SIAPA yang tidak kenal dengan Komunitas Seni Taksu Agung dalam kancah kontestasi Baleganjur di Bali. Langganan nominasi juara pada setiap keikutsertaannya pada lomba-lomba Baleganjur dari level daerah maupun tingkat nasional. Sura Belawa, Arjuna Menari, Siat Tipat Bantal, I Kadwa adalah sederet karya Baleganjur yang sukses meraih juara-juara bergengsi. Putu Tiodore Adi Bawa adalah kreator dibalik apresiasi karya baleganjur yang telah direngkuh.
Tahun ini dalam gelaran Lomba Baleganjur Tingkat Umum Se-Bali pada Festival Seni Budaya Kabupaten Badung ke 14, Komunitas Seni Taksu Agung Kembali menampilkan karya baleganjur terbarunya yang diberi judul Lingghyan.
Lingghyan dibentuk dari dua kata Linggih yang merujuk pada kesungguhan hati dan Hyang bermakna kekuatan maha dasya. Jadi Lingghyan kemudian menjadi kerangka stimulant ide untuk berkembang agar memiliki kemajuan visi khususnya dalam konteks garap baleganjur.
Pengembangan visi garap Baleganjur Lingghyan bertumpu pada kemaestroan I Maria. I Maria sendiri adalah salah satu maestro yang dikenal dengan karya tari Oleg Tamulilingan.
Dalam karya tari Oleg Tamulilingan terdapat satu pola yang menjadi ciri khas yaitu pengipuk. Pengipuk jika dikorelasikan dengan bentuk musikal tertuju pada pola pengecet. Pola pengecet dalam konteks kekebyaran merupakan bagian dengan tema melodis yang disertai dengan pepayasan tetorotan sebagai akomodasi artikulasi kinetis gerak enerjik. Dalam karya Lingghyan ini secara jelas Tiodore menggunakan pola kolotomik gong kempur bentuk pengecet sebagai pijakan garap baleganjur.
Proses latihan baleganjur Komunitas Seni Taku Agung | Foto: Istimewa
Pemilihan spirit I Maria sebagai pijakan dilandasi oleh dua hal esensial 1) Pewarisan pengetahuan estetika dan 2) Penggalian bahan garap yang dapat diolah dalam kemasan baru.
Pertama, pengetahuan I Maria dalam membungkus pengipuk berpretensi romansa dengan pola pengecet adalah hal yang patut ditelusuri. Dalam fakta formil teks pengipuk tari Oleg Tamulilingan antara progresi melodi mejalan dengan payasan tetorotan disertai angsel sesuai dengan gejolak psikologis adu romansa dua lawan jenis.
Dalam hal ini I Maria sangat peka terhadap bentuk musikal koheren untuk menstimulan gerak kinetis. Hal inilah yang Tiodore lakukan mengingat dalam penyajian baleganjur Lingghyan juga disertai dengan penyajian gerak. Sehingga gerak yang tercipta tidak sebagai “pola lantai” pemanis visual belaka, namun merupakan perpanjangan bentuk audiktif pada sudut visual. Komang Winantara sebagai penata gerak yang sekaligus sebagai komposer sangat paham dalam menerjemahka maksud estetika Tiodore.
Kedua, penggunaan pola pengecet pengipuk dalam khasanah garap Baleganjur yang normal dibekap pada koridor gilak adalah hasil penggalian. Menggali materi-materi segar yang dapat diolah dalam form komposisi baleganjur kreasi.
Dalam hal ini Tiodore telah mampu menyebrang lintas bentuk dalam rangka memperkaya materi-materi yang dapat diolah dalam konteks kompositoris baleganjur kreasi. Sehingga ini menjadi sebuah usaha penemuan orisinalitas serta menstimulir eksplorasi baru dalam rancang berpikir kreatif komposisi baleganjur.
Proses latihan baleganjur Komunitas Seni Taku Agung | Foto: Istimewa
Pada tahap ini Komunitas Seni Taksu Agung melalui karya Baleganjur Lingghyan kembali memberikan I Maria ruang untuk menari. Menari dalam bentuk kreasi baleganjur. Maria tidak saja bercumbu dalam imaji bunga dan kumbang, Tiodore kali ini bersama Winantara membawa Maria bercumbu dengan barungan Baleganjur.
Cumbuan Maria dengan Baleganjur pada karya Lingghyan diharapkan mampu melahirkan benih-benih visi pemajuan kreativitas kreasi Baleganjur. Maria telah tersublimasi pada karya Baleganjur oleh Komunitas Seni Taksu Agung melalui kreator Tiodore Adi Bawa dan Komang Winantara. [T]
Proses latihan baleganjur Komunitas Seni Taku Agung | Foto: Istimewa
- BACA artikel lain tentang seni budaya dari penulis WAYAN DIANA PUTRA