DI SUATU malam, di sebuah sepi, Ajeng sudah tak tahan. Ketika bulan bersembunyi dari salah satu lorong sempit dan busuk di Kota Singaraja, ia menarik dagu itu.
“Ada apa, Sayang? Kau tampak gelisah akhir-akhir ini,” katanya.
Laki-laki yang ia panggil sayang itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya dan menjawab dengan nada yang berat dan terkesan putus asa: “Tak ada.” Jawaban yang justru malah menebalkan bahwa memang ada sesuatu yang sedang lelaki itu pikirkan.
Ajeng menyentuh bibir laki-laki itu sekilas. Dalam keremangan lampu kamar, laki-laki itu melihat sepasang mata hitam mengkilat, menyala penuh hasrat. Ajeng menarik laki-laki itu dan mereka berciuman begitu panjang. Kalaupun Ajeng diam, ia tahu, laki-laki itu sudah bisa menangkap rasa anyir darah dan liurnya.
Ajeng merasa laki-laki itu sudah memasuki seluruh hatinya, pori-porinya, dan jantungnya.
Tanpa harus mengucapkan puisi paling romantis dan kutipan-kutipan gombal dalam salah satu buku yang mereka baca, Ajeng dan laki-laki itu sudah saling berlomba melucuti baju. Begitu saja mereka saling membalas ciuman masing-masing.
Puting susu Ajeng sudah mengeras, menantang untuk dijamah. Singaraja panas dan mereka membara. Tapi tiba-tiba—kata yang sering dipakai pengarang amatiran yang kehabisan kata-kata—ya, tiba-tiba laki-laki itu menghentikan gerakan bibirnya yang sendari tadi lekat di puting Ajeng dan menariknya dengan tergesa-gesa. Ajeng tersentak, kaget.
“Ada apa?” tanya Ajeng, kesal.
Diam. Tak ada jawaban. Laki-laki itu bangkit dan menyandarkan kepalanya ke tembok.
Ajeng menarik napas, mengembuskannya dengan jengkel. Tak ada yang lebih menjengkelkan daripada percumbuan yang tak tuntas, ucapnya dalam hati. Dengan malas dan sebal ia ikut menyandarkan kepalanya, mata indahnya penuh amarah, dan alisnya sudah beradu.
Ia kembali bertanya, kali ini dengan nada kesal, “Ada apa, si? Kita kan udah halal. Ada apa lagi?”
“Entahlah. Aku merasa belum siap. Ini pengalaman pertamaku, Jeng.” Akhirnya laki-laki itu menjawab. Jawaban itu terbata, ada semacam benda bulat yang menyumpal tenggorokannya.
Ya, tentu itu bukan jawaban yang Ajeng mau. Itu hanya jawaban seorang pengecut yang bersembunyi di balik kata “pengalaman pertama”; semacam jawaban prajurit yang kakinya gemetar mendengar gemuruh pertempuran. Tetapi, Ajeng mencoba berpikir positif, tak mau langsung menghakimi atau menunjukkan perasaan kesal. Ia tak mau malam pertama mereka menjadi pertengkaran pertama setelah mereka resmi menikah sehari yang lalu—setelah mereka berpacaran selama nyaris setahun—hanya gara-gara suaminya, secara tiba-tiba, berhenti memainkan puting susunya tanpa sebab yang ia ketahui.
Ajeng menggerakkan setengah tubuhnya dan dengan lembut menjatuhkan kepalanya tepat di dada kanan suaminya. Dada itu naik turun tak beraturan, keringatnya belum lagi kering. Mereka berdua diam sejuta kata.
***
Ajeng mengenal laki-laki itu—yang sekarang sudah menjadi suaminya—dari seorang teman.
“Dia termasuk laki-laki yang langka, Jeng. Dari mulai hobinya, pola pikirnya, pandangan hidupnya. Pokoknya idaman, deh. Ya meskipun tampangnya pas-pasan, si,” kata si teman, suatu ketika, sebelum Ajeng menguap mendengarkan cerita panjang temannya tentang laki-laki yang menurutnya aneh itu.
Benar. Awalnya Ajeng tidak tertarik sama sekali. Pikirnya, bagaimana mungkin, di zaman seperti ini, di antara riuh tuntutan lekas lulus kuliah, jadi sarjana, memperoleh kerja, godaan bermain game dan pinjaman online, mendapat pasangan, punya banyak teman, dan bersenang-senang dengan banyak orang, masih ada orang yang memilih mengalami kesepian; melakoni diri sebagai pembaca buku yang sesekali menulis dan mengunjungi tempat-tempat sepi untuk menepikan diri.
Meski dengan hidup begitu, kata si teman lagi, laki-laki itu bukannya menepi sama sekali dari kegaduhan hidup duniawi. Laki-laki itu memilih hidup begitu sebagai upaya menumbuhkan diri dan lebih jauh lagi.
“Ah, gombal! Romantisme yang sungguh ketinggalan zaman,” ucap Ajeng.
Namun, hal itu berbeda saat Ajeng bertemu dan berkenalan langsung dengan laki-laki itu pada suatu sore di pelabuhan tempat singgah para saudagar, dulu. Saat itu Ajeng bersama temannya sedang menikmati sepotong pisang goreng di bibir pantai. Ia dan temannya sedang membicarakan dosen mereka yang galaknya minta ampun. Bahkan, dari percakapan mereka, kita segera tahu ketika dosen itu marah tiba-tiba wajahnya seolah berubah menjadi sangat menakutkan.
“Lebih seram dari Bhatara Kala yang hendak menelan bulan secara gelonggongan ketika purnama,” kata Ajeng, sambil memalingkan muka.
Belum juga habis Ajeng mengunyah pisang goreng, temannya—perempuan muda centil, enerjik, dan lemot berpikir itu—mengagetkannya hingga ia tersedak.
“Ajeng, lihat! Itu Son.”
Dengan kesal Ajeng mengedarkan pandangannya ke titik di mana telunjuk temannya mengarah. Di sana, tepat di sebuah dermaga beton tempat para pemancing mengharap peruntungan, seorang laki-laki muda berkaca mata sedang beranjak dari duduknya. Laki-laki itu tak langsung bergerak. Sejenak ia mematung, memandang jauh ke utara, jauh ke kedalaman lautan yang seolah tak berujung. Entah kenapa, Ajeng lekat memandangi gerak-geriknya.
“Ayo, Jeng! Ayo ke sana! Kita samperin dia. Sekalian kamu berkenalan dengannya,” ajak teman Ajeng, tergesa-gesa dan sedikit memaksa.
Dua perempuan muda itu bangkit. Mereka berlari kecil—oh, maaf… sebentar, bukan mereka, tapi si teman saja yang berlari, Ajeng berjalan gontai dengan malas—menghampiri Son, laki-laki muda yang menurut Ajeng aneh itu.
“Son. Panggil aku Son!” ucap lelaki itu sambil menjabat tangan Ajeng setelah Lily, teman Ajeng yang lemot berpikir itu, memperkenalkan mereka berdua.
“Ajeng.”
Sejak perkenalan singkat itu Ajeng dan Son sering bertemu. Awalnya secara diam-diam; lama setelah itu mereka berani terang-terangan—bahkan tak sungkan pegangan tangan di tengah kerumunan. Lily, yang mengetahui hal itu, mesti agak cemburu, menjadi orang pertama yang mendukung hubungan mereka hingga ke jenjang pernikahan.
Son. Itu nama panggilannya. Nama aslinya Sudarsono. Merasa namanya sangat jadul dan Jawa, dan itu membuatnya tidak percaya diri, dengan argumen yang sediki memaksa dan mengada-ada, akhirnya ia memutuskan untuk memperkenalkan dirinya kepada siapa pun dengan panggilan yang sama persis dengan atlet sepak bola dari Korea Selatan–meski wajahnya jauh lebih jelek dari pemain klub Premier League, Tottenham Hotspur, itu.
Son adalah mahasiswa semester 14 yang, menurut beberapa rekan, cukup cerdas, seperti seorang yang sudah hidup beribu tahun.
“Segala peristiwa terekam dalam benaknya,” ucap seseorang yang bibir kirinya sumbing.
Melalui buku-buku—sastra, filsafat, sejarah—yang ia lahap, Son bisa dibilang nyaris tahu banyak hal, meski dalam beberapa kesempatan, ia mengaku sekadar manusia “generalis”—yang tahu banyak tapi sedikit-dikit, sehingga praktis sebetulnya tidak ada cabang ilmu yang ia kuasai secara memadai, cukup menyentuh pinggir-pinggirnya saja. Akibatnya, Son terkadang melayang-layang di angkasa tanpa pegangan pasti.
Dalam hari-hari terburuknya sebagai mahasiswa perantauan, ia juga seorang penyair, serta cerpenis pilih tanding di kalangan mahasiswa kampusnya. Dia barangkali adalah manusia terakhir di muka bumi yang bakal kau mintai nasihat tentang kehidupan, atau nama terakhir yang ingin kau tempatkan dalam deretan orang-orang yang pernah menulis puisi maupun cerita pendek.
Di Singaraja Son memiliki banyak teman. Namun, dari sekian banyak itu, hanya seorang saja yang dekat, malah dekat sekali, dengannya. Namanya Rius. Lengkapnya Darius Susanto, pemuda asal ibu kota yang memiliki pikiran terbuka. Saking terbukanya, Ius, sebagaimana Son akrab memanggilnya, sering melabrak, untuk tidak mengatakan melanggar, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
“Kita ini manusia merdeka, kok,” katanya suatu ketika saat ia terang-terangan mengatakan tidak percaya Tuhan.
Meski demikian, bagi Son, tak ada lagi sahabat terbaik kecuali mahasiswa sosiologi pengagum Michel Foucault itu. Son dan Ius seperti dua sisi mata uang, tidak dapat dipisahkan.
Namun, sejak Son mengenal dan berpacaran dengan Ajeng, hubungannya dengan Ius menjadi renggang. Mereka lebih sering terlihat berselisih-paham, seperti musuh, daripada bercanda layaknya sahabat karib. Mereka sudah jarang bersama-sama. Tak lagi ada perdebatan-perdebatan soal sastra, filsafat, dan sejarah, yang dulu pernah mereka lakukan nyaris setiap kali bertemu di kamar kontrakan Son.
Bahkan, sejak Son menikah dengan Ajeng, Ius seperti lenyap ditelan bumi. Ajeng merasa aneh dengan anak itu. Tapi ia tahu, bahwa sejak ia hadir dalam kehidupan Son, Ius, secara terang-terangan, menunjukkan sikap tak suka dengannya.
“Sahabatmu itu kenapa?” tanya Ajeng kepada Son saat mereka baru saja selesai menonton The Shawshank Redemption (1994), film yang dibintangi Morgan Freeman, aktor dan sutradara yang mereka idolakan.
“Aku juga tidak tahu,” jawab Son.
Tentu itu jawaban yang tidak sungguh-sungguh. Ajeng tahu, ada sesuatu yang berusaha disembunyikan kekasihnya itu. Dan sampai mereka menikah, Ajeng tak lagi menanyakan hal tersebut. Toh, ia berpikir, itu tidak berpengaruh apa-apa dalam hidupnya dan rumah tangganya.
***
Ajeng mengangkat kepalanya secara perlahan dari dada suaminya. Dengan sedikit kesal ia meneguk segelas air. Malam makin larut. Sepi. Sunyi. Ia tak lagi bergairah.
“Ajeng, sebelum kita melakukannya, maukah kamu mendengar cerita terlebih dahulu? Ya…, anggap saja ini sebuah…., emm…, oh, sebuah ritual sebelum bercinta. Ya ya ya…, ritual sebelum bercinta. Mau kan, Sayang?!”
Suara itu memecahkan keheningan yang beberapa saat melanda kepala masing-masing. Dan dengan tersenyum kecut Ajeng mengangguk. Ia pikir tak ada salahnya menunda bercinta di malam pertama, toh, sejujurnya, ia juga belum siap jika Son tahu bahwa sebenarnya ia sudah tidak perawan.
“Baiklah.”
“Oke. Kamu mau cerita apa?” Son bertanya.
“Apa saja,” jawab Ajeng, malas.
“Baiklah. Aku akan bercerita tentang Christopher Columbus yang mendarat di kepulauan Bahaman…”
“Oh… tidak-tidak. Aku tidak suka dengan Columbus, kamu tahu itu. Mending kamu mulai bercerita tentang pelayaran pertama mengelilingi bumi. Ya, Magellan yang berlayar menuju Amerika Serikat. Kapan itu, ya? Oh iya, pada 20 September 1519. Ketika Antonio Pigafetta, salah seorang yang bertahan hidup berkata: ‘Gusi gigi bawah kami membengkak sehingga mereka tidak bisa makan… dan oleh karena itu, meninggal.’ Yah, aku sudah tahu cerita itu,” Ajeng menyela.
Son tersenyum sedikit memaksa. Melanjutkan:
“Lalu, kamu ingin aku bercerita tentang apa?”
“Kekalahan Armada Spanyol. Atau cerita pada zaman para Shogun, di mana Tokugawa Leyasu memenangi pertempuran Sekigahara? Atau matrikulasi Issac Newton di Universitas Cambridge, pada saat sains modern bermula. Tidak…, tidak! Lebih baik kamu bercerita tentang pasukan Ottoman yang berhenti mengepung Wina pada 12 September 1683.”
“Baiklah. Cerita akan aku mulai pada Juli sampai September 1683, saat Wina dikepung pasukan Ottoman, pada masa ini pangeran-pangeran Jerman juga menghadapi tantangan dari pasukan Louis XIV di Rhein…”
Belum selesai Son bercerita, Ajeng kembali memotong. “Aku lupa, aku tidak suka peperangan!”
Son hanya bisa kembali tersenyum. Mendengar perkataan itu, ia tahu bahwa kejengkelan istrinya sudah berangsur mereda.
“Bagaimana kalau kamu, Yang Mulia Sudarsono, bercerita tentang perjanjian damai Utrecht pada 11 April 1713 itu saja. Akhir dominasi Louis XIV di Eropa. Louis XIV, 68 tahun, berduka bersama François Villeroi setelah kekalahan dari Marlborough pada Pertempuran Ramilies (1706). Itu menarik, bukan?”
“Sayangnya aku tidak tahu perihal itu.”
Ajeng ceberut. Diam. Sunyi. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ajeng menguap, matanya terasa sangat berat.
“Bagaimana kalau aku bercerita tentang Edeavour bertolak dari Plymouth saja?” Son menawarkan.
“Tentang Kapten Cook menjelajahi Pasifik dan menemukan New South Wales? Oh, berapa kali kamu akan bercerita tentang itu? Sudah berulangkali aku mendengarnya.”
“Baiklah… nah, ini pasti membuatmu tertarik. Pada 29 Maret 1973, kamu tahu apa yang terjadi?”
Ajeng menggelengkan kepala.
“Sudah aku duga. Pada tanggal bulan dan tahun itu, pasukan terakhir Amerika Serikat meninggalkan Vietnam.”
Mata Ajeng berbinar. Kemudian ia mengangguk dengan senangnya, sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh kekasihnya.
“Dr. Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional bagi presiden, menjelaskan dilema militer AS, Januari 1969…” Son melanjutkan cerita.
Dan tak lama kemudian Ajeng terlelap. Manis sekali. Dalam gelap kamar, tiba-tiba Son mengingat wajah sahabat lamanya, Ius. Ia mengingat detail lekuk tubuhnya. Ia terangsang. Penisnya tegang. Dan ia menangis. Rupanya, Son belum benar-benar bisa melupakan Ius, meskipun ia sudah berusaha mati-matian mencintai perempuan—yang bahkan sekarang ia nikahi.
Singaraja-Tuban-Surabaya, 2023
- Cerpen ini adalah hasil workshop Cipta Sastra dalam acara Pekan Raya Cipta Karya Mahima yang diselenggarakan Komunitas Mahima, Selasa 28 November 2023, di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Bali.