SIANG itu di ruang guru. Semua menunggu pukul 15.30. Matahari menghajar tanpa ampun. Semua mengeluhkan panas. Di mana-mana TPA terbakar. Pada saat-saat seperti inilah hujan begitu dirindukan. Saat panas, rindu hujan. Begitu hujan, minta panas. Memang begitulah tabiat makhluk ciptaan Tuhan bernama homo sapiens.
Nun di sudut sana, Made Merta menguap lebar, selebar tempat sampah buatan siswanya. Tempat sampah gendut berbahan bambu yang dibuat dalam rangka lomba kebersihan kelas. Made Merta tersenyum bangga menyadari betapa mandiri dan kreatifnya bocah-bocah itu. Mereka adalah pahlawan lingkungan yang berdedikasi tinggi. Calon-calon pegawai teladan di dinas lingkungan hidup dan kebersihan kota.
Sekejap kemudian, senyum penuh kebanggaan itu lenyap. Perlahan dahinya mulai berkerut. Agaknya dia mulai serius. Air wajahnya menunjukkan bahwa dia tengah berusaha menyusun-nyusun sesuatu di dalam pikiran. Beberapa kali terlihat dia memejamkan mata, mulutnya komat-kamit bak merapal mantra. Dia berkonsentrasi. Hanya saja, semakin lama malah semakin dia tampak kesal dengan sesuatu entah apa. Lalu dia menyerah. Dia sandarkan punggungnya pada kursi dan menghela napas berat seolah stres memikirkan utang negara. Dia pun termangu. Laptop di depannya ikut termangu. Tumpukan map termangu. Cicak di dinding juga termangu. Gadis penari rejang dalam lukisan juga ikut termangu. Tentu saja karena itu hanya lukisan. Tapi, konon mata gadis penari dalam lukisan itu bisa melirik kanan-kiri. Misteri!
Apa yang harus kutulis? Imajinasi, di mana kau bersembunyi, Kawan? Muncullah! Saat ini aku membutuhkanmu! Desah Made Merta dalam kebuntuan. Hari ini adalah deadline pengumpulan cerita pendek untuk buku kumpulan cerpen yang akan diterbitkan sekolah dan hingga detik ini belum satu kalimat pun tersusun. Halaman word pada laptop di depannya masih putih bersih, seputih bersih ruang tunggu bidan delima kelurahan. Pikirannya buntu, jari-jarinya kaku, ide beku.
Pembaca nan budiman tentu masih ingat Made Merta. Guru yang ditampaki sesosok siswi misterius saat pertama kali menjadi guru. Jika lupa, silakan membaca di tautan ini: https://cerpenariyana.blogspot.com/2017/05/perkenalan.html. Dalam tulisan itu, kuceritakan tokoh kita Made Merta adalah sosok laki-laki yang bangga menjadi guru. Betapa dia memang bercita-cita menjadi guru.
Sekarang pun masih begitu. Dia selalu ingin berdiri di depan menjadi teladan, panutan. Ing ngarso sung tulodo. Semboyan sang Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara itu benar-benar melekat di sanubarinya, bak nyawa lekat di badan. Kini, dia dibuat mati kutu oleh semboyan itu. Menulis secarik cerpen saja dia tidak mampu. Itu adalah kejahatan profesi! Terlebih dia mengampu bidang studi Bahasa Indonesia, bidang studi yang menjadi tulang punggung literasi. Maka ijazahnya perlu diterawang. Boleh jadi ijazah itu palsu! Sungguh tidak patut digugu dan ditiru.
Made Merta mengacak-acak rambutnya. Rambut tipis yang mulai beruban. Biarlah beruban, toh siapa yang bisa menolak tua, begitu dia menghibur diri. Lalu dia melihat sekeliling, memperhatikan ruang guru sekaligus guru-guru di dalamnya. Semua menunggu pukul 15.30 dengan segala kesibukannya. Made Merta mengobservasi. Diperhatikannya satu per satu. Barangkali ada yang bisa kujadikan bahan tulisan, pikirnya.
Di depan sana berkumpul kawan-kawannya para akademisi. Mereka adalah orang yang selalu belajar dan mencari peluang. Tipikal pemimpin masa depan. Mereka sibuk di depan laptop. Otak dan tangan tak henti bekerja. Semua demi karir dan cita-cita luhur memajukan pendidikan nasional, mencerdaskan anak bangsa. Made Merta merasa salut.
Di pojok kiri, ahh, topik pembicaraan mereka selalu tentang hobi: tentang game, musik, makanan, olahraga, dan kadang gadis tetangga. Mereka tidak suka serius. Mereka adalah tipikal orang yang menikmati hidup, optimistis, dan penuh semangat. Made Merta kagum.
Made Merta memutar leher ke belakang. Nah, ini kawan-kawannya yang penuh gairah, passionate. Mereka diberkati Tuhan dengan hormon testosteron di atas rata-rata. Mereka gemar menikmati keindahan. Lelucon mereka 17 tahun ke atas. Tak sopan rasanya jika aku ceritakan detail di sini. Selalu terselip rayuan spekulatif di setiap obrolan dengan lawan jenis. Made Merta excited.
Nun di pojok sana, adalah kelompok misterius. Mereka suka berkerumun, lalu seketika bubar jika ada yang ada yang lewat atau mendekat. Jika berbincang, mereka berbisik nyaris tak bersuara, seolah tak ingin didengar oleh korden sekalipun. Entah apa topik yang dibicarakan. Mungkin masalah langkanya gas 3 kg, atau harga beras yang lagi naik, atau perihal politik negeri yang mulai memanas setelah Gibran menjadi cawapres, atau ketidakpuasan terhadap … Ah, terlalu pinggir jurang. Made Merta tidak ingin ikut-ikutan.
Made Merta masih belum mengetik satu kalimat pun. Jarum jam terus berputar. Lalu entah bagaimana, dia teringat petuah dosen matakuliah Karya Sastra saat dia berkiprah di institut keguruan dulu: temukan ide dari membaca koran!
Tak mau buang tempo, sejurus kemudian dia sudah berdiri menggebur meja-meja, lemari-lemari, laci-laci, bawah kursi persis maling kambuhan menggeledah lemari perhiasan. Orang-orang memandangnya penuh heran.
“Cari apa, Pak?” tanya seorang kawan.
“Koran,” jawab Made Merta singkat.
“Tidak ada koran, kalau tabel kredit di BPD, ada,” ujar sang kawan penuh perhatian.
Tidak ada koran di ruang guru, Made Merta berlari terpontal-pontal ke perpustakaan. Biasanya di perpustakaan koran-koran digantung menggunakan jepitan kayu lalu mendapat posisi terhormat di dekat pintu masuk. Dia tengok kanan-kiri, tidak ada koran. Perpustakaan kosong. Dia lupa perpustakaan belum digunakan lantaran belum selesai direnovasi.
Tak hilang akal, secepat kilat dia kemudian berbalik meluncur ke ruang tata usaha. Sayangnya, di sana juga nihil. Tak ada koran selembar pun. Made Merta terengah-engah.
Ternyata, pada masa serba digital kini, koran cetak mulai langka, mulai dilupakan. Orang-orang lebih suka membaca berita di gawai. Berita penuh pop up iklan yang mengganggu. Made Merta sedih mengenang nasib tragis koran yang terancam punah macam dinasaurus yang punah di zaman cretaceous.
Menurut hematnya, koran bukan sekadar kertas berisi tulisan. Koran adalah benda yang berjasa dalam sejarah umat manusia. Koran adalah salah satu alat perjuangan kemerdekaan. Adalah Bapak Pers Indonesia, Tirto Adhi Suerjo, yang gemar melancarkan propaganda melawan penjajah Belanda melalui koran terbitannya sendiri, Medan Prijaji. Betapa koran berjasa menciptakan lapangan kerja bagi mereka yang tidak beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi dengan menjadi loper. Usaha sedot WC, cleaning AC, kursus menjahit, pemberi kerja, pencari kerja, pencari jodoh, jual rumah, jual tanah, sewa pick up, pijat refleksi, jasa pengetikan, sablon, banyak yang sukses berkat iklan baris di koran. Betapa banyak keputusan-keputusan dan kebijakan-kebijakan penting yang diambil oleh para pemimpin, para pejabat, para pemangku kepentingan setelah mereka meminum kopi.
Tahukah Kalian apa yang mereka baca setelah menyeruput kopi?
Mereka membaca koran! Tak lain dan tak bukan. Betapa banyak kebaikan dan prestasi yang diciptakan oleh koran.
Tak mendapat koran, Made Merta kembali ke ruang guru. Langkahnya gontai macam prajurit takluk kembali dari medan perang. Dia terhenyak pasrah. Dia menelungkupkan kepala di atas meja kerjanya. Meja tempat dia menyusun berupa-rupa kitab sakti mandraguna yang menjadi senjatanya membasmi jiwa-jiwa yang tuna ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan bahasa. Ada Kamus Besar Bahasa Indonesia, buku sintaksis, buku jenis-jenis kalimat, buku 1000 peribahasa, buku 1000 Tafsir Mimpi, kumpulan puisi dan cerpen, semuanya serba tebal, juga novel kesayangannya yang berjudul Ayah. Semua buku itu tersusun di atas meja dengan rapi dan penuh rasa hormat. Tak ingin dia durhaka terhadap para penulis buku-buku tersebut.
Beberapa tahun lalu, Made Merta begitu rajin menulis. Cerita-cerita terlahir begitu saja dengan mudahnya bak ada pabrik cerpen dalam otaknya. Semua kejadian yang dicerap indra mudah saja digubahnya menjadi prosa. Apalagi jika pengalaman pribadi. Setiap diksi yang tersaji mampu mengiaskan emosi yang diinterpretasi sebagai ironi, tragedi, hingga komedi dalam suatu kisah fiksi. Kini, idenya kering sekering Gurun Gobi. Tinta-tinta penanya kandas. Oh, Made Merta yang kurang akal. Dia tidak sadar bahwa kreativitasnya dibunuh oleh situasi yang oleh Fourtwnty disebut zona nyaman.
Ada di zona nyaman membuat Made Merta tidak memiliki keresahan. Bukankah cerpen-cerpen itu lahir dari keresahan? Perasaan resah membuat manusia berpikir kritis, bersuara lantang, dan bertindak lugas. Perasaan resah membuat manusia memberontak, menuntut, dan berjuang, berjibaku jumpalitan. Kini keresahan hilang dibungkam belaian kenyamanan. Zona nyaman membuat Made Merta tak lagi memupuk cita-cita dan ambisi. Zona nyaman juga membuat dia kehilangan rasa, empati, dan simpati. Dia menjadi tidak acuh dan egois, tak lagi bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ternyata begitu berbahaya akibat terjebak di zona nyaman.
Begitulah akhirnya matahari sudah condong ke barat, namun pijarnya masih membara. Cemara udang di taman sekolah terkantuk-kantuk kesepian menunggu angin pesisir yang tak kunjung menghampiri. Tupai-tupai berlompatan di antara dahan pohon mangga, rakus memilih mangga yang matang. Tiba-tiba jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Semua beranjak tergesa-gesa untuk pulang bak PKL diusir satpol PP. Made Merta yang ketiduran terkesiap bangun mendengar kegaduhan akibat kursi-kursi yang digeser terantuk meja dan omelan mereka yang absen online-nya tersendat.
Bu Koordinator pengumpul naskah menghampirinya. “Pak Made, cerpennya langsung kirim ke WA saya, ya,” ucapnya dengan nada ketus sebab hanya Made Merta seorang yang belum mengumpul. Made Merta tak ubahnya penghambat pekerjaan.
Made Merta mengerjap-ngerjapkan matanya yang belum terang sepenuhnya. Dilihatnya halaman word di layar laptop masih bersih.
“Belum selesai. Minta toleransi lagi dua hari ya, Bu. Lagi dua hari pasti jadi,” ucap Made Merta sembari nyengir. Lalu dia terbayang bagaimana dia sering membentak siswa-siswanya yang suka terlambat mengumpul tugas menulis teks. Dia merasa dirinya mengecil lalu hilang menguap karena panas. [T]
BACAcerpen-cerpen tatkala.coyang lain