“De, inget siapang sapari kuninge, mani nak Kuningan!” (Nak, ingat siapkan busana adat kuningnya, besok hari suci Kuningan!)
SEPERTI itulah cuitan dari seorang ibu kepada anaknya. Hal yang menandakan bahwa besok Hari Suci Kuningan telah tiba. Hari Suci Kuningan merupakan hari suci Agama Hindu yang jatuh 10 hari setelah hari suci Galungan, tepatnya Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Kuningan (Tumpek Kuningan).
Sama seperti Galungan, Kuningan juga menjadi salah satu hari suci yang ditunggu-tunggu oleh umat Hindu. Hal ini berasal dari daya tarik berupa, hadirnya beragam jejahitan yang khas(Anyaman untuk Upacara Khas Agama Hindu), filosofi para Dewata yang akan pulang di pukul 12.00, serta budaya melancong ke pantai di sore harinya. Eitsss… jangan lupakan juga, tradisi Nglawang berupa atraksi Barong Bangkung yang siap memeriahkan jalanan dan perumahan warga.
Dari beragamnya daya tarik, sebenarnya terdapat satu lagi ciri khas yang menjadi tren hari suci Kuninganmasa kini. Meskipun demikian, tren ini jarang disadari oleh umat Hindu, bahkan mungkin selalu luput dari pembahasan secara filosofis.
Tren tersebut adalah pemakaian busana serba kuning. Hal ini bisa direfleksikan lewat perkembangan teknologi di zaman sekarang, di mana media sosial akan langsung dipenuhi foto-foto eksis anak muda yang tampil dengan busana adat berwarna kuning di hari suci Kuningan. Entah kuning dalam hal udengnya, saputnya, saparinya, kebayanya, kamennya, dan hal lainnya (Bradut, 2020). Foto tersebut kemudian akan ditimpali dengan balutan status, caption, dan hastag ‘#’ khas “Selamat Hari Suci Kuningan.”
Dari tren tersebut, beragam pertanyaan pun muncul. Apa sesungguhnya yang melatar belakangi tren ini? Siapa sebenarnya yang memproklamirkan tren ini? dan Apakah memang diwajibkan memakai busana serba ‘kuning’ ini?
Eksis karena Kata Dasar ‘Kuningan’
Sampai sejauh ini, secara legalitas tertulis maupun tidak tertulis, sesungguhnya belum ada yang tahu pasti, kapan tanggal awal munculnya tren pemakaian busana serba kuning di hari suci Kuningan. Dari segi latar belakang, hanya baru muncul sebuah dugaan sementara yang berhubungan dengan kata dasar hari suci ‘Kuningan’ itu sendiri.
Secara etimologi, hari suci Kuningan jika digali dari segi bahasa Indonesia, akan menemukan kata dasar ‘kuning’. Kata dasar Kuning inilah yang banyak dihubungkan dengan warna kuning, sehingga bisa menjadi sebuah hipotesa awal, landasan tren ini muncul di setiap hari suci Kuninganmasa kini. Terlebih hal ini juga didukung oleh perkembangan busana adat yang kian berkembang dari hari keharinya, baik dari sisi inovasi motif maupun kreasi warna.
Dipopulerkan oleh Kalangan Anak Muda
Sama seperti latar belakangnya, nama orang yang memproklamirkan pemakaian tren busana berwarna kuning setiap hari suci Kuninganjuga belum ada yang mengetahui secara pasti. Namun, jika berkaca dari tren ini, yang eksis lewat media sosial, dapat diketahui jawaban sementara bahwa pihak yang mempopulerkan tren ini adalah kalangan anak muda.
Hal ini sesuai dengan refleksi fenomena hari suci Kuninganmasa kini, di mana para anak muda akan berlomba-lomba untuk mengepost foto mereka yang tengah berbusana adat berwarna kuning untuk diperlihatkan kepada teman-temannya. Hal ini pun kemudian berkembang menjadi sebuah tren.
Tren ini kemudian mulai menginvasi pikiran anak muda agar tidak ketinggalan zaman dalam memeriahkan hari suci Kuninganmenggunakan busana adat berwarna kuning. Tidak jarang pula, tren ini mendapatkan legitimasi secara tidak langsung oleh kalangan orang tua. Hal ini menyebabkan orang tua juga turut ingin eksis mengepost foto mereka dengan memakai busana adat berwarna kuning di media sosial, sebagai wujud kebersamaan dengan anak di hari suci Kuningan.
Bukan Sesuatu Hal yang Wajib
Meskipun menjadi sebuah tren di hari suci Kuninganmasa kini, memakai busana adat berwarna kuning di hari suci Kuninganbukanlah sesuatu hal yang wajib. Hal tersebut dikarenakan belum adanya sumber sastra Hindu yang mengamanatkan hal demikian. Ditambah lagi, kata ‘kuning’ dalam kata ‘Kuningan’ bukanlah sesuatu yang serta merta dapat diartikan secara prematur sebagai hari berpakaian serba kuning.
Lebih mendalam selain warna (dalam Sudarsana, 2003: 72), kata ‘kuning’ dalam hari suci Kuninganlebih mengarah pada makna “Amertha” yang memiliki arti sebagai anugrah suci kehidupan. Sementara kata ‘Kuningan’ sesungguhnya berasal dari “Keuningan” yang memiliki arti “Kepradnyanan”.
Untuk itulah, hari suci Kuningansesungguhnya lebih mengarah pada hari umat manusia untuk meminta anugrah (Amertha) dalam bentuk kepradnyanan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Terutama dalam manifestasinya dalam wujud Sang Hyang Mahadewadan para Dewata-Dewati. Hal ini sesuai dengan isi kutipan Lontar Sundarigama (Sudarsana, 2003: 73) sebagai landasan umat Hindu untuk melaksanakan suatu hari suci yang berbunyi sebagai berikut:
“Saniscara Kliwon Wara Kuningan Payoganira Bethara Mahadewa Tumuruna Pepareng Para Dewata Muang Sang Dewa Pitara, Inanggapa Bhaktin Manusa, Amaweha Waranugeraha Amertha Kahuripan….”
Terjemahan:“Hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan merupakan hari beryoga-NyaSang Hyang Mahadewadibarengi denganParaDewatadanPara Leluhuryang telah disucikan. Dengan sikap bhakti manusia, diperolehlah anugrah kesucian kehidupan…”
Jadi, dapat diketahui bersama bahwa belum ada legitimasi pasti mengenai latar belakang, kapan, dan siapa yang memproklamirkan tren serba kuning di hari suci Kuningan. Hal ini murni hanya sebuah tren yang dikaitkan dengan kata ‘kuning’ pada kata hari suci ‘Kuningan’.
Dari sana dapat disimpulkan juga, tren pemakaian busana berwarna kuning di hari suci Kuninganbukanlah sesuatu hal yang wajib. Sehingga, sudah seyogyanya umat Hindu dapat menanggapi hal ini dengan bijak dan tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk berbusana serba kuning di setiap hari suci Kuningan.
Di satu sisi, eksistensi tren ini sesungguhnya sah-sah saja untuk dilakoni, asal tetap dalam koridor sewajarnya. Hal ini memiliki maksud, tren ini dilakukan murni sebagai wujud cinta kasih kepada Hyang Widhikarena menganugerahi umat manusia hari suci luhur bernama ‘Kuningan’.[T]
SUMBER REFERENSI
- Bradut, Ketut. 2020.Lawak Bali, Hari Raya Kuningan Serba Kuning,https://m.youtube.com/watch?v=UZd_Bt6tMKU. Diakses 7-Maret-2024.
- Sudarsana, I. B. Putu. 2003.Ajaran Agama Hindu Acara Agama Edisi II.Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.