SEPERTI tipikal film atau sinetron kita pada umumnya, sisi penceritaan (naratif) adalah aspek terlemah dari segala hal. Banyak cerita film yang rasanya janggal dan tak bisa diterima akal sehat. Padahal, naratif adalah—sebagaimana ditulis Himawan Pratista dalam Memahami Film (2017)—suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu.
Sebuah kejadian, tulis Pratista, tidak bisa terjadi begitu saja tanpa ada alasan yag jelas. Segala hal yang terjadi pasti disebabkan oleh sesuatu dan terikat satu sama lain oleh hukum kausalitas. Dalam sebuah film cerita, setiap kejadian pasti disebabkan oleh kejadian sebelumnya.
Namun, pada kenyataannya, masih banyak sutradara film di Indonesia yang cuek atau mengabaikan nalar dan logika tersebut, tak terkecuali film pendek berjudul Made (2022) garapan Agus Primarta, salah satu filmmaker Buleleng yang masuk dalam kategori produktif dalam menghasilkan film pendek.
Made diputar dalam acara Pemutaran dan Diskusi Film bertajuk Prim Art Edition yang diselenggarakan Komunitas Singaraja Menonton di Kedai Kopi Dekakiang, Singaraja, Jumat malam, 19 Januari 2024. Malam itu diputar karya-karya sutradaraAgus Primarta, selain Made, juga film Tirta, Sesal (2021); Nyambutin (2021); dan Seni di Tengah Pandemi (2021)
Made memuat kisah yang sebenarnya sudah banyak dieksplor—untuk tidak mengatakan klise—oleh pelaku film di Tanah Air: kemiskinan. Cerita digerakkan oleh seorang anak bernama Made yang meminta ibunya supaya dibelikan smartphone. Ibu Made hanya seorang penjual canang—sepertinya ia janda sebab dari awal sampai akhir film tak tampak sosok lelaki paruh baya di rumahnya.
Singkat cerita, seperti yang sudah kita duga, Made tak mendapatkan apa yang ia minta. Sebagai penjual canang, ibunya mengaku tak punya cukup uang untuk membeli benda ajaib dan melenakan itu. Jangankan membeli smartphone, sekadar sekilo beras saja rasanya berat untuk didapat—sebuah gambaran kemiskinan yang berulang-ulang.
Untuk meyakinkan penonton bahwa mereka benar-benar keluarga miskin, sang sutradara menampilkan adegan-adegan berikut: 1) Made membuat mobil mainan dari botol minuman bekas dengan roda potongan karet sendal; 2) Made melihat semua temannya memiliki smartphone; 3) Ibu Made tak mendapati beras di dalam gentong yang terbuat dari tanah; dan 3) Made yang hanya makan nasi jagung setengah centong. Saya pikir, di zaman seperti sekarang ini, gambaran tersebut terlalu berlebihan.
Sampai di sini, di mana letak sutradara mengabaikan nalar-logika dalam konteks menghadirkan realitas cerita? Letaknya ada dalam karakter bernama Made. Gambaran Made dalam film ini bagi saya agak mengada-ada, jauh dari realitas latar-tempat cerita: Bali.
Dalam film ini Made digambarkan sebagai sosok anak kecil yang kreatif, ceria, dan memiliki kebijaksanaan layaknya orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Pada saat ibunya mengatakan tak dapat memenuhi keinginannya, alih-alih menangis sambil marah-marah layaknya anak kecil pada umumnya, Made memilih bergumam: “Pokoknya Made mau hp!”, lalu berlari keluar sembari menjambret karung.
Untuk apa? Untuk wadah botol bekas yang ia pungkut di pinggir jalan, di tempat sampah, dan di mana-mana. Selama saya tinggal di Bali, setidaknya di sekitar tempat tinggal atau tempat yang biasa saya kunjungi, nyaris tidak pernah mendapati anak seumuran Made menjadi pemulung. Ini yang saya sebut “jauh dari realitas latar-tempat cerita”.
Lantas, darimana insprirasi atau referensi sang sutradara dalam menghadirkan gambaran tersebut? Dugaan saya, itu didapat dari sinetron atau kebanyakan film yang berlatar kehidupan Jakarta atau kota besar lainnya.
Tak sampai di situ, pada akhir cerita, setelah memecah celengan kendinya dan ditambah uang hasil penjualan botol yang ia kumpulkan, alih-alih membelikan apa yang ia inginkan, yaitu smartphone, Made memilih pulang dengan sekarung beras di gendongannya. Bertelanjang kaki ia melangkah di trotoar dengan senyum penuh kebanggaan.
Bayangkan, bukankah Made adalah anak impian para orang tua? Tapi apakah di dunia realitas ada anak yang memiliki karakter seperti Made? Mungkin saja ada, meski jumlahnya tak lebih banyak dari jari tangan manusia: langka.
Apa yang menggerakkan Made memilih membeli beras? Apakah cukup hanya sekadar pengetahuan bahwa di rumahnya tak ada beras? Jika iya, apakah benar anak kecil seumuran Made sudah memiliki kesadaran akan skala prioritas, bahwa beras lebih penting daripada smartphone?
Atau barangkali, anak ingusan ini memilih membeli beras bukan karena kesadaran atau kebijaksanaan, tapi mengetahui kenyataan bahwa uang yang dibawanya tak cukup banyak untuk menebus seketeng smartphone yang murah sekali pun. Mungkin saja.
Dalam Made, menurut saya, sutradara terlalu memaksa cerita supaya plotnya berjalan seperti yang dikehendakinya sampai ia lupa untuk mempertimbangkan nalar dan logika. Sebab, dalam bayangan saya, Made adalah anak kecil pada umumnya, yang abai dan terlalu rumit untuk terlibat dalam persoalan orang dewasa.
Gambaran Made dalam film Made tentu jauh berbeda dengan sosok anak kecil bernama Boni dalam film Boni (2023) karya Amrita Dharma dan Gedi Nadi. Dalam film tersebut, tak tampak ego sutradara untuk menciptakan gambaran anak kecil yang cerdas, kritis, penuh ilmu pengetahuan, banyak menyampaikan pesan moral kepada orang yang lebih tua, atau menggugat banyak hal.
Dalam kisahnya, Boni tetap anak kecil yang polos, lugu, dan penuh imajinasi, seperti ditampilkan di akhir film, dengan polos Boni menebar buah boni di pematang sawah dan berkata, “Jadi boni! Jadi boni!” sambil mengibas-ngibaskan ranting pohon seolah itu tongkat sihir Tinkerbell yang mungkin pernah ia tonton. Itulah anak kecil—dan saya menyukainya.
Tetapi Made merupakan film konvensional. Yang harus memiliki pesan moral, petuah bijak, dan nilai-nilai luhur lainnya. Tampaknya, sejauh ini, Agus Primarta memang masih senang bermain-main di ranah konvensional. Lihatlah, tak hanya Made, tapi juga Sesal (2021); Nyambutin (2021); dan Seni di Tengah Pandemi (2021). Pesan moral bertebaran di sana.
Namun, terlepas dari itu semua, Bli Gus sebenarnya adalah filmmaker potensial di Buleleng—bahkan Bali. Sebagai seorang sutradara yang berangkat dari hobi, bukan dari institusi film, dari segi ide cerita dia sudah lumayan. Sedangkan dari sisi sinematografi, karya-karya yang telah ia produksi cukup rapi jika dibandingkan dengan karya filmmaker pemula lainnya. Hanya saja, sebagaimana telah disampaikan beberapa penonton di deKakiang semalam, ke depan, Bli Gus harus mulai mengeksplorasi cerita dengan model lain selain yang sudah konvensional.
Akhirnya, film Made bisa sangat bagus kalau saja Bli Gus, sebagai sutradara, tidak terburu-buru dalam mengeksekusinya. Maksudnya, naskah skenario harus dituntaskan dulu di atas meja. Skenario perlu pengendapan, perlu direnungkan, perlu didiskusikan. Saya yakin, seandainya saja naskah itu dibedah terlebih dahulu bersama orang yang tepat sebelum dieksekusi, Made akan menjadi film pendek yang padat-berisi.
Bagaimanapun, film bukan produk yang penting jadi, tapi proses penggalian, eksperimen, percobaan, penciptaan yang terus-menerus yang dilakukan seorang sutradara, hingga menghasilkan sebuah karya yang bisa dikatakan sebagai “masterpiece”. Bukan begitu, Bli Gus?[T]
- BACA artikel ULAS FILM lain tatkala.co