SEORANG jurnalis dan kritikus film, Roger Ebert, memulai kritik pendeknya terhadap film Alive (1993) garapan Frank Marshall dengan penyangsian “There are some stories you simply can’t tell. The story of the Andes survivors may be one of them.” Barangkali pria Amerika itu benar. Jatuhnya pesawat Angkatan Udara Uruguay Penerbangan 571 di pegunungan Andes pada tanggal 13 Oktober 1972 itu tetap memiliki sisi yang tak dapat diceritakan sepenuhnya oleh siapa pun, termasuk penyintas.
Tapi sebagai sebuah cerita yang spektakuler, kisah survival para penyintas kecelakaan pesawat 571 di lembah salju Andes yang mengerikan itu telah diceritakan dan diceritakan kembali dan diceritakan kembali dalam bentuk tulisan maupun audiovisual dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda—meskipun apa yang dimaksud dengan “sukses” tergantung pada interpretasi. Alive yang dikritik Ebert adalah salah satunya.
Pada 2023, dua puluh tujuh tahun setelah Alive—film yang diangkat dari novel Alive: The Story of the Andes Survivors (1974) karya Piers Paul Read—tayang, seorang sutradara Spanyol Juan Antonio García Bayona mencoba menceritakannya kembali dengan judul “Society of the Snow”. Tapi dia tidak menjadikan buku Paul sebagai patokan, Bayona memilih mengadaptasinya dari buku Pablo Vierci tahun 2009.
Saya tidak menonton film garapan Marshall, tentu saja, tapi saya membaca ulasan-ulasannya di internet. Saya merasa perlu membacanya sebab hendak membandingkannya dengan film Bayona yang lahir di zaman di mana kemajuan teknologi dan sinematografi sudah makin canggih—di mana batas antara animasi dan live action makin tipis.
Setelah membaca beberapa ulasan film Alive, dan menuntaskan film Society of the Snow di Netflix, harus saya akui bahwa Bayona berhasil menghindari banyak kesalahan yang dibuat dalam versi sebelumnya (khususnya film Frank Marshall tahun 1993), meski mungkin kata-kata peringatan Ebert tetap benar. Ada sesuatu yang sulit dipahami dalam cerita ini, sesuatu yang luput dari ekspresi.
Saya mengatakan demikian bukan hendak memuji Bayona, sebab itu memang sudah keharusan. Sungguh sangat memalukan jika misalnya film yang belakangan lahir—di zaman teknologi CGI yang canggih pula—tidak bisa lebih bagus daripada film yang diproduksi tahun 1993. Maka wajar saja jika Society of the Snow menang dari segi apa pun dari Alive.
Society of the Snow, sebagaimana Alive, juga mengisahkan perjuangan para penyintas kecelakaan pesawat 571 di lembah Andes yang beku dalam bertahan hidup. Meski bukan film horor, kisah ini begitu mengerikan.
Pada menit-menit sebelum pesawat jatuh, kamera menyorot tajuk surat kabar yang memperingatkan pemirsa akan adanya kapal yang tenggelam di lepas pantai Montevideo. Para remaja putra—yang sebagian adalah pemain rugby amatiran—mendiskusikan betapa berbahayanya terbang melalui Andes karena daya isap yang ditimbulkan oleh angin hangat dari Argentina dan udara pegunungan yang dingin. Percakapan ini seolah adalah kutukan untuk diri sendiri. Pesawat itu benar-benar disedot oleh pegunungan es yang mengerikan. Badan pesawat terbelah menjadi dua.
Bulu saya meremang. Salju, puing-puing, dan angin berputar melalui badan pesawat yang terbuka. Deretan kursi runtuh seperti akordeon, menusuk beberapa penumpang. Soundtrack-nya adalah desiran logam yang berderak. Tapi setelah puing-puing berhenti, Bayona memotret momen pertama dalam jarak dekat yang membingungkan, saat para pemain berjuang untuk memahami apa yang baru saja terjadi dan berusaha mengetahui lokasi mereka berada.
Pesawat carteran itu membawa 40 penumbang dan 5 orang awak. Pada saat pesawat jatuh, hanya 32 orang yang selamat—terutama anggota tim rugby amatir Old Christians Club dan keluarga serta teman-teman mereka. Pilot dan awak pesawat tewas seketika. Nama-nama mereka yang tidak selamat tergores di layar lengkap dengan umur masing-masing.
Selanjutnya, sudah dapat ditebak, mereka yang selamat harus mengambil tindakan ekstrem untuk tetap hidup. Mereka berusaha bertahan hidup melalui perpaduan antara kecerdasan, daya tahan, keyakinan, dan—yang terkenal—keputusan untuk memakan mayat teman sendiri. Para penyintas yang kelaparan terpaksa melakukan kanibalisme—oh maaf, maksud saya anthropophagy.
(Roberto Canessa, seorang penyintas yang menjadi ahli jantung, anak terkemuka dan kandidat presiden Uruguay tahun 1994, mengatakan kepada National Geographic bahwa “anthropophagy” adalah kata yang lebih tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi daripada “kanibalisme”—yang berarti membunuh orang untuk konsumsi.)
Setelah mereka terkubur di bawah longsoran salju, ketika es mulai mencair, dua anggota tim rugby, dengan sisa keyakinan dan tenaga, berangkat ke barat untuk mencoba mencapai Chili. Mereka tidak memiliki peralatan dan pengalaman mendaki. Tapi keduanya berhasil mencapai peradaban, dan mampu memandu helikopter penyelamat kembali ke pesawat yang jatuh.
Setelah 72 hari menderita, mereka akhirnya diselamatkan, namun hanya 16 orang yang selamat dari kondisi sangat berbahaya itu, suhu di bawah nol derajat, longsoran salju saat badai, keputusasaan, dan kelaparan. Enam belas penumpang diangkat dalam keadaan hidup. Kisah ini menjadi berita internasional. Aspek kanibalisme segera memberikan nada sensasional dan berpotensi seram pada laporan tersebut. Banyak dari mereka yang selamat merasa malu karena melanggar tabu.
Sedikit Masalah
Film Bayona tidak membuang banyak waktu untuk membangun karakter. Di awal saya langsung bertemu dengan sekelompok pemain rugby yang bersemangat saat berangkat ke Chile untuk bertanding. Banyak dari mereka tidak pernah meninggalkan rumah.
Film ini dinarasikan oleh Numa Turcatti (Enzo Vogrincic). Dan ini menurut saya agak aneh. Numa menjadi salah satu korban yang meninggal, tapi dia menjadi narator—bahkan saat adegan ia meninggal, Numa masih berbicara dan memberitahu saya bahwa dirinya telah meninggal. Oh, Society of the Snow ternyata dinarasikan oleh seorang hantu. Numa memberikan beberapa komentar, tapi dia bukan pemeran utama.
Bayona menghadirkan kembali kecelakaan itu secara mengerikan—dinding gunung di belakang jendela pesawat seperti raksasa jahat berkulit putih—sebagaimana adanya. Sinematografi Pedro Luque sangat menakjubkan dalam arti paling klasik. Pegunungan menjulang, hamparan salju putih tak berujung dengan orang-orang kecil berjuang melewati arus, nyaris tak terlihat dengan mata telanjang.
Luque mendekati lanskap tersebut dengan rasa hormat yang tinggi terhadap kualitasnya yang tidak menyenangkan: “Manusia tidak dapat bertahan hidup di sini. Tidak ada yang bisa bertahan di sini.”
Jika film Frank Marshall sangat bersandar pada aspek kuasi-religius dalam ceritanya, sebagaimana ditertuang dalam beberapa ulasan—dengan kanibalisme sebagai versi komuni (sebuah pembenaran penting bagi para penyintas yang sebagian besar beragama Katolik)—“Society of the Snow” tidak melakukan hal tersebut.
Pendekatan Bayona jauh lebih menarik, kata Ben Kenigsberg. Beberapa hari setelah tragedi mengerikan itu, seorang pemimpin memang muncul. Dia bertanggung jawab mengosongkan pesawat, mencari makanan di dalam koper, memberi semangat, memberitahu orang-orang untuk beriman. Seorang pemimpin seperti ini diperlukan dalam fase awal kekacauan.
“Tapi ‘memiliki iman’ tidak akan bertahan seiring berjalannya waktu dalam beberapa minggu. Dia pingsan dan dua anak laki-laki lainnya—Roberto (Matías Recalt) dan Nando (Agustín Pardella)—mengambil tugas berat untuk mencoba memperbaiki radio pesawat, dan ketika gagal, mereka berangkat ke pegunungan menuju Chili—mereka berharap,” tulis Ben di The New York Times.
Ben juga menulis, mirip dengan versi lain dari cerita ini, hari-hari diberi label di layar, dan mereka yang binasa diberi tulisan di batu nisan di layar. Senang rasanya melihat nama aslinya, tapi karena kita belum pernah benar-benar bertemu mereka, itu adalah bagian dari masalah mendasar yang diungkapkan oleh Roger Ebert pada tahun 1993. Ada sesuatu dalam tragedi ini yang tidak dapat ditafsirkan atau dijelaskan.
Film ini memang dapat dilihat dan didengar dengan baik, namun tampaknya kurang efektif dalam menangkap rasa lapar, kedinginan, dan durasinya—setidaknya jika durasinya diukur dalam hari dan minggu.
Meski gambaran kecelakaan, suasana lokasi, begitu mengagumkan; riasan dan penampakan luka yang meyakinkan; meskipun setidaknya ada satu tulang rusuk dengan sisa daging yang menempel—walaupun muncul dengan malu-malu; tetap saja ada sesuatu yang luput dipikirkan Bayona, yakni beberapa pemeran yang tak memiliki kumis dan jenggot setelah terdampar selama 10 minggu. Apakah mereka sempat bercukur? Sepertinya adegan itu memang tidak tertuang dalam naskah skenario.
Tidak ada cerita yang menggambarkan keputusan para penyintas untuk memakan daging manusia sebagai tindakan yang terburu-buru atau ceroboh. Setelah pilihan dibuat, awalnya tiga pria melakukan pembantaian tanpa terlihat orang lain. Namun, ketika salju longsor menimpa kelompok tersebut, menewaskan beberapa dari mereka, tiba-tiba memakan daging tanpa nama dan wajah menjadi hal yang mustahil, kata Numa dalam sulih suara.
Bayona kemudian menunjukkan Roberto (Matías Recalt) memotong daging yang tampaknya tidak disebutkan namanya, tapi dengan bijaksana menyembunyikan apa pun yang dapat diidentifikasi tentang tubuh tersebut.
Materi film ini pada dasarnya mengerikan, mencekam, mengharukan, dan sebagian sulit ditolak, termasuk penampakan orang lain dengan kuda di seberang sungai untuk pertama kalinya yang dilihat oleh Nando Parrado (Agustín Pardella) dan Roberto setelah mereka berdua menghabiskan waktu berhari-hari mendaki jalan menuju peradaban.
Namun, Society of the Snow adalah film yang buruk untuk ditonton sebagaimana kebanyakan orang menikmatinya, termasuk saya—di Netflix, dalam kenyamanan rumah, barangkali juga dengan cemilan melimpah di dekatnya.
Kisah seperti ini menarik karena berbagai alasan. Bagi saya, daya tariknya adalah yang utama dan empati yang gugup: Akan jadi siapa saya jika diuji seperti ini? Apakah saya akan menjadi seorang yang selamat? Atau justru malah menjadi pihak yang tak berdaya disantap mereka?
Bagaimana rasanya meringkuk di dalam pesawat yang rusak selama 10 minggu dalam cuaca dingin sambil memakan daging manusia? Saya tidak bisa membayangkannya, tapi sejujurnya film ini sedikit-banyak dapat membantu saya.[T]