“RIKO! Cuaca tak bagus lho. Jangan pergi mancing dulu kamu, Nak. Besok kan masih ada waktu. Tunggu besok cuaca bagus dulu ya, sayang!”
Meskipun sudah remaja, Riko masih selalu mendapat perhatian bundanya. Seperti siang itu. Ia hendak pergi memancing ke danau. Bundanya membujuk dengan penuh rasa cemas karena cuaca memang kurang bagus. Bukan saja langit berawan hitam dan gerimis mulai turun, petir pun menyambar-nyambar menakutkan.
“Ahhh, Mama. Gak apa-apa. Kan sudah biasa. Cuma sampai ke danau doang.”
Riko memang gila mancing. Bahkan kalau dulu-dulu selalu pergi rombongan dengan teman-temannya, belakangan sering pergi sendirian. Tak jarang pula baru pulang ke rumah kala sudah tengah malam. Bundanya selalu takut dan waswas dengan putra semata wayangnya itu. Apalagi kini mereka cuma berdua, semenjak ayahnya berpulang karena serangan jantung beberapa tahun lalu.
“Riko! Coba dengerin omongan Mama sekali ini saja!”
Nada suara bundanya terdengar kian meninggi dari dapur. Tapi Riko seperti sudah cinta mati sama hobinya yang satu itu. Sambil membuka pintu garasi ia berpamitan.
“Sebentar aja, Ma. Aku berangkat ya!”
Terdengar suara mesin mobil Land Cruiser tahun 2000 miliknya, perlahan meninggalkan rumah, lalu samar terdengar dipacu semakin kencang. Ia menuju danau di bukit, yang berjarak kurang lebih sejauh 1 jam perjalanan dengan mobil dari rumahnya, di kota kecil di pulau bagian utara.
Bundanya cuma bisa menggelengkan kepala, lalu turun ke hatinya perasaan cemas dan sedih. Gerimis yang tadi turun perlahan kini sudah menjadi hujan semakin deras. Suara petir pun kian sering dan keras mengusik telinga.
***
Sudah hampir tiga jam Riko menunggu namun umpan tak kunjung ditarik mangsa. Ia heran, baru kali ini terjadi. Biasanya ia hoki kalau mancing. Hari sudah menjelang sore. Menjadi lebih gelap lantaran awan yang kian menghintam. Hujan pun bertambah deras. Ia hanya memakai jaket parasut, duduk di atas anjungan dari bambu yang dibuat sedikit menjorok ke tengah danau, ia tetap berharap ada ikan yang menggigit kailnya.
Beberapa kali ia melihat kilatan cahaya petir dari langit lalu turun menghilang ke hutan lebat di seberang danau. Lalu diikuti suara guntur menggelegar.
Kali ini tampak kilatan cahaya petir lebih besar dan membuat silau. Seketika terngiang kata-kata bundanya. “Riko! Coba dengerin omongan Mama sekali ini saja!”
Dalam persekian detik, terdengar memekakkan suara petir menggelegar lebih kuat dari sebelumnya. Matanya nanar memandangi hutan di seberang danau, tempat hilangnya kilatan cahaya petir tadi. Beberapa pohon tampak samar rubuh dan kelihatan asap membumbung. Ia bergidik dan merasa berdosa kepada bundanya. Namun belum sempat berpikir lebih jauh, olehnya terlihat sesuatu yang sangat mengejutkan.
Tampak samar bayangan manusia, bergerak keluar dari asap di kejauhan itu.
Riko mengucek-ucek matanya, takut ia salah lihat atau dirinya sudah pangling lantaran cuaca buruk sedari tadi dan tak kunjung mendapat satu pun ikan kecil. Namun pandangannya tak salah.
Bayangan tadi, terlihat semakin jelas, sosok seorang manusia. Bentuk tubuh seorang wanita. Lalu, yang membuatnya hampir terlonjak dari tempatnya duduk adalah, wanita atau gadis itu begitu cepat bergerak, berjalan di atas air danau, merangsek ke arahnya.
Riko memegangi kepalanya. Memijat-mijat mukanya. Ingin memastikan dirinya masih sadar. Ia melihat sekujur tubuhnya. Memperhatikan pancingnya yang sia-sia, lalu mengalihkan pandangannya melihat mobilnya di pinggir danau.
“Aku masih sadar!” Ia membantin
Gadis itu kian dekat. Berjalan di atas air, ia mengenakan setelan baju dan celana yang menutupi seluruh tubuhnya. Sarung tangannya berwarna sama dengan pakaian yang dikenakannya, demikian juga sepatu bootnya. Sebuah helm dibawa dalam pelukannya. Helm itu dilengkapi sejumlah tombol yang masih berkedap-kedip redup.
Gadis cantik itu tinggal hanya beberapa langkah dari anjungan. Riko sudah mau pingsan, lantaran rasa takut yang tak dapat dikuasainya. Saat tiba-tiba wanita itu menyapanya.
“Hai!”
Riko merasakan dirinya membeku. Tak disadarinya, kedua kakinya sudah dalam posisi selonjoran dan kedua tangannya menyandar ke belakang, menopang tubuhnya yang kian terasa berat. Ia berusaha membalas.
“Hai, Britney Spears ya?”
Suaranya parau, jawabannya terbata-bata. Sepertinya ingatan Riko masih cukup bagus. Karena gadis itu memang mirip sekali dengan diva pop cantik asal Amerika Serikat, pelantun Baby One More Time itu. Matanya besar dan rambutnya lurus sebahu. Senyumannya manis, sensual.
“Hahaha hahaha hahaha.” Tawa gadis itu begitu renyah. “Bukan!”
Ia berjongkok, lalu menyodorkan tangannya kepada Riko yang terduduk lemah, takut dan ragu-ragu di anjungan. Riko berusaha menggapai. Gadis itu cepat mengepal tangan Riko dan menariknya berdiri. Kini mereka berdua sudah berdiri. Hujan tiba-tiba reda dan angkasa menjadi begitu cerah. Bahkan mereka kemudian dapat melihat matahari tenggelam di hutan di seberang danau. Petir dan suara guntur pun semuanya lenyap. Peristiwa aneh.
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh goncangan yang terasa di atas anjungan bambu tersebut. Mata sepasang muda-mudi itu refleks mencari sumber goncangan tersebut. Mata mereka mengikuti pusaran air yang bergerak ke sana ke mari di sekitar anjungan. Riko baru menyadari umpannya telah ditelan mangsa. Ia segera menarik pancingnya.
Bukan main kagetnya, seekor ikan nila paling besar yang pernah ia lihat, menggelepar meronta-ronta ingin melepaskan mulutnya yang menyangkut pada kail. Riko dan gadis asing itu berpandangan. Riko segera membereskan tangkapannya. Hasil yang sepadan, ia membatin. Kejadian sangat aneh seperti itu sekalipun, tak mampu merebut seluruh perhatiannya dari urusan mancing. Si gadis memandanginya, ia tersenyum.
Riko baru kembali tersadar.
“Eh, kamu siapa? Dari mana?”
Suaranya masih parau, tubuhnya gemetar. Matanya terus menyelidik.
“Aku tak punya nama. Aku datang dari galaksi lain,” jawab gadis itu tenang.
Riko sanksi, tak percaya. “Kamu alien? Kok tampangmu seperti manusia bumi? Harusnya, rupa alien kan aneh?”
Riko protes. Gadis itu tersenyum.
“Itu kan menurut kalian. Memang sudah sifat manusia bumi, selalu merasa yang paling baik. Lalu mahluk luar angkasa dibikinnya macam moster kecil begitu rupa, hahaha.” Ia tertawa cekikikan.
Riko memperhatikan. Gadis itu melanjutkan.
“Manusia seperti kamu, tak cuma ada di bumi. Di galaksi-galaksi lain di jagat raya ini, masih banyak planet-planet lain seperti bumi ini. Di sana juga ada kehidupan seperti di sini.”
“Oh ya?” Riko terbelalak tak percaya.
“Iyaaa, betul! Namun kami jauh lebih maju dari pada kalian.”
“Bagaimana kamu bisa sampai ke sini? Oh ya namaku Riko”
“Mengikuti gelombang petir.”
Riko tak paham. Gadis itu memahami.
“Kami, di galaksi kami berasal, sudah dapat memanfaatkan gelombang petir dan berbagai gelombang elektromagnetik yang tersebar di seluruh sudut planet. Sebetulnya di bumi juga ada. Kalian saja yang belum bisa memanfaatkannya.”
Riko mendengarkan dengan seksama.
“Dengan teknologi super canggih memanfaatkan gelombang elektromagnetik, kami dapat berfusi dengan gelombang cahaya petir dan dapat membawa kami mngunjungi galaksi-galaksi lain. Hanya dengan kecepatan gelombang cahaya, kita dapat melakukan penjelajahan antar galaksi yang jaraknya jutaan kilo meter. Teknologi fusi yang begitu cerdik membuat kami tak terbakar. Oh ya, dalam catatan radar intelijen kami, seseorang di bumi bernama Einstein pernah membuat teori tentang kecepatan cahaya. Namun kami pantau hingga kini, itu tak ada progres.”
Riko terkejut. Bahkan ia yang sedang mengambil kuliah teknik Fisika, belum betul-betul dapat memahami pemikiran ilmuwan masyur itu.
“Bagaimana kamu bisa berbahasa sepertiku?” Riko mendesak.
“Terjemahan berbasis algoritme. Kami memiliki big data semua bahasa di jagat raya ini, planet di berbagai galaksi. Tinggal menentukan pilihan bahasa lalu menghubungkan dengan gelombang otak kami. Maka secara otomtis kami dapat berbicara menggunakan bahasa di planet yang kami kunjungi.”
Tak sadar, Riko terpana, ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia meyakini, gadis ini tak punya maksud jahat.
“Maaf, aku sudah mau pulang.”
“Aku boleh ikut?” Gadis itu meminta.
Riko kaget, ragu-ragu.
“Kalau kamu mengizinkan lho. Kalau tidak, ya gak masalah juga. Aku bisa kembali ke galaksi.” Ia tersenyum manis. “Perlu menunggu petir?”
“Oh nggak lah. Sebetulnya selalu ada cahaya, cahaya petir hanya salah satu saja yang bisa kamu lihat. Aku bisa pulang ke galaksi kapan saja.”
Ia mengedipkan matanya, cantik sekali.
“Oh, kalau kamu mau ikut, ayo kita ke rumahku di kota.”
Gadis itu tersenyum bersemangat.
Mereka melanjutkan percakapan di dalam mobil Land Cruiser tua itu.
“Ini mobilmu masih memakai bahan bakar fosil ya? Asapnya lumayan.”
Riko cuma mengangguk, ada rasa malu. Karena saat ini sebetulnya sudah ada energi listrik.
“Di tempatku, semua sumber energi sudah berjenis terbarukan. Terutama energi dari matahari kami. Itu sumber energi tak terbatas. Bukannya negerimu ini beriklim tropis? Sinar mentari ada sepanjang tahun. Kenapa tak dimanfaatkan?”
Riko kembali malu. Ia mengalihkan topik pembicaraan.
“Bisa-bisanya kamu tak punya nama? Lalu bagaiman orang lain memanggilmu?”
“Kami saling mengenali, satu dengan yang lain dari gelombang listrik yang unik dalam tubuh. Hampir semua di galaksi tempatku berasal memanfaatkan gelombang elektromagnetik. Kamu pasti pernah mendengar dalam tubuh kita juga ada gelombang listrik. Paling banyak berperan dalam fungsi organ otak, sistem saraf dan jantung. Dan sama seperti DNA yang unik pada setiap orang, gelombang listrik itu pun sebetulnya berbeda pada setiap orang. Seperti sidik jari. Tapi kalau kamu mau ngasi aku nama, boleh juga!”
Ia menggoda. Riko tersenyum.
“Aku kasi kamu nama Britney ya?”
Riko tertawa, pun gadis itu.
“Itu idolamu ya? Memangnya mirip aku? Jangan-jangan kamu sering berfantasi ya?”
Gadis itu terbahak, Riko kaget bukan kepalang. Kenapa gadis itu bisa mengetahuinya? Jangan-jangan ketahuan dari gelombang listrik otakku, batinnya. Ia memang mengidolakan penyanyi itu. Dan gadis di sampingnya memang sangat mirip dengan Britney Spears. Yang pasti, mahluk luar angkasa ini sudah tentu lebih pintar dan canggih.
Jari telunjuk alien itu menekan tombol pada dashboard mobil. Lalu terdengar suara nyaring dan khas Britney Spears melantunkan nomor berjudul Baby One More Time. Sebuah lagu beraliran pop dance yang membuat tubuh gadis luar angkasa itu ikut bergoyang.
“Eh, ini CD ya? Oh ya, mobilmu ada pesawat radionya juga kan? Itu bisa lho buat kami mengirim pesan dari luar angkasa. Terutama melalui gelombang AM.”
Riko cuma mendengar. Lalu ia bertanya.
“Britney, apakah di sana ada negara atau agama?”
Mendengar pertanyaan itu, gadis itu tersenyum.
“Seperti di sini, di tempatku dulu juga ada. Tapi kini sudah tak ada lagi. Agama atau negara diciptakan, maksudnya untuk mengatur manusia. Tapi begitu masing-masing kami dapat mengatur diri sendiri dengan baik, negara dan agama punah dengan sendirinya.”
Sambil menjawab pertanyaan Riko, Britney mengamati perjalanannya. Riko makin tertarik. Sekarang giliran gadis itu yang bertanya.
“Riko, itu kenapa ada longsor di sana sini?”
“Eh anu, itu tanah longsor karena hutan digunduli untuk bikin jalan shortcut. Biar transportasi kami lebih cepat.”
Kening Britney berkerut.
“Kalian perlu buru-buru? Mau ke mana? Apa yang kalian kejar?”
Riko tak bisa menjawab.
“Lalu itu, kenapa banyak tumpukan sampah di setiap perempatan jalan?”
“Oh itu, sisa sarana kami untuk ibadah. Nanti dibereskan petugas kebersihan kota.”
Muka Britney tampak bingung.
“Radar kami mencatat, di bumimu ini, bagian timur tengah dan belahan utara bagian timur, terus ada ledakan energi tak terkendali. Sebuah ironis, data kami menyebutkan semuanya karena agama dan negara. Kamu tahu gak Riko, ada catatan intelijen kami pula seorang pemikir bernama Karl Marx sudah meramalkan, bahaya agama dan negara di tangan manusia-manusia jahat. Informasinya, di tempatmu ini, eh gagasan pemikir itu justru dianggap ajaran terlarang.”
Ia menggelengkan kepalanya. Riko makin tak berdaya.
“Kami sebetulnya pernah hendak mengajak kedua manusia bumi itu pindah ke galaksi kami, hahaha.”
“Britney, kita sudah mau sampai di rumah.”
Riko setengah berbisik. Matanya mengawasi sekitar.
“Oh ya, aku boleh nginap di kamarmu?”
Ia pun ikut berbisik. Riko bingung, tapi tak tega menolaknya. Lagipula tadi ia yang mengajaknya turut serta. Britney memahami pikiran Riko.
“Tenang Riko. Kamu masuk saja ke rumah seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa. Nanti aku menyusul ke kamarmu.”
“Bagaimana kamu tahu kamarku?”
“Mudah saja. Mungkin kamu tak mengetahui aku sudah memindai gelombang elektromagnetik gawaimu. Jadi aku bisa menemukanmu di mana saja.”
“Kalau aku tak bawa gawai?”
“Aku pun sudah mengidentifikasi gelombang listrik dalam tubuhmu.”
“Kalau begitu, buat apa repot-repot memindai gawaiku?”
”Lho, siapa tahu gelombang listrik di tubuhmu berhenti. Maaf, paham kan maksudku? Nah dengan gelombang elektromagnetik gawaimu, kami tetap bisa menemukan jasadmu.”
Ia tampak cerdik saat mengucapkan, pengandaian yang mengerikan itu. Riko cuma bisa nyengir.
***
“Riko, ngomong dengan siapa kamu, Nak?”
Tak sabar bundanya menyambut Riko ke garasi. Jelas saja si anak kaget.
“Ngomong apa? Mama halusinasi kali. Aku dari tadi sendiri aja, Ma. Ini, Ma, aku dapat nila gede. Bikin sup ya, Ma.”
Buru-buru ia menyerahkan hasil tangkapannya kepada bundanya. Lalu ia menghambur ke kamarnya. Bundanya heran. Ia merasa mendengar anaknya berbicara dengan seseorang barusan.
Sesampai di kamar, ia siap-siap menunggu Britney yang pasti akan segara datang menyusul. Entah lewat mana. Yang jelas ia bisa berpindah tempat mengikuti gelombang. Belum beberapa detik di dalam kamarnya, Riko kaget bukan main. Ia mendengar seseorang mandi di toilet kamarnya. Ia baru hendak berteriak memanggil bundanya untuk bertanya, ketika terdengar suara yang sudah dikenalnya.
“Riko, sabun mandimu sudah mau habis. Sering-sering kamu pakai fantasi ya?”
Astaga, itu Britney. Ya Tuhan, ia baru sadar, di sekujur dinding toiletnya ada foto-foto seksinya Britney Spears, penyanyi pujaannya itu.
“Britneeeeey, kok kamu bisa tahu kamarku?”
Riko menahan teriakannya. Dirinya yang gugup, matanya menangkap onggokan pakaian luar angkasa alien itu di sudut kamarnya. Buru-buru ia memasukannya ke dalam almari bajunya.
“Hahahaha hahaha hahaha.” Tawa Britney renyah.
“Lho itu, tadi dari garasi sudah tampak dari jendela, kamar ini penuh foto-foto hot Britney. Berarti itu kamarku kan? Hahaha!”
Iya menjawab jahil dari toilet.
“Riko! Aku lupa bawa pakaian ganti. Gimana dong ini?”
Belum habis rasa malunya, kini Riko dibikin tambah bingung. Ia belum sempat mencari solusi ketika Britney ngerecokin lagi.
“Gak apa-apa ntar aku tidur telanjang?”
Astaga, Riko antara bingung dan tegang. Sepintas terbayang tubuh Briney Spears, biduanita seksi yang sering dibayangkannya itu. Seketika ia mendapatkan ide. Ide sering kali datang saat ia terdesak. Ia berlari ke kamar bundanya. Lalu mengambil sepotong pakaian tidur bundanya.
“Riko! Kamu ngapain ke kamar Mama?”
Teriakan bundanya mengagetkan Riko, tapi ia tak peduli.
“Nyari gunting kuku, Ma!” jawabnya asal saja. Segera ia kembali ke kamarnya sendiri. Lalu menjulurkan gaunnya itu ke dalam toiletnya.
***
“Britney, kamu benar-benar alien? Kok tubuh kita sama persis?”
Sepasang muda mudi, dari galaksi yang berlainan itu berbaring di atas ranjang kamar Riko yang sempit. Britney memakai gaun yang dipinjamkan secara ilegal dari bundanya.
“Kan sudah aku bilang. Ada banyak planet lain yang sama seperti bumi ini di galaksi lain. Kan kita berasal dari ledakan besar yang sama, big bang. Tubuh kita berasal dari untaian karbon yang sama juga. Kalian saja yang selama ini sudah menyebarkan informasi salah, kalau alien itu tampangnya kayak monster kecil.”
Brintey menjelaskan dengan sabar. Riko memperhatikan sekujur tubuh alien manis itu. Ia laki-laki yang belum punya pacar karena waktunya habis buat mancing. Dan hasil pancingannya sore ini seorang alien sangat cantik dan cerdas.
“Walaupun aku menyukai kisah tentang alien, tapi aku tak menyangka ada kehidupan di luar angkasa.”
Nada suara Riko terdengar serius. Lebih terasa sebuah keraguan. Britney pun menjawab.
“Banyak galaksi tentu saja memberi peluang lebih banyak tata surya. Bahkan kamu tahu gak Riko, alam semesta kita ini terus berkembang lho?”
Tubuh mereka tidur miring berhadapan, kedua tangannya bergenggaman, lutut keduanya menekuk bersentuhan. Sesekali Riko mencium wajah dan bibir Britney. Setiap itu pula tubuh mereka semakin menyatu. Tiba-tiba Riko polos bertanya.
“Britney, di sana kamu suka bercinta juga? Apakah orang-orang di sana harus menikah?”
Bukannya kaget, alien yang kini berbaring tanpa busana itu malah tampak sedih. Ia menjawab dengan berbisik.
“Kami memang sangat canggih, jauh melampaui peradaban di bumi, namun kami mulai kehilangan satu hal, perasaan. Aku merindukan rasa haru, bahagia, bahkan rasa sedih. Di galaksi asalku, itu semua nyaris hilang dan digantikan keteraturan, presisi, rutinitas dan rasio serta statistik.”
“Maka kamu berkunjung ke planetku?”
Riko bertanya. Britney mengangguk pelan. Ada genangan air mata di sudut kedua matanya.
“Kami bercinta lebih untuk bereproduksi. Itu pun harus berdasarkan perhitungan kepadatan populasi.”
Riko terdiam. Tangannya membelai-belai rambut lurus Britney, kepala gadis itu kini bersandar di atas dada Riko.
“Aku bahkan sudah merasa iri saat bertemu kamu di danau. Rasa takutmu, kecemasanmu, telah membuat kamu betul-betul hidup. Aku mendambakan itu. Bahkan aku ingin merasakan rasa kehilangan seorang ayah seperti yang kamu rasakan. Kini, hidup kami mendekati sistem robotik. Mungkin, ehm…” Ia diam sesaat. “Tadi kamu pasti bisa menilai, aku tak pintar bercinta. Mungkin tak membuatmu terkesan. Iya kan?”
Meski bertanya begitu, mimiknya tetap tampak sangat bahagia. Ia tersenyum. Jawaban Riko membuatnya kaget.
“Aku pun belum pernah bercinta sebelumnya!”
Ia merasa malu dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Membuat Britney gemas dan memeluknya lebih kuat lagi. Riko mengalihkan pembicaraan.
“Britney, berarti planetmu punya matahari tersendiri, satelit seperti bulan juga?”
“Tata suryamu dan tata suryaku memang mujur. Orbit planetku maupun bumimu ini kebetulan mendekati lingkaran, bukan elips yang sangat jorong. Keadaan ini telah membuat energi matahari yang kita terima sangat sesuai untuk kehidupan.”
Riko semakin sulit memahami, matanya kian berat. Namun Britney terus menjelaskan.
“Kemujuran lain tentu saja massa dari matahari itu sendiri dan jarak planet kita ke matahari. Keadaan tersebut telah memungkinkan terbentuknya zona di mana ada air dalam bentuk cair dapat ditemukan.”
Britney tersenyum memandangi Riko. Ia merasa sangat nyaman dalam pelukan laki-laki yang hobi mancing itu. Ia merasa geli, karena telah membuat Riko tak perjaka lagi.
Riko kaget, tiba-tiba tampak kilatan cahaya lalu terdengar suara petir begitu dekat dengan kamarnya. Dalam sepersekian detik, diikuti kilatan cahaya, menyusup ke kamarnya dan menciptakan gelombang sinar yang sangat menyilaukan. Ia tak sempat berpikir apa pun ketika tubuhnya yang masih berpelukan dengan Britney tersedot, begitu cepat dan tiba-tiba sudah berada di angkasa. Kerongkongannya kering, mulutnya kelu. Ia hanya bisa terpana saat pertama kali dapat melihat bumi yang bulat dari kejauhan. Seperti yang dilihatnya dalam film-film. Britney tersenyum, pelukannya semakin erat. Ia melihat dirinya mengenakan pakaian seperti yang dipakai alien itu. Astaga, ia baru sadar, ia pasti telah diculik. Seperti kisah-kisah film-film konspirasi yang kerap ia tonton.
Riko ingin berteriak, tapi tak punya kekuatan sedikit pun. Seketika ia teringat dengan bundanya. Ia berusaha mendekati telinga Britney untuk meneriakkan sesuatu, dalam kecepatan cahaya yang spektakuler dan tak masuk akalnya itu.
“Mama, Mama…”
Riko terus berteriak-teriak.
“Iya, Riko! Iya, buka pintunya, Nak. Kamu kenapa?”
Suara gedoran pintu kamar oleh bundanya telah membangunkannya. Seketika ia duduk. Astaga, ia baru menyadari dirinya telanjang bulat.
“Nggak, Ma, nggak apa-apa.”
”Sudah siang lho. Sarapan sudah Mama siapin. Sup nilanya semalam masih enak, sudah Mama angetin,” kata bundanya sambil menjauh.
Riko duduk terengah-engah. Ia mencari-cari Britney. Ke toilet, ke seluruh sudut kamarnya sampai ke bawah kolong tempat tidurnya. Alien itu telah pergi. Cepat-cepat ia membuka almari bajunya. Setelan pakaian Britney sudah tidak ada, cuma teronggok gaun milik bundanya.
Ia terduduk kembali. Mestinya Britney telah pergi saat ia terlelap. Gadis itu, pasti tak mau membuatku susah, Riko membatin. Ada rasa tak karuan atau mungkin sedih, namun peristiwa yang ia alami sejak kemarin siang itu telah menyisakan rasa pengalaman yang luar biasa.
***
Sore itu sedikit mendung, Riko tetap memutuskan pergi mancing ke danau. Mobil tuanya melaju mengusai tanjakan. Suara radio gelombang AM menghibur kesendiriannya. Gerimis telah turun dan suara petir mulai terdengar. Setelah satu gemuruh petir, suara radionya mengalami gangguan, sesaat terdengar denging. Lalu terdengar dengan cukup jelas, seorang penyiar berbicara. Namun, itu suara yang telah dikenalinya.
“Riko, kekasihku. Aku mau menyampaikan sesuatu. Aku telat haid. Kamu harus bertanggung jawab!” Karena kagetnya, ia nyaris menginjak remnya dengan mendadak. Belum sempat menjawab, suara Britney telah lenyap. Digantikan suara Britney Spears mendendangkan hits ngetop Baby One More Time.[T]
BACA cerpen-cerpan lain di rubrikCERPENatau baca tulisan lain dariPUTU ARYA NUGRAHA