HARI raya lebaran atau Idulfitri bagi umat Muslim di Indonesia dari tahun ke tahun selalu sama. Jauh hari sebelum lebaran selalu diwarnai kehebohan. Masyarakat sudah merencanakan untuk pulang mudik lebaran, sementara ibadah puasa belum juga mulai dikerjakan.
Begitulah masyarakat Indonesia. Meski berbagai kemajuan telah mewarnai sebagian besar kehidupan, tradisi berlebaran dan tradisi mudik ke kampung halaman masih dilakukan. Tidak salah jika masyarakat Indonesia masih berada dalam karakteristik tradisional.
Hiruk-pikuk lebaran bukan hanya menjadi euforia masyarakat saja. Pemerintah dan para pejabat juga sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan lebaran. Mulai dari kesiapan sarana transportasi sampai ketersediaan bahan pangan. Tunjangan hari raya (THR) menjadi topik menarik setiap menjelang lebaran.
Tidak terkecuali para pedagang dan pengusaha turut meriuhkan lebaran. Kenaikan harga kebutuhan pokok selalu terjadi, dan lebaran senantiasa dianggap sebagai biang kenaikan itu. Pengendalian harga yang dilakukan pemerintah pun tak mampu menekan kenaikan harga di pasar-pasar.
Kemacetan arus lalu lintas menjadi pemandangan yang mewarnai setiap lebaran. Kementerian Perhubungan memperkirakan 193,6 juta masyarakat atau 71.7 persen jumlah penduduk Indonesia akan mudik lebaran tahun 2024 ini. Lebaran seolah menjadi ritual mudik yang wajib diglorifikasi dan dilakukan setiap tahun.
Tradisional
Lebaran yang selalu dirayakan sesungguhnya menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia masih berada dalam kategori masyarakat tradisional. Idulfitri dan lebaran bukan semata klimaks dari puasa sebagai kewajiban umat beragama, tetapi juga tradisi yang mesti dirayakan bersama.
Dahulu, masyarakat tradisional seringkali dikaitkan dengan masyarakat desa yang memiliki kepadatan penduduk rendah. Lapangan kerja dominan di sektor agraris dan maritim. Seiring perkembangan, masyarakat tradisional tidak lagi dipandang dari karakteristik geografis tersebut.
Masyarakat tradisional tidak harus mereka yang tinggal di pedesaan. Tidak juga yang bekerja sebagai petani dan nelayan. Masyarakat tradisional adalah mereka yang masih mempertahankan nilai-nilai tradisional, meski tinggal di perkotaan dan bekerja di pemerintahan maupun perusahaan.
Secara sosiologis masyarakat tradisional digambarkan sebagai gemeinschaft, masyarakat yang memiliki hubungan yang guyub dan akrab. Saling membantu dan tegur sapa adalah ciri khas masyarakat tradisional yang selalu dirindukan oleh para pemudik di hari lebaran.
Kontrol sosial pada masyarakat tradisional dilakukan melalui adat, moral, dan hukum informal. Pulang kampung di saat libur lebaran memang bukan kewajiban agama. Namun itu banyak dilakukan masyarakat Indonesia sebagai ketaatan pada ikatan moral dan tradisi turun-temurun.
Tradisi yang sudah lama berlangsung menjadi pertanda keberadaan masyarakat tradisional. Mudik lebaran biasanya tidak sekadar bersukacita di tengah kemacetan jalur mudik, tetapi juga tradisi nyekar atau mengunjungi makam leluhur di kampung untuk mendoakannya.
Kesadaran
Secara “ideologis”, masyarakat tradisional ditandai oleh fanatisme pada kelompok sendiri. Fanatisme itu bisa dilihat dari kesetiaan dalam menggunakan bahasa daerah sebagai sarana berkomunikasi sesama warga satu daerah. Karenanya, lebaran menjadi momentum untuk menyuburkan komunikasi dengan berbincang menggunakan bahasa daerah di kampung.
Kesadaran terhadap kesamaan adat, norma budaya, dan bahasa memang dijunjung tinggi oleh masyarakat tradisional. Tidak heran jika ada orang yang sudah lama merantau di Jakarta misalnya, dia akan tetap menjunjung tinggi norma budaya asal daerahnya. Termasuk kesadaran untuk menggunakan bahasa daerah dalam berkomunikasi dengan orang dari daerah yang sama.
Jaringan komunikasi dan interaksi sosial dibangun atas dasar kesamaan dalam hal adat, busana, bahasa, dan makanan. Oleh sebab itu, banyak dijumpai kelompok-kelompok etnis di kota besar yang terdiri dari para pendatang berbagai daerah; yang akan mudik bersama menjelang lebaran.
Lebaran kerap menjadi cara bagi para perantau untuk kembali merajut jaringan komunikasi di daerah. Rumah keluarga yang sederhana di kampung halaman menjadi pembunuh rindu bagi perantau. Begitu pula makanan khas daerah menjadi nikmat untuk disantap di saat lebaran, mengalahkan beragam fast food yang biasa disantap di perantauan.
Kelompok etnis pada masyarakat tradisional memang bisa lintas geografis, dapat berada di ruang fisik lain. Etnis Jawa dapat bermukim di Jakarta. Etnis Minang dan Bugis juga terdapat di Bali. Semua akan terikat pada kesadaran bersama untuk menjalin komunikasi secara komunal di saat lebaran.
Kesadaran membangun jaringan komunikasi dengan daerah asal juga melahirkan kohesitas dan solidaritas sosial. Berbagi “amplop” kepada sanak famili dan tetangga saat lebaran menjadi simbol berbagi rejeki melalui ikatan komunal. Solidaritas sosial mengabaikan berapa pun isi amplop itu.
Orang boleh saja memiliki rumah dan mobil mewah. Perhiasan yang mahal. Jabatan mentereng. Tak perlu risau disebut masyarakat tradisional, jika jauh sebelum lebaran ikut larut dalam ritual mudik ke kampung halaman.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU