeksi terus menggerogoti, bau dan berimbas pada infeksi sistemik. Sudah saatnya sekolah kembali pada lintasannya sebagai arena balapan intelektual. Ia harus dijauhkan dari spirit kekerasan, intimidasi apalagi diskriminasi atau memandang rendah yang lain. Alasan diberlakukannya sistem tersebut agar lulusan kelak menjadi insan-insan yang kuat, hanyalah cara klise untuk melembagakan prilaku menyimpang tersebut. Ada kenikmatan saat merundung, itu telah menjadi kebutuhan. Apalagi misalnya, pada pendidikan kedokteran yang nantinya diharapkan mencetak dokter-dokter humanis.
Maka, baik iklim maupun beban pekerjaan saat pendidikan mesti dihitung kembali. Mereformasi masa lalu bukanlah sebuah dosa. Jika reformasi itu kemudian mengantarkan spirit-spirit kesetaraan serta kesejawatan yang baik. Bukan kultur senioritas yang kolot dan berjiwa kolonial.
Ketiga, sikap pemerintah dan masyarakat yang cenderung reaktif. Ikut mengutuk ramai-ramai, hanya saat terjadinya peristiwa saja. Setelah itu, senyap kembali. Dan menunggu kejadian berikutnya lagi. Syukurnya, beberapa waktu lalu di lingkungan pendidikan praktek kedokteran, oleh kementrian kesehatan dibuat aturan dan alur tindak lanjut lebih nyata terkait isu perundungan. Skema tersebut nyata telah meningkatkan kuantitas laporan, adanya indikasi perundungan yang dialami para peserta didik pada rumah sakit pendidikan praktek kedokteran. Baik oleh seniornya, maupun para pendidiknya.
Jika ada yang memandang ini sebagai aib, itu keliru. Sebaliknya, keterbukaan itulah yang dapat mencabuti akar kultur buruk tradisi perundungan yang tersembunyi selama ini. Iklim pendidikan kedokteran akan menuju musim yang lebih cerah dan bersinar.
Bagaimana dengan institusi-institusi pendidikan yang lain? Apakah sudah ada sistem sebagai alur yang mudah untuk melapor dan aman terlindungi saat peserta didik merasa telah dirundung? Pemerintah harus menjawab ini dan masyarakat harus terus mengawal demi sekolah kembali pada fitrahnya sebagai pusat peradaban.[T]
- KlikBACAuntuk melihat esai dan cerpen dari penulisDOKTER PUTU ARYA NUGRAHA