KURIKULUM MERDEKA yang diberlakukan mulai Tahun Pelajaran 2022/2023, sebelumnya disebut Kurikulum Paradigma Baru atau Kurikulum Prototife berlaku mulai Tahun Pelajaran 2021/2022.
Hal ini mengingatkan kita pada sejarah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, 2004) yang berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006). Sejak itu, setiap kali pergantian Kurikulum selalu diberlakukan secara berjenjang dimulai dari Kelas 10 bagi SMA/SMK.
Konsekuensinya, sejak Kurikulum baru diberlakukan sekolah memiliki dua dokumen Kurikulum yang berbeda dan berlangsung selama 3 tahun bagi SMA/SMK. Hal demikian juga berlaku bagi Kurikulum 2013.
Berubah-ubahnya Kurikulum seiring dengan pergantian menteri pendidikan yang nomenklaturnya pun berubah-ubah dalam satu dasa warsa terakhir, seperti Kemendiknas, Kemendikbud, Kemendikbud Ristek. Fakta ini menguatkan adagium ganti menteri ganti Kurikulum seiring dengan arah kebijakan politik.
Jika ditelisik lebih dalam setiap pergantian Kurikulum di Indonesia, pemikiran Ki Hadjar Dewantara selalu menjadi rujukan lebih-lebih Kurikulum Merdeka secara eksplisit berkiblat ke Perguruan Taman Siswa.
Hal ini menjadi menarik paling tidak untuk 3 hal. Pertama, tumbuhnya kesadaran sejarah pemikiran pendidikan setelah seabad berdirinya Perguruan Tamansiswa di Yogyakarta, 3 Juli 1922. Perguruan inilah yang benar-benar mengartikulasikan kebangkitan nasional melalui lembaga pendidikan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan yang diperjuangkan adalah kemerdekaan lahir batin anak bangsa. Inspirasi itu hendak dihidupkan kembali dalam Kurikulum Merdeka yang pilotingnya diprioritaskan di Program Sekolah Penggerak (PSP).
Dalam konteks ini, kebebasan yang dijanjikan adalah kebebasan bertanggungjawab di tengah keberagaman anak negeri dalam kerangka NKRI, dengan penguatan Profil Pelajar Pancasila.
Kedua, penyebutan lembaga pendidikan sebagai Perguruan Tamansiswa mencitrakan gagasan mendekatkan anak pada alam. Guru tak ubahnya penjaga taman yang memberikan kemerdekaan pada anak untuk bermain menikmati indahnya taman ilmu pengetahuan dengan rekreatif-edukatif.
Guru menghamba kepada sang anak, sesuai dengan kodratnya menurut kodrat alam dan kodrat zamannya. Di sini, guru mengajak anak agar belajar menyenangkan, menenangkan, membahagiakan sampai kasmaran belajar (meminjam istilah Pranoto).
Menyelam dalam keindahan laut ilmu pengetahuan nanindah permai hingga klangon. “Tong ngelah karang sawah, karang awake tandurin’’ (bercocok tanam di dalam diri, ketika sawah sudah tiada), seperti dipesankan Ida Pedanda Made Sidemen.
Ketiga, penyebutan Perguruan Tamansiswa juga mencerminkan anekapuspa budaya Nusantara di tengah pergaulan bangsa-bangsa yang di dalam Profil Pelajar Pancasila disebut sebagai berkebhinekaan global.
Arah ini telah diantisipasi oleh Ki Hadjar Dewantara melalui teori Trikonnya: Konsentris, Kontinuitas, dan Konvergensi—yang diperkuat oleh Bung Karno dalam mantra Trisaktinya, khusunya di bidang pendidikan, berkepribadian dalam kebudayaan.
Dengan alasan itu, kembali ke Tamansiswa diniatkan untuk menyediakan taman belajar di hati siswa untuk menumbuhkan kesadaran belajar. Pada hakikatnya, pendidikan adalah usaha sadar untuk memanusiakan manusia, yang bergerak dari kesadaran terendah sampai kesadaran tertinggi, hingga sampai pada puncak tertinggi pengalaman belajar, mengagungkan kebesaran-Nya. Menjadi manusia Pancasila sejati.
Tepat sekali Sanusi Pane mengapresiasi pemikiran bernas Ki Hadjar Dewantara dengan puisi berjudul “Teratai” yang terdiri atas 4 bait. Dua bait terakhir, puisinya adalah “… Teruslah o Teratai Bahagia//Berseri di kebun Indonesia//Biar sedikit penjaga taman//Biar engkau tidak dilihat//Biar engkau tidak diminat//Engkau pun turut menjaga zaman”.
Selain memuliakan Ki Hadjar Dewantara sebagai teratai, melalui puisinya itu Sanusi Pane juga mengkritisi bahwa sejak sebelum kemerdekaan dunia pendidikan Indonesia tidak banyak tokoh yang memperjuangkan eksistensinya. “Biar sedikit penjaga taman//Biar engkau tidak dilihat//Biar engkau tidak diminat”.
Kata “tanam” dan “taman” dalam puisi itu menjadi hidup sehidup-hidupnya sebagaimana Umbu Landu Paranggi pernah memujinya. Sekolah sebagai taman adalah tempat bercocok tanam.
Tanaman yang ditanam diperoleh dari bibit, bebet, bobot yang dipelihara petani yang rajin merawat dengan penuh cinta kasih. Begitulah, guru di Taman Siswa diandaikan petani yang rajin merawat taman dengan hati, pikiran, dan tindakan nyata hingga panennya berbuah ranum untuk Indonesia Raya.
Sanusi Pane mengajak kita berziarah ke Taman Siswa meneladani kebersahajaan Ki Hadjar Dewantara menyiapkan generasi emas menyambut seabad Kemerdekaan Indonesia, 2045. Meneladani Ki Hadjar Dewantara dengan sendirinya juga menjaga etika moral melalui proses berkesungguhan bukan dengan instan dan jalan menerabas, karena pendididikan adalah proses memanusikan manusia.
Sebagai sebuah proses, siswa dididik dan diajar sampai tuntas secara bertahap dengan standar etika moral sehingga setelah tamat menjadi rujukan bagi orang-orang di sekitarnya.
Generasi emas demikian adalah generasi yang teguh kukuh dengan tekad kuat ibarat teratai yang akarnya di lumpur tetapi bahagia berseri di kebun Indonesia—karena “akarnya tumbuh di hati dunia”.
Cinta yang tumbuh di hatilah yang membakar semangat cinta tanah air untuk memerdekakan bangsa dari belenggu penjajahan. Penjajahan kini, konteksnya berbeda dan mesti diantisipasi melalui gerakan bersama di sekolah, tidak cukup dengan Gerakan Sekolah Menyenangkan tetapi bermetamorfosis menjadi Gerakan Sekolah Membahagiakan.
Salam dan bahagia menyambut fajar baru 2024 dengan optimis melalui kerja-kerja pendidikan yang mencerdaskan.[T]