Jika ada yang beranggapan bahwa keluarga adalah tiang negara, tentu sangat beralasan. Masa depan bangsa dan negara ditentukan oleh kualitas kehidupan keluarga di masyarakatnya.
Banyak alasan mengapa keluarga begitu penting bagi setiap orang. Keluarga bukan semata kumpulan fisik orang-orang dalam satu kelompok. Keluarga lebih dipandang secara kualitatif sebagai fungsi pengembangan diri anggotanya.
Keluarga juga dianggap sebagai muasal seseorang belajar berkomunikasi. Sejak berada dalam kandungan, seorang bayi sudah mulai berkomunikasi dengan ibunya. Ketika menginjak usia kanak-kanak, proses komunikasi terbangun bersama anggota keluarga lain. Berangkat dewasa hingga menikah pun seorang anak masih terikat komunikasi dengan keluarga.
Ada yang berhasil menjalin komunikasi dengan baik bersama keluarga. Namun tidak sedikit yang gagal dalam berkomunikasi. Banyak contoh kasus kegagalan atau disfungsi komunikasi dalam keluarga lantaran berbagai sebab.
Empty shell family adalah salah satu bentuk kehampaan komunikasi dalam sebuah keluarga. Secara sosiologis empty shell family menggambarkan kurangnya komunikasi di antara anggota keluarga. Perselisihan dan ketidaksepahaman sering terjadi yang mengakibatkan disharmoni dan disorganisasi keluarga.
Kasus lain kerap terjadi dalam sebuah rumah tangga, baik orang biasa maupun pesohor. Terjadi perceraian setelah sekian tahun menjalani kehidupan berumah tangga. Salah satu alasan yang mengemuka adalah ketidakcocokan dan komunikasi yang buruk di antara pasangan.
Dan celakanya, alasan buruknya komunikasi dijadikan dalih setelah mereka berumah tangga belasan tahun. Semestinya sudah sejak mereka saling mengenal, proses komunikasi sudah terbangun. Begitu pun dengan anggota keluarga yang setiap hari bertemu selayaknya sudah saling memahami. Meski begitu, disfungsi komunikasi tetap saja dijumpai dalam satu keluarga.
Pola Komunikasi
Masalah komunikasi keluarga sekecil apa pun memang harus dibenahi. Pola komunikasi dalam keluarga ikut menentukan model dan kualitas hubungan seluruh anggota keluarga. Widjanarko, dkk (2022) merinci pola komunikasi keluarga menjadi empat kategori.
Pertama, pola komunikasi konsensual. Pola ini terdapat dalam keluarga yang memberi penekanan pada orientasi percakapan dan kecocokan. Orang tua dalam keluarga ini mendengarkan anaknya sekaligus memberikan pengertian tentang sikap tegas orang tua pada hal-hal tertentu demi kebaikan seluruh anggota keluarga.
Kedua, pola pluralistik yang ditandai dengan keterbukaan dan tidak memaksakan kehendak. Orang tua pada keluarga ini tidak merasa harus mengontrol anak mereka dan memutuskan hal-hal apa saja yang harus dilakukan anak. Komunikasi berjalan secara terbuka terhadap semua gagasan anggota keluarga.
Ketiga, komunikasi protektif. Pola ini menekankan pada kepatuhan terhadap wewenang orang tua. Peluang anak dan anggota keluarga untuk mengungkapkan gagasan dan pendapat sangat sedikit. Akibatnya, anggota keluarga dengan pola protektif sulit untuk belajar mempertahankan pendapat sendiri.
Keempat, pola komunikasi laissez faire, yang ditandai dengan tingkat kepercayaan tinggi orang tua terhadap anak dalam pembuatan keputusan. Pola komunikasi seperti ini sering dianggap sebagai sebuah pembiaran interaksi, karena anggota keluarga tidak dilarang menentang pandangan orang tua. Kebebasan dalam berkomunikasi membuat pola ini dipandang kurang sesuai dengan karakteristik masyarakat komunal yang mengarusutamakan keluarga besar.
Setiap keluarga memiliki pola komunikasi yang berbeda, karena pola tersebut hanyalah pemetaan terhadap komunikasi keluarga. Masing-masing pilihan pola komunikasi akan berimplikasi terhadap kualitas komunikasi keluarga. Dengan demikian, permasalahan yang timbul dalam keluarga juga dapat bersifat khas sesuai pola komunikasinya.
Disfungsi Komunikasi
Keluarga yang mengalami disharmoni dapat menghambat anggota keluarga dalam menjalankan peran sosialnya. Langkah awal yang perlu dipahami adalah dengan membaca semua hal yang berpotensi menyebabkan terjadinya disharmoni dan disfungsi komunikasi.
Disfungsi komunikasi, menurut Widjanarko dkk (2022) dimanifestasikan dalam bentuk keengganan untuk menyimak, cara menyimak yang buruk, serta perbedaan orientasi dalam berinteraksi. Keengganan menyimak kerap terjadi dalam sebuah keluarga, pasangan kekasih, suami istri, antara anak dan orang tua, maupun antaranak.
Seolah terbentang tembok yang tinggi membatasi hubungan anggota keluarga. Salah satu pihak tidak mau mendengarkan pihak lain. Akibatnya, prasangka selalu mewarnai komunikasi di antara anggota keluarga.
Cara menyimak yang buruk juga menjadi salah satu pemicu disfungsi komunikasi dalam keluarga. Banyak orang yang tidak sungguh-sungguh dalam menyimak dan lebih sibuk bercerita dengan diri sendiri. Ketika terjadi situasi seperti ini, orang lain merasa bahwa pesan yang disampaikan tidak dianggap penting.
Disfungsi komunikasi seringkali juga terjadi karena adanya perbedaan gaya berinteraksi. Komunikasi dalam keluarga yang berlangsung secara antarpribadi biasanya berorientasi pada penekanan hubungan dan penekanan pada substansi pesan. Anggota keluarga akan mencermati secara komprehensif dan efisen setiap pesan yang disampaiakan anggota lain.
Ada suami yang berkecenderungan berinteraksi secara efisen, karena kesibukan dalam pekerjaannya. Sedangkan istrinya memiliki gaya interaksi yang komprehensif. Dia akan selalu mencermati setiap pesan suami sebelum memberikan respons. Kecenderungan orientasi komunikasi ini tentu perlu dipahami kedua pihak agar tidak terjadi pertengkaran dan disharmoni keluarga.
Mengharap adanya kesamaan sikap, pandangan, dan perilaku anggota keluarga, sepertinya sulit. Mengingat setiap anggota keluarga meiliki karakter yang berbeda. Akan tetapi dengan komunikasi keluarga yang baik, perbedaan itu kiranya dapat teratasi. Sebab, keluarga ibarat ranting di pohon. Semua tumbuh ke arah yang berbeda. Namun akarnya tetap sama.[T]
BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU