HARI pencoblosan sudah berlalu. Rabu, 14 Februari 2024, rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih telah menggunakan hak pilihnya di bilik suara. Kini, proses penghitungan suara masih berlangsung di tingkat kecamatan atau Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Seperti biasa, hasil hitung cepat menjadi bahan perbincangan utama bagi sebagian besar kelompok masyarakat. Sebagian lainnya, tetap menjalankan rutinitas seperti biasa.
Selama proses pencoblosan pada 14 Februari lalu—dari pukul 07.00 hingga 13.00—banyak kelompok peduli kepemiluan yang disebut “pemantau pemilu” melakukan pemantauan.
Pemantau pemilu memiliki peran dalam memantau jalannya seluruh tahapan pemilu, tidak hanya dari sisi penyelenggara, seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP, pemantau juga memiliki ruang memantau pemerintah dan masyarakat.
Salah satu kelompok pemantau yang ikut melaksanakan kegiatan pemantauan pada hari pencoblosan adalah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI).
KMHDI sebagai Pemantau Pemilu
Setiap kelompok pemantau pemilu harus terakreditasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Apabila sudah terdaftar, setidaknya kelompok pemantau pemilu tersebut, akan dilibatkan dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Bawaslu, baik di tingkat pusat hingga kabupaten/kota.
KMHDI terakreditasi oleh Bawaslu RI pada 12 Agustus 2022. Sejak saat itu KMHDI cukup aktif melakukan pemantauan di setiap tahapan, baik melakukan pemantauan secara langsung, ataupun pemantauan secara tidak langsung.
Khusus pada hari pencoblosan, KMHDI mengerahkan kurang lebih 220 orang pemantau di 22 provinsi, tempat di mana KMHDI eksis. Sejauh pemantauan yang dilakukan oleh KMHDI, dalam proses pencoblosan tidak ada hal-hal yang dipandang dapat menjadi indikasi dugaan pelanggaran yang harus dilaporkan ke Bawaslu.
Meski demikian, proses pemantauan tidak hanya dilakukan oleh KMHDI, sangat banyak kelompok pemantau pemilu yang juga mendapatkan temuan-temuan berbeda di lapangan. Tetapi, KMHDI tetap menyoroti beberapa hal yang sekiranya harus dievaluasi oleh penyelenggara dan pemerintah dalam rangka memperbaiki sistem kepemiluan di Indonesia.
Platform Sirekap, misalnya, menjadi sebuah aplikasi yang dapat memudahkan proses perekapan suara yang dapat dipantau langsung dari TPS. Aplikasi ini juga mendorong terjadinya transparansi sekaligus mencegah terjadinya praktek jual beli suara, karena masyarakat luas dapat langsung melihat dan mengawal perolehan suara dari calon-calon pemimpinnya.
Sayangnya, sampai detik ini aplikasi Sirekap masih menuai banyak permasalahan, khususnya beberapa waktu lalu, saat KPU memutuskan untuk menunda rekapitulasi suara di tingkat kecamatan karena ada permasalahan di aplikasi sirekap. Server yang sering kali down menjadi salah satu faktor penghambat kinerja jajaran KPU di lapangan.
Dalam pandangan penulis, sudah saatnya bagi penyelenggara dan pemerintah untuk memikirkan kembali desain kepemiluan di Indonesia. Dunia mengakui bahwa sistem kepemiluan di Indonesia adalah salah satu sistem yang paling rumit, kerumitan ini menjadi simpul-simpul munculnya permasalahan, seperti yang bisa kita lihat sampai hari ini.
Persoalan data pemilih, verifikasi peserta pemilu, distribusi logistik, proses penghitungan suara, hingga nanti pada sengketa pemilu selalu menjadi persoalan yang tak kunjung menemukan penyelesaian. Ditambah, pemilu seolah-olah menjadi mesin pembunuh yang selalu menelan korban jiwa.
Pada Pemilu 2019, sebanyak 894 petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia, dan 5.175 petugas mengalami sakit. Sedangkan di Pemilu 2024, setidaknya terdapat 94 petugas penyelenggara pemilu meninggal dunia, dan 13.000 petugas lainnya tercatat sakit dari data yang dikumpulkan oleh Kementerian Kesehatan RI.
Apakah pemilu harus terus menelan korban jiwa?
Caleg Bali Tarung di Luar Kandang
Berbagai permasalahan yang muncul dalam proses panjang perjalanan Pemilu 2024 kali ini tidak membuat penulis lupa akan potensi-potensi putra-putri Bali yang berjuang di luar Bali.
Pada pemilu edisi kali ini, cukup banyak putra-putri Bali yang bertarung di luar “kandang”. Tidak sedikit juga yang meraih hasil manis dari perjuangannya. Misalnya Made Indrawan yang maju sebagai caleg DPRD Provinsi Sumatera Selatan melalui PDIP di dapil Sumatera Selatan III (Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir).
Terpantau melalui laman pemilu2024.kpu.go.id Made Indrawan berpotensi terpilih dengan raihan sementara sebesar 12.255 suara—suara nomor dua terbesar di internal partainya, dan PDIP pada dapil tersebut menempati perolehan suara terbanyak ketiga setelah Gerindra dan Demokrat.
Lampung menjadi wilayah dengan basis penduduk pemeluk agama Hindu terbanyak setelah Bali. Pada Pemilu 2019, Lampung telah berhasil meloloskan satu wakil rakyat Hindu berdarah Bali ke Senayan, ia adalah I Komang Koheri yang maju melalui PDIP.
Pemilu 2024 I Komang Koheri kembali maju menjadi caleg DPR-RI dapil Lampung II lewat PDIP. Koheri tidak sendiri, di dapil dan partai yang sama juga terdapat caleg DPR-RI yang beragama Hindu dan berdarah Bali, ia adalah I Ketut Suwendra dan Ida Ayu Gede Budasri.
Sebagai incumbent I Komang Koheri justru tampak terseok dengan perolehan sementara 22.651 suara, sedangkan I Ketut Suwendra menjadi pemilik suara terbanyak sementara di internal PDIP dengan perolehan 45.239 suara.
Berbeda dengan dua rekannya, Ida Ayu Gede Budasri tampak tak berdaya dengan perolehan 2.205 suara saja. Melihat realitas suara sementara, I Ketut Suwendra memiliki potensi besar untuk melenggang ke Senayan.
Selain di tingkatan RI, putra-putri Bali di Lampung juga punya potensi untuk duduk sebagai anggota legislatif di tingkat provinsi dan kabupaten. I Made Suarjaya caleg DPRD Provinsi dapil Lampung VII (Kabupaten Lampung Tengah) berhasil lolos sebagai Anggota DPRD Lampung untuk ketiga kalinya lewat Partai Gerindra.
Berdasarkan hasil pleno perhitungan suara di tingkat kecamatan, I Made Suarjaya yang pernah berproses di KMHDI ini berhasil meraup suara sekitar 16 ribu lebih suara.
Pada tingkat kabupaten pun, putra-putri Bali ada yang berhasil lolos sebagai anggota legislatif. Sebut saja I Gusti Putu Yuggo Arta Pratama—juga pernah berproses di KMHDI ini maju sebagai caleg DPRD Kabupaten Lampung Tengah dapil Lampung Tengah I lewat Partai Gerindra.
Sementara ia masih menjadi caleg dengan perolehan suara terbanyak di internal partainya dengan 3.168 suara. Potensi lolosnya besar karena Gerindra juga menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak ketiga di dapil ini. Dapil yang sama juga berpotensi meloloskan putera puteri berdarah Bali menjadi anggota legislatif.
I Wayan Dama yang maju dari PDIP sementara berhasil memperoleh 4.369 suara—jadi suara terbanyak di partainya. Pande Putu Agustin yang maju melalui Partai Nasdem yang sementara berhasil meraup suara 2.267 suara—jadi suara terbanyak di partainya.
Setelah Lampung, penulis bergeser untuk membahas konstelasi di Sulawesi Tengah. Provinsi ini juga memiliki penduduk pemeluk Hindu dan berdarah Bali dengan jumlah yang cukup banyak. Hal ini tidak lepas dari fakta bahwa Sulawesi Tengah menjadi salah satu daerah transmigrasi warga Bali pada masa kepemimpinan Suharto.
Pada pemilu edisi kali ini, Sulawesi Tengah menjadi “battle ground” dari tiga putera Bali yang memperebutkan kursi di Senayan. Mereka adalah I Gusti Putu Artha yang maju melalui Partai Nasdem, I Wayan Supadiyasa yang maju melalui Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan I Kadek Arimbawa melalui Partai Hanura.
Mengingat, salah satu syarat penting melenggang ke Senayan adalah Parliamentary Threshold, maka satu-satunya yang berpotensi melenggang sebagai Anggota DPR-RI adalah I Gusti Putu Artha—Nasdem menjadi salah satu dari delapan partai yang diprediksi lolos berdasarkan Litbang Kompas.
Meski secara partai I Gusti Putu Artha adalah yang paling potensial lolos, tetapi kemungkinan untuk lolos baginya sangatlah kecil. Sementara, I Gusti Putu Artha baru mengumpilan 8.792 suara—suara terbanyak keempat di internal partainya.
I Kadek Arimbawa atau lebih akrab disapa Lolak saat ini merupakan Ketua DPD Hanura Bali atas penugasan partai, dirinya terbang ke Sulawesi Tengah untuk nyaleg. Untuk sementara Lolak berhasil mengumpulkan 7.541 suara—jadi suara caleg terbanyak di internal partainya.
Sedikit berbeda dengan dua caleg sebelumnya yang merupakan putera Bali yang lahir dan besar di Bali, I Wayan Supadiyasa adalah putera Bali yang memang sejak lahir hingga tumbuh besar berada di Sulawesi Tengah, tepatnya di Kabupaten Banggai.
Sebelum menjadi Ketua Pimda PKN Sulawesi Tengah, Supadiyasa yang juga pernah aktif di KMHDI ini pernah menjadi Anggota DPRD Kabupaten Banggai melalui Partai Hanura, bahkan menjadi Ketua DPC Hanura Banggai.
Pada pemilu edisi kali ini, Supadiyasa memilih untuk membuat loncatan besar dan maju sebagai caleg DPR-RI. Namun mengingat PKN yang secara nasional hanya memperoleh suara sekitar 0,23 persen, maka tertutup pula peluang Supadiyasa untuk lolos ke Senayan.
Sebenarnya masih banyak daerah yang telah melahirkan anggota legislatif, seperti I Made Riandiana Kartika dari PDIP yang saat ini duduk sebagai Ketua DPRD Kota Malang. Selanjutnya I Gde Wiska yang kini duduk sebagai Anggota DPRD Kota Mataram—bahkan di kota ini terdapat 11 putra-putri berdarah Bali yang duduk sebagai anggota legislatif, dua di antaranya duduk sebagai Wakil Ketua DPRD.
Hadirnya putra-putri Bali mewarnai konstelasi politik di luar Bali tentu menjadi kabar baik yang harus disebarluaskan. Keberanian mereka tentu dapat menjadi tulang punggung dalam memperjuangkan berbagai kepentingan warga Bali di tanah rantau. Akankah ada yang terlewat, silakan ditambahkan.[T]
- Baca esai-esai politikTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI