MALAM hari aku gelisah dalam tidurku, mataku tak bisa dipejamkan karena selalu mengingat tentang kejadian yang sudah aku alami.
Baru lima bulan aku bersamanya semua yang aku punya sudah dia dapatkan. Aku sudah pernah diajak kencan. Tubuhku sudah disentuh oleh lelaki yang sangat aku cintai dan aku sayangi. Aku dalam keadaan sadar menyukai lelaki yang sudah mempunyai pasangan, istri yang sangat dia cintai. Aku tetap saja melakukan hubungan dengannya karena aku merasa nyaman, dan diapun memberikan rasa ternyaman untukku.
Lima bulan berjalan istrinya mengetahui bahwa suaminya sering kencan denganku. Semua isi pesan kami ditemukan oleh istrinya. Akhirnya aku dijebak sama istri lelaki yang aku ajak kencan itu. Aku ditelpon dan aku mengira dia yang menghubungiku. Ternyata bukan. Suara yang kudengar bukan suara dia melainkan suara perempuan yang sangat menggelegar bagaikan petir yang menyambar telingaku.
Aku terdiam tak bisa berkata-kata, caci makian yang kudengar sangat menyiksa hatiku, tak sadar aku menangis mendengar perkataan yang sangat pedas dari mulutnya. Aku hanya bisa berucap maaf. Hanya ucapan maaf sebab aku tahu diriku salah.
Sebelum menutup teleponnya wanita ini mengancamku. “Kalau ketemu lagi suamiku aku takkan segan-segan mencari kamu dan melaporkan ke bos tempat kamu bekerja agar kamu dipecat!” Lalu dia mematikan HP-nya. Hanya terdengar suara tut… tut… tut.
Setelah kejadian ini aku tak pernah menghubunginya lagi dan dia pun tak pernah memberiku kabar lagi. Bagaimana akan kelanjutannya? Aku tidak tahu. Seolah-olah dia menghilang dari diriku bagaikan ditelan bumi. Air mataku terus menetes, tak terasa aku menangis terisak begitu sakitnya hati ini.
Ketika pandanganku berbalik arah melihat ke dinding, jam menunjukan pukul 12.00 aku menggumam, “Oh ternyata hari sudah larut malam!” Aku memejamkan mata dan tertidur pulas.
***
Pagi pun telah datang. Pancaran sinar pagi sangat indah, embun pagi terlihat pada rumput yang hijau pandanganku terpancar ke arah timur rumahku. Sambil memandang sinar pagi dengan mataku yang terasa agak perih, dan sedikit membengkak bekas tangisan di malam hari.
Aku menjemur tubuhku mencari vitamin D agar tulang tidak cepat kerepos. Aku tersenyum manis memandangi diriku. ” Betapa indahnya tubuhku ini!” Tak terasa bibirku menggumam lalu aku tertawa sendiri, “Ah aku sudah gila heheehehehehe!”
Sambil tertawa aku mengambil handuk berjalan menuju kamar mandi. Aku mau membersihkan tubuhku. Seperti biasa aku mandi sambil bernyanyi menghibur diriku. Selesai mandi aku bersolek dan tak lupa sembahyang lalu berangkat kerja. Begitu mau berangkat, terdengar suara HP berdering. Seorang laki-laki meneleponku.
“Hai apa kabar dirimu?”
“Baik, dan dirimu bagaimana?” tanyaku.
“Aku juga baik, sudah berangkatkah?”
“Akan berangkat sekarang!”
“Hati-hati ya!”
“Oke!”
Lalu telepon dimatikan dan akupun berangkat kerja.
Sesampainya aku di tempat kerja, lelaki ini lagi nge-chat menanyakan tentang diriku padahal aku belum kenal dekat dengan lelaki ini, hanya kenal lewat chatingan melalui sosial media, setelah aku berpisah dari lelaki yang pertama aku kenal. Kami biasa saling balas chatan, obrolanku dan dia selalu nyambung. Dia juga mengaku sudah punya istri. Apa boleh dikata dia yang membuka percakapan lebih dulu dan aku hanya mengikuti alurnya saja.
Sebulan sudah berlalu aku merasa takut. Takut terulang kejadian yang sudah pernah terjadi. Menurutku lelaki ini lebih sigap dari lelaki yang pertama aku ajak. Jika dia menghubungiku selalu di jam kerja. Saat di rumah dia seolah-olah memberi tanda bahwa kita tidak bisa saling komunikasi “Siaga satu”. Itu yang selalu dikirim. Aku paham dan mengerti maksud dari chatannya bahwa dia bersama istrinya.
Hari ini pertama kalinya dia mengajak aku ketemu untuk makan. Aku menanggapinya. Sepulang dari kerja kami bersepakat akan bertemu dan makan di suatu tempat yang menurut kami aman dan nyaman. Sesampainya di tempat makan kami merasa malu-malu karena baru pertama kali bertemu.
“Mau pesan apa?” tanya dia.
“Mau pesan nasi goreng saja!” sahutku.
“Oh, minumnya?”
“Air mineral saja!”
Dia menyodorkan pesanannya kepada pelayan di tempat makan. Tak lama kemudian makananpun datang, kami makan sambil berbincang-bincang ke sana kemari yang tak tahu ujung pangkalnya sehingga kami berdua saling tersenyum dan tertawa karena merasa ada keakraban.
Selesai makan dia membayar ke kasir lalu mengatakan, “Ayo kita pulang sudah sore karena ini sudah jam pulang kantor nanti istriku menelepon!”
“Baiklah hati-hati ya!” jawabku
“Baik kamu juga hati-hati sampai ketemu lagi di tempat yang lain,” jawabnya.
Aku hanya tersenyum dengan manjanya. Tak kuduga dia mencium keningku lalu kita pulang ke rumah masing-masing. Sesampai aku di rumah bibirku masih tetap tersenyum karena teringat kejadian di tempat makan tadi, mungkinkah akan ada kerinduan atau akan terjadi hal yang buruk?
Sejujurnya aku ingin ngechat dia menanyakan hal ini. Aku ingat dengan perkataannya bahwa setiap di rumahnya aku tidak boleh ngechat lebih dulu takut istrinya tahu. Aku mengurungkan niatku. “Ah,,,, biarkan saja dulu, nanti aku tanya kalau sudah dihubungi!”
Keesokan harinya dia seperti biasa menghubungi aku dengan berbagai pertanyaan. Sempat aku bertanya tentang yang aku pikirkan kemarin dan dia menjawab “Akan selalu ada kerinduan semoga kita selalu langgeng!” Di situ aku merasa yakin akan ada kenyamanan.
***
Pada akhirnya kami berteman dekat sudah berjalan cukup lama hampir satu tahun. Aku merasa ada kenyamanan, kadang ada perselisihan karena perbedaan pendapat begitu juga dengan dia. Rasa kesepianku ada yang menghibur, aku bisa melupakan kenanganku yang dulu sama pria yang sudah tidak ada kabarnya lagi yang pernah menyentuh tubuhku. Namun aku belum bisa melupakan bayangan wajahnya setiap kali teringat aku masih sedih karena begitu indah yang pernah dia berikan pada diriku.
Khayalanku dibuyarkan dengan suara HP yang berdering di samping bantal tidurku. Tanganku mengambil HP lalu mengangkat dan berbicara seperti biasa curhat tentang diri kita berdua. Di akhir percakapan dia mengatakan,
“Besok hari libur bisakah kita bertemu?”
“Mau kemana?” tanyaku
“Aku mau mengajak kamu jalan-jalan!”
“Baiklah! Jam berapa?”
“Kita ketemu sekitaran pukul sepuluh pagi”
“Woooo,,,,, kenapa pagi-pagi?”
“Aku mau mengajakmu ketempat yang istimewa”
“Ke mana?”
“Yaaaa,,,, Lihat besok”
Begitu percakapan kami akhiri. Lalu dia mengatakan sampai ketemu dan selamat tidur kemudian HP dimatikan, percakapanpun selesai, aku mengambil selimut lalu tertidur.
Seperti biasa kegiatan di pagi hari sebelum mandi melakukan ritual berjemur mencari vitamin D untuk kesehatan diriku. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 09.30, aku sudah siap akan berangkat. HP-ku juga sudah berbunyi, dia meneleponku.
Dalam perjalanan menuju lokasi dia terus menelepon menanyakan diriku apa sudah sampai atau belum untuk memastikan keadaanku, sesampainya di tempat yang biasa aku bertemu lalu kami berdua menuju sebuah tempat yang sudah direncanakannya.
Sampai di tempat tujuan aku kaget. “Waoooo” tempatnya begitu sejuk nan indah aku merasa gembira sekali. Aku tersenyum bingar bagaikan kupu-kupu terbang liar tanpa ada tawon yang ikut merebut sari bunga yang sedang mekar. Lalu kami berdua masuk sebuah kamar kecil yang bersih, begitu juga enak dipandang mata. Tempatnya sangat cocok untuk memadu kasih apalagi sedang hangat-hangatnya.
Pandangan matanya sangat romantis penuh kharisma, belum pernah aku melihat pandangan seorang lelaki seperti ini. Aku tahu dalam keadaan seperti ini aku salah lagi-lagi aku membuat kesalahan yang sama seperti yang kujalani dulu, aku mengkhianati istri orang. Biarpun dosa ini kubayar berkali-kali dengan kebaikan aku akan tetap punya dosa. Aku sudah terlanjur menyukainya. Apa boleh buat aku tak bisa menahan hawa nafsuku, aku terhanyut ke dalam pelukannya.
Suasana yang sangat hening dan dingin hanya terdengar bisikan kami berdua. Kabut pun sudah turun dingin mencekam tubuhku. Aku medekatkan tubuh ini kepadanya. Kabut tebal datang kepada kami begitu erat dia memelukku, seolah kami terbungkus berdua seperti anak kupu-kupu di dalam daun.
Tak terasa kain yang membalut tubuhku satu persatu lepas dari tubuh ini dan terjatuh aku merasakan dingin kabut yang begitu dalam, tubuhku semakin nenggigil dan merapat, kabut putih menutupi kami, tak sadarkan kami berguling-guling dalam kabut. bibirku berisik pada telinganya sambil mendesah, “Aku sangat menyukai permainan ini!”
Dia semakin merapat semakin erat mengulum bibirku.
Lalu dia menjawab dengan bisikan. “Aku juga merasakan permainan kabut yang hebat!”
Aku tak menjawab, hanya mendesah. Lalu dia mengulas dengan lincahnya, aku memang benar-benar bagaikan ulat kabut tak bisa berkata, hanya desahan dalan kenikmatan.
“Adakah yang akan menggantikan diriku?” bisiknya.
Aku menggeliat. “Takan ada lagi yang menggantikannya, Sayang!” bisikku.
Tak terasa kami sudah berada di atas puncak kenikmatan yang begitu sempurna bagaikan kabut terhempas pelagi, begitu sempurnanya. Keringat pun mulai mengucur membasahi tubuh kami, dan disadarkan dengan panasnya hawa badan ini, lalu kami tertawa dengan kerasnya bagaikan suara ombak dihempas angin yang sangat kencang sehingga kabutpun hilang.
Aku bertanya. “Apa yang sudah terjadi?”
“Akupun tak tahu,” jawabnya. ”Yang pasti kudengar dari bisikan bibirmu di telingaku!”
Aku hanya tersenyum menatap matanya lalu dia mencium keningku dan mengelus rambutku yang hitam.
***
Ketukan pintu membuat kami berdua kaget. Pikirku apa yang akan terjadi? Apakah istrinya yang datang? Aku menjadi panik bingung mau sembunyi di mana? Dengan tenangnya dia berkata, “Ambil pakaiannya, pakailah bajumu, jangan panik aku akan membuka pintu ini!”
Seseorang terus menggedor pintu kamarku, lagi-lagi pikiranku kacau aku akan dicaci maki sekarang sama istrinya. Aku membayangkan aku akan diinjak-injak, rambutku akan diobrak abrik, seperti menyapu lantai yang sangat kotor banyak debu juga kotoran binatang, badanku gemetar keringat badanku bercucuran bukan keringat kesenangan namun keringat akan penuh caci maki. Masih sempat bibirku berucap menyebut nama Tuhan. “Tuhan tolong hambamu ini yang penuh dengan kesalahan!”
Pintu sudah terbuka, lelakiku menyapanya. “Ya kenapa, Bu?”
Ibu yang mengetuk pintu menjawab mengingatkan bahwa waktu berkunjung sudah hampir dua jam seperti yang sudah diboking tadinya memang hanya dua jam.
“Oh kami kira ada apa. Baik kami sudah ingat. Terimakasih sudah mengingatkannya lagi kami akan bersiap-siap untuk check out sekarang. Apakah makanannya sudah disiapkan?”
Kata pelayan villa. “Oh, sudah, Pak. Silakan datang di meja No 4,” katanya.
“Baik terimakasih!”
“Ah, aku bernapas lega ternyata yang mengetuk pintu itu bukan istrinya melainkan pelayan villa yang mengingatkan bahwa waktu berkunjung sudah mau habis.
“Ayo kita check out dari sini, kita makan lalu kita pulang,” kata dia.
“Baiklah, ayo kita jalan!”
Kami menuju ke restoran untuk makan. Selesai makan kami pun pulang.
***
Beberapa hari kemudian, HP-ku bunyi. Ketika kuangkat, seorang perempuan menyapaku.
“Mbak!”
“Ya, saya!”
“Mbak ada main dengan suami saya? Jangan berkelit. Saya tahu, Mbak masuk di sebuah villa, dan mereguk kenikmatan bersama suami saya!”
Aku tak bisa menjawab, apalagi membantahnya. Aku sudah siap-siap menerima makian dan kemarahan dari perempuan itu, tapi ternyata perempuan itu menangis.
“Mbak, maaf. Saya tak bisa mencegah suami saya untuk tidak bermain-main bersama perempuan lain. Saya sudah pasrah, biar kami saja yang terkena virus dan penyakit terkutuk itu, dan tak ada lagi perempuan lain yang jadi korban!”
“Jadi…?”
“Ya, kami terkena viru dan penyakit yang paling terkutuk itu! Semoga Mbak tidak kena!”
Perempuan itu menutup percakapan. Dan, aku tiba-tiba lemas. [T]
Cerpen ini adalah hasil workshop Cipta Sastra dalam acara Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang diselenggarakan Komunitas Mahima, Selasa 28 November 2023, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali.
BACAcerpen-cerpen tatkala.coyang lain