MESKI tidak semua film Rajkumar Hirani saya tonton, tapi beberapa sangat membekas dalam benak saya. Saya menonton 3 Idiots (2009) dan PK (2014), dua film Hirani yang luar biasa—yang semakin membuat saya jatuh cinta kepada film India—dan sangat membekas sampai hari ini. Tapi belakangan, setidaknya setelah menonton Dunki (2023), saya rasa Tuan Hirani membuat saya sedikit kecewa.
Pada tahun 2018 Hirani merilis film biopic megabintang Bollywood, Sanjay Dutt, dengan judul Sanju—mengacu pada panggilan akrab Sanjay Dutt. Meski telah dirilis beberapa tahun yang lalu, saya baru menontonnya kemarin. Bukan karena tidak tahu, tapi tidak punya akses menonton. Saya tahu rilisnya film Sanju dari postingan beberapa orang di Facebook yang suka menonton film India. Sedangkan nama Sanjay Dutt sudah familiar sejak saya masih belum cakap menyeberang jalan raya.
Sebelum menonton Sanju, tanpa sengaja saya bertemu dengan Sanjay Dutt dalam film penuh ledakan, Jawan (2023)—film yang lebih dekat dengan Hollywood daripada Bollywood itu. Di sana Dutt menjadi cameo yang muncul di paruh akhir cerita. Sanjay Dutt, dengan segala kontroversial yang melekat sepanjang karirnya, sepertinya sudah kehabisan tenaga dalam panggung film India. Bagaimanapun, hari ini ia hanya aktor tua yang nyaris tenggelam di antara bintang baru yang berjibun seperti gulma di musim penghujan.
Dan seingat saya, saya tak pernah menonton film yang dibintangi Sanjay Dutt, kecuali film yang menjadikannya sebagai pemeran pembantu, seperti PK dan Jawan. Tapi, dulu, saat TV sudah masuk kampung saya, dan film India menjadi primadona, bisa jadi saya pernah menonton Sanjay Dutt dengan judul yang tak saya ketahui. Mungkin saja, sebab emak saya sering menyebut nama aktor ini dan saya selalu ikut emak menonton film India.
Tetapi biarlah. Itu tidak penting. Sebab ini juga bukan tentang perjumpaan saya dengan Baba Dutt, tapi ini tentang film otobiografinya yang menurut saya tidak jujur. Sanju, tampak seperti “humas” Sanjay Dutt yang berusaha—dengan sangat keras—memoles dan menepis semua riwayat kelam sang aktor.
***
Tidak ada yang salah dengan film Sanju sebenarnya. Ini jenis film India yang dieksekusi dengan baik—walaupun bukan yang terbaik. Secara teknis, kita sangat dimanjakan dengan gambar-gambar yang bagus. Mungkin ini karena teknologi yang semakin maju.
Dan Ranbir Kapoor sangat baik dalam memerankan Sanjay Dutt. Ia membuktikan dirinya lebih baik daripada sang ayah, Rishi Kapoor, dalam soal akting. Film ini seolah menjadi penanda bahwa Ranbir benar-benar punya bakat, bukan sekadar mendopleng nama besar Dinasti Kapoor.
Dalam Sanju, Ranbir seolah lenyap ditelan sosok yang ia perankan. Ia tak lagi menjadi Ranbir, tapi Sanju itu sendiri. Tatapan mata, gerak bahu, cara berjalan, bahkan gaya menolehnya, nyaris sama seperti Sanjay Dutt. Saya bahkan tak melihat Ranbir dalam film Ae Dil Hai Mushkil (2016), film Karan Johar yang cengeng itu.
Tapi, meski begitu, setidaknya ada dua hal yang membuat saya kecewa dengan Sanju, dengan Rajkumar Hirani. Pertama, seperti yang sudah saya sampai di atas, film ini tidak terlalu jujur dalam menggambarkan sosok Sanjay Dutt—dan itu terkesan lebih memanjakannya, jika bukan menjilatnya, daripada menyampaikan realitas tentangnya. Kedua, saya kecewa sebab bintang India pujaan saya, Anushka Sharma, dipermak Hirani menjadi perempuan dengan rabut keriting mengembang dan mata biru yang menakutkan.
Sanju dibuka dengan usaha Sanjay Dutt dalam mencari penulis biografi yang mau menuliskan tentang perjalanan hidupnya. Hal ini dilakukan Dutt untuk membersihkan namanya dari noda-noda kotor yang sudah melekat dalam kepala orang India. Narkoba, pemabuk, pemain wanita, tidak profesional, hubungannya dengan keluarga yang tak baik-baik saja, dan terakhir teroris, seperti terpacak di jidat sang bintang. Tuduhan tetoris bahkan menjebloskannya dalam penjara.
Dutt merasa, bahwa apa yang dituduhkannya selama ini tidak benar—dia merasa itu hanya gorengan media (pers India) yang hanya menginginkan berita sensasional saja. Maka dari itulah, Dutt harus menceritakan yang sebenarnya kepada orang yang mau menuliskannya. Dan orang itu bernama Winnie Dias, seorang penulis biografi terkenal yang tinggal di London. Winnie, perempuan bermata biru dan berambut keriting mengembang itu, diperankan oleh pujaan saya, Anushka Sharma. Jancuk, Hirani!
Dari cerita Sanjay Dutt kepada Winnie, kita dijejali pembenaran-pembenaran atas apa yang dilakukan Dutt. Pembenaran itu pada akhirnya menggiring kita untuk memaklumi perbuatan hitam sang bintang. Seolah, apa yang terjadi dalam hidup Dutt bukanlah sebuah kesalahan, tapi karena ada sebab lain yang membuat itu terjadi. Salah satunya adalah karena Sunil Dutt, sang ayah, yang diperankan Paresh Rawal.
Di India, Sunil Dutt bukan orang sembarang. Selain aktor, ia juga seorang aktivis dan politisi yang baik hati. Sunil melegenda dan sangat dihormati. Tetapi, dalam film Sanju, khususnya dari awal sampai pertengahan, Sunil tampak sebagai seorang ayah yang konservatif, kaku, dan selalu menginginkan Sanjay Dutt tampil terbaik. Dan sikap ini diterangkan sebagai penyebab Dutt jatuh dalam pelukan narkoba.
Menurut cerita Sanjay Dutt, Sunil terlalu menekannya dengan banyak aturan. Sehingga dia merasa tertekan dan akhirnya mengonsumsi barang haram. Dari narasi ini, seolah kita diperlihatkan bahwa itu bukan salah Dutt, tapi Sunil saja yang tak becus menjadi ayah yang baik. Bahkan, seorang Sunil harus diingatkan—kalau bukan dinasehati—oleh pemuda bau kencur macam Kamlesh Kanhaiyalal Kapasi yang diperankan sangat baik oleh Vicky Kaushal. Kamlesh, sahabat Sanju yang tinggal di Amerika, meminta Sunil untuk menjadi ayah yang bisa memahami anaknya. Waw, sampai di sini sudah terlihat “humas”-nya?
Tidak hanya itu, Abhijat Joshi dan Hirani—yang bertanggung jawab atas cerita, skenario, dan dialog Sanju—telah memilih fakta dengan cermat dan memandikan selektivitas mereka dalam dosis besar yang memanjakan sang protagonis. Misalnya, kita diberitahu bahwa Dutt memperoleh tiga senapan AK-56 dan peluru tanpa izin karena takut akan keselamatan ayah dan saudara perempuannya dari serangan orang-orang yang membenci keluarganya. Ini memang adalah klaim yang dibuat Dutt dalam kehidupan nyata.
Namun, seperti kata Anna M. M. Vetticad (kritikus film sekaligus jurnalis asal India), film tersebut tidak menyebutkan bahwa Dutt juga pernah mengakui bahwa dia sudah memiliki tiga senjata api berlisensi yang, kata Dutt kepada polisi, dia beli karena kecintaannya dalam berburu. Jadi, mengapa Dutt memerlukan senjata lagi? (Dutt kemudian menarik pernyataannya yang terakhir.)
Sepanjang film, Tuan Hirani dan Joshi memainkan permainan ini dengan baik—dan mereka tampak semacam humas yang harus selalu menampilkan citra baik Sanjay Dutt. Bahkan, mereka berdua seperti tidak mempermasalahkan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan Dutt, atau pergaulan bebasnya, ketidakprofesionalannya, perilakunya yang tidak bertanggung jawab terhadap orang tua dan koleganya, serta kebohongannya dalam masalah ini. Hirani dan Joshi menggambarkan—atau mencoba menutupi?—semua ini dengan cara yang lucu. (Guyonan dalam Sanju tak lebih baik daripada 3 Idiots dan PK.)
Dalam film ini, Hirani tak menampilkan masa kecil Dutt. Kita hanya ditunjukkan Dutt dalam beberapa film debutnya, penyakit ibunya, hubungan buruk dengan ayahnya, kecanduan alkohol dan narkoba, tuduhan keterlibatannya dalam ledakan bom Mumbai tahun 1993, penangkapannya di bawah hukuman yang kejam, pembebasan atas tuduhan teror dan hukuman berdasarkan UU Persenjataan, pemenjaraannya, dan pembebasan terakhirnya.
Untuk memermak nama Sanjay Dutt menjadi tampak berkilau, maka Hirani harus mencari sosok kambing hitam yang harus—dan pantas—kita hujat bersama-sama. Dan pilihan kambing hitam yang paling pantas dan strategis jatuh kepada media atau pers di India. Atas segala kesalahan yang telah dilakukan Sanju, tanggung jawab akhirnya terhenti di depan pintu pers pembohong—sebagaimana lirik “Baba bolta hain bas ho gaya”.
Itu adalah sebuah kejeniusan propaganda Hirani. Sebagian besar media di India—juga di Indonesia sebenarnya—begitu memalukan, sehingga kita tergoda untuk menyalak ketika ada yang menyalahkan mereka (media, pers) karena alasan apa pun—bahkan jika rasa jijik kita terhadap sensasionalisme media digunakan Hirani secara diam-diam untuk mempengaruhi kita agar menaruh simpati kepada Sanju. Dan, sekali lagi, semua itu tampak memburamkan kesalahan Dutt. Ini kekecewaan pertama saya dalam film ini.
Betapa disayangkan hal ini datang dari Hirani, pencipta film Munnabhai yang brilian (keduanya dibintangi oleh Dutt), selain 3 Idiots dan PK, yang, apa pun kekurangannya, memiliki poin-poin yang relevan untuk disampaikan. Begitu komentar Anna M. M. Vetticad dalam artikel kritik filmnya atas film Sanju.
***
Selain itu, saya juga kecewa kepada Hirani karena telah membuat sosok Anushka Sharma, seperti kata Cak Mahfud Ikhwan, yang wajahnya seperti telur rebus yang dikupas dengan hati-hati dan disajikan hangat-hangat itu, menjadi sosok yang nyaris tak saya kenali—dan tak saya sukai, tentu saja. Saya cukup kecewa ketika Hirani membuat bibir Anushka menjadi tebal dalam PK, dan muak saat Johar membuatnya tak punya rambut dalam Ae Dil Hai Mushkil.
Saya mau wajah Anushka Sarma yang saya lihat pertama kali dalam Rab Ne Bana Di Jodi atau dalam Jab Tak Hai Jan. Saya tak mau wajah yang lain, rambut dan mata yang lain. Atau bibir dan senyum lebarnya yang lain.
Tuan Hirani, lain kali, kalau mengajak Anushka main film lagi, tolong kembalikan bibir tipis dan senyum lebarnya seperti saat ia berperan sebagai Akira di Jab Tak Hai Jan atau Tania dalam Rab Ne Bana Di Jodi! Maaf, mungkin ini agak berlebihan dan bersifat pribadi, tapi Anda harus paham bagaimana perasaan saya saat melihat pujaan hati tampil dengan topeng yang tidak cocok. (Anushka Sharma yang berperan sebagai penulis biografi Sanjay Dutt, Winnie Diaz, memiliki peran yang jelas tidak menantang sehingga karismanya terbuang sia-sia.)
Namun, terlepas dari itu semua, sepertinya benar, Sanju adalah milik Ranbir. Ia menghadirkan bakat yang imersif, terutama dalam adegan-adegan dengan intensitas emosional. Tetapi, sekali lagi, bahkan bintang berbakat ini tidak dapat menyembunyikan kenyataan bahwa Sanju hanya sekadar “pembelaan” yang gemerlap untuk Sanjay Dutt.[T]