PERTENGAHAN tahun 1990-an saya mulai menulis sajak dan cerita pendek berbahasa Bali. Sebagai buah karma saya menulis karya sastra berbahasa Bali, tahun 1999 saya mendapatkan ganjaran Hadiah Sastera Rancagé atas Lekad Tumpek Wayang, buku kumpulan cerita pendek dan sajak berbahasa Bali. IDK Raka Kusuma, mendiang, menjadi biang menjerumuskan saya menulis karya sastra berbahasa Bali. Mendiang juga yang mulanya bersemangat membawa saya menulis karya sastra berbahasa Indonesia mendekati tahun 1990-an.
Saya mengakui bahwa Lekad Tumpek Wayang bukanlah karya dengan ciri khas bahasa Bali yang saya tuturkan, bahasa yang ditransfer oleh ayah dan lingkungan pergaulan ayah saya. Muncul kesangsian saya ketika itu. Maklumlah, saya penulis yang sing nawang langkah-langkahan, belum kenal wilayah di luar tempat tinggal. Pergaulan berkutat sebatas tempat tinggal. Jika saya menulis dengan ciri lokal Karangasem saya, jangan-jangan pembaca tidak menangkap makna kata yang saya tulis. Saya kurang percaya diri meski Nyoman Tusthi Eddy, mendiang, berpendapat bahasa Bali saya tidak terpengaruh bahasa Indonesia. Sebuah jerat yang setia menganga untuk saya.
Pada akhirnya Lekad Tumpek Wayang saya bumbui kosakata yang saya tangkap dari luar diri saya. Kosakata sadin (biasanya saya menuturkan gugu atau gega), misalnya, saya dapatkan dari pergaulan selama tiga bulan saya dengan teman yang berasal dari wilayah Jembrana. Sesekali saya mencuri dengar kosakata IDK Raka Kusuma yang berasal dari Getakan, Klungkung. Saya ambil juga kosakata penulis yang berasal dari Denpasar. Saya pungut juga tutur kata teman ayah dari Geriyana Kauh, Selat, Karangasem.
Setiap terbuka peluang untuk saya, selalu siap saya memungut kata. Hanya saja tidak selalu saya tulis kata yang saya pungut. Saya belum menulis kosakata yang saya dapatkan dari Seraya, Karangasem, seperti kénto (begitu) atau tang kija (hendak ke mana). Saya tulis kata yang saya rasa sudah nyarira.
Sejak tahun 2018 saya bersemangat kembali menulis cerita pendek berbahasa Bali. Saya sangat bersemangat mencatatkan kosakata dari dua wilayah yang sangat dekat dengan hati saya, Basangalas dan Susuan, pada cerita pendek saya. Sengaja memang saya membatasi diri menulis sajak berbahasa Bali. Saya tidak mendapatkan ruang bertele-tele dalam sajak.
Baik, saya kenalkan. Basangalas terletak di kaki bukit Lempuyang, Abang. Susuan terletak di pinggir kota Karangasem. Basangalas adalah asal ayah dan ibu saya, Susuan adalah tempat lahir saya, tempat saya dibesarkan, dan tempat tinggal saya. Memang ada perbedaan makna kosakata yang dituturkan di Basangalas dan di Susuan. Kosakata mel, misalnya.
Di Susuan mel itu sawah. Jika ayah saya mengatakan akan kamel maka ayah saya akan ke sawah. Sedikit berbeda jika paman saya di Basangalas mengatakan akan kamel maka paman saya hendak menuju tempat tinggalnya. Di Basangalas mel adalah ladang dengan hunian tempat tinggal orang berumah tangga yang lengkap terdiri dari bangunan tempat memasak, bangunan tempat tinggal, dan bangunan tempat pemujaan.
Saya mendapatkan kosakata tiya (baca seperti dialog pemeran orang Madura yang terkenal di layar televisi dulu itu: taiye) di Susuan dan di Basangalas, dituturkan ketika belum yakin dengan informasi yang disampaikannya. Biasa saya dengar nyén tiya, kija tiya, apa tiya, dija tiya, atau ngujang tiya.
Kosakata tiya semakna dengan kapa seperti nyén kapa, kija kapa, apa kapa, dija kapa, atau ngujang kapa. Kosakata tiya semakna juga dengan kadén seperti nyén kadén, kija kadén, apa kadén, dija kadén, atau ngujang kadén. Semakna juga kosakata tiya dengan jenenga, maka nyén jenenga, kija jenenga, apa jenenga, dija jenenga, atau ngujang jenenga. Tiya, kapa, kadén, dan jengenga sangat dekat dengan makna entah, entah siapa, entah ke mana, entah di mana, juga entah mengapa.
Saya menduga tiya itu berasal dari kata ta iya: ta adalah entah, iya adalah ia, dia, atau itu, maka nyén tiya (entah siapa dia), kija tiya (entah ke mana dia), apa tiya (entah apa itu), dija tiya (entah di mana dia), dan ngujang tiya (entah mengapa dia).
Selain berusaha menulis sajak dan cerita pendek dengan perbendaharaan bahasa Bali yang saya miliki, sesekali saya menampilkan perbendaharaan kosakata bahasa Bali saya pada akun media sosial saya. Mempunyai teman dengan beragam latar di media sosial, saya berusaha menanggapi mereka, entah serius, entah bercanda, entah juga nyampahin dan nyampahang. Sesuatu yang tidak bisa dihindari ketika orang bertemu layar beku, tidak bertemu klisat orang.
Ini tidak terlepas dari raos ngémpélin yang kerap digunakan untuk menjebak atau bahkan majengahin. Dengan ruang seperti itu, ada yang memilih tampil dengan ciri penganut aliran Pan Balang Tamak versi kiri atau aliran Pan Bongkling versi kiri, yang diingat cuma versi kurang dan negatifnya. Tentu tidak sedikit juga yang bersikap Pan Balang Tamak versi kanan dan Pan Bongkling versi kanan. Rwa bhinnéda tidak terpisahkan, memang. Anggap daripada tidak mendapatkan tanggapan.
Yang belum saya pahami, setiap perbendaharaan kata saya yang belum menjadi perbendaharaan kata pembaca, kerap dianggap dialek daerah saya, bahkan dianggap idiolek saya, belum diterima untuk memperkaya perbendaharaan kata pembaca. Kamus daring yang ada dan yang paling mudah diakses memang belum menampilkan kosakata yang saya tampilkan dalam tulisan saya. Menjadi-jadilah derita dialek dan idiolek saya.
Kamus mungkin tidak pernah akan menjadi sempurna karena penutur bahasa selalu kreatif dan tanpa henti melakukan terobosan berbahasa. Saya mencatat pada draft email saya tanggal 29 April 2022 kosakata terhenyak belum tercantum dalam KBBI V versi daring, akan tetapi sudah muncul dalam KBBI VI versi daring.
Di antara kosakata yang dianggap dialek bahkan idiolek saya oleh pembaca tulisan saya seperti lempuraan atau mapasah. Lempuraan adalah derita akibat dalam kurun waktu yang boleh dikatakan lama tidak mengirimkan makanan ke alat pencernaan sehingga alat pencernaan menjadi kosong, dan terjadilah kelaparan, lempuraan itu. Lalu mapasah itu nénten matedung, akibat mapasah maka derita yang ditanggung adalah diguyur hujan dan diterpa sinar matahari.
Saya sangat tidak berharap dialek atau idiolek tidak dialamatkan kepada saya jika ada yang terbiasa dengan cingak tiyang atau pireng tiyang, sementara saya terbiasa dengan ton tityang, tonin tityang, dingeh tiyang, atau piragin tityang. Jika terjadi juga, ya sudahlah.
Apa pun kendala yang ada, saya terus berusaha menampilkan kosakata bahasa Bali yang menghuni kepala saya, meski saya sempat mendapat teguran di tiktok akibat saya menampilkan komentar buwung. Saya tidak memilih buwung, tidak memilih buwung payu, tidak juga payu buwung, maka saya tidak mamuwung. Saya memilih payu, maka saya mamayu untuk bahasa Bali. [T]
- BACA artikel lain dari penulis KOMANG BERATA