“Dok, saya ada satu permohonan. Ini sebuah tas untuk dokter. Mohon nanti diberikan kepada istri dokter ya. Katakan saja sebuah hadiah dari seorang suami!”
Dokter Nugie terperanjat di atas kursinya saat wanita itu begitu saja menyerahkan sebuah bungkusan. Asisten dokter yang berdiri di sampingnya pun tampak kaget tak percaya. Dokter Nugie belum sempat berkata-kata apapun ketika wanita itu berbicara kembali.
“Sebetulnya saya ingin memberikan hadiah kepada dokter. Namun itu nanti, pasti akan memberi kesulitan kepada dokter. Istri dokter pasti akan bertanya, hadiah dari siapa, hadiah untuk apa?”
Doker Nugie masih terpana, bungkusan cukup besar dengan kemasan mewah dan beraroma wangi dipersembahkan di hadapannya, di atas meja di ruang praktenya, saat terdengar lagi suara wanita itu.
“Maka untuk menunjukkan perasaan saya kepada dokter, saya lakukan ini. Terimakasih ya, Dok. Saya harus pulang sekarang!”
Situasi yang tak pernah Dokter Nugie bayangkan. Namun baru saja fakta itu berlalu. Sisanya kini perasaan bingung dan aneh. Pun kedua bola mata asistennya masih terbelalak saat wanita itu meninggalkan ruang praktek mereka.
Wanita itu memang beberapa kali mengantarkan ibu mertuanya untuk berobat ke praktek pribadi Dokter Nugie karena keluhan sesak nafasnya. Dokter spesialis paru yang terkenal ramah itu bertatapan dengan asistennya. Keduanya tersenyum saat asistennya menggodanya.
“Atau boleh buat saya aja ya, Dok, daripada dokter bingung? Hehehe!”
Asisten setia itu mengetahui satu hal yang begitu penting tentang Dokter Nugie dan ia paham tak harus memperpanjang percakapannya dengan dokter flamboyan itu.
Saat dalam perjalanan pulang, Dokter Nugie berusaha mulai merajut benang merah dari semua hal yang telah dilaluinya yang berhubungan dengan wanita itu, untuk menemukan penjelasan masuk akal dari kejadian yang baru saja dialami di ruang prakteknya. Tak satu pun kejadian yang mengesankan.
Wanita itu beberapa kali mengantarkan ibu mertuanya berobat ke tempat prakteknya dan beberapa kali komunikasi whatsapp, ia pun meyakini ingatannya, cuma membahas masalah medis ibu mertuanya.
Dokter Nugie pun melirik bungkusan hadiah yang teronggok di jok depan di sampingnya. Ia berguman dalam hati.
“Hadiah dari seorang wanita yang sudah bersuami, yang disamarkan untuk istriku. Mmmm, itu urusannya sendiri, bukan masalahku!”
Ia tersenyum tawar, genggaman jarinya menjadi lebih erat pada setir mobilnya, sebuah komedi yang hanya dirasakannya sendiri di malam yang kian larut itu, di atas roda yang terus berputar. Ia pun kembali membantin.
“Cinta, memang penghasut yang tak tampak.”
***
Sudah hampir tiga bulan berlalu, wanita itu kembali mengirimkan pesan whatsapp kepada Dokter Nugie.
“Pagi, Dok, saya Shinta. Ibu mertua saya, Ibu Retno semalam masuk rumah sakit. Dokter IGD menyarankan opname dan saya sudah minta agar Dokter yang merawat!”
“Oh ya, sebentar sehabis laporan pagi, saya lihat Ibu ya!”
Kelebihan Dokter Nugie adalah ia selalu berusaha menjawab setiap pesan yang masuk ke telepon genggamnya. Lebih-lebih jika itu urusan medis yang ia yakini pasti disertai perasaan cemas dari pengirimnya.
Setidaknya ia pun sekarang tahu nama wanita pemberi hadiah itu, Shinta. Yang ia ingat wanita itu berkulit putih dan seingatnya juga sangat bersih. Penampilannya modis. Wangi. Yang pasti sudah bersuami. Ini data yang jauh lebih penting. Hal menarik darinya adalah, gaya bicaranya lugas, to the point.
Bagaimana ia bisa menata begitu sistematik dan geometris pikiran dan perasaannya, rasio dan hatinya secara terpisah namun tetap menyatu dalam dirinya? Tak banyak wanita bisa demikian. Ini cenderung sifat laki-laki. Laki-laki bahkan bisa bercinta dengan perempuan yang tak dikenalnya. Jika pada wanita, umumnya terjadi hanya pada mereka yang berprofesi sebagai pekerja seks komersial.
Dokter Nugie harus mengakui, tubuhnya mulai nervous saat mengikuti langkah kakinya menuju ruang perawatan Ibu Retno. Mulai terasa ada beban. Ia meyakini bakal tak cuma sebuah kunjungan pasien dan memberi konsultasi. Ia kembali membatin dan tak mau ambil pusing.
“Bukan urusanku, itu masalah dia sendiri!”
Ataukah, bukan lagi kemudian cuma urusan dan masalah wanita itu sendiri semata? Memang ada banyak masalah berkeliaran dalam hidup manusia. Namun persoalannya bukanlah itu.
Soalnya adalah orang memilih ikut arus masalah tersebut atau mengambil jalur aman? Terjun ke dalam pusaran masalah tentu saja memberi sebuah tantangan, keasyikan yang konon diperlukan membuat hidup lebih berenergi. Itulah kenapa orang-orang kadang perlu menyewa sebuah roller coaster atau jetski.
Ia terus berkata dalam hati, mulai menggoda dirinya sendiri.
“Jangan-jangan, jangan-jangan, bakal menjadi visite pasien yang tak lagi membosankan seperti biasanya?”
Didampingi suster, Dokter Nugie memasuki ruangan pavilium pasien rawat inap untuk memeriksa ibu Retno. Sebelum menemui pasiennya, mereka melewati ruang tamu dengan desain interior begitu mewah. Ia mendapati Ibu Retno terbaring setengah duduk didampingi Shinta, menantunya.
Menantunya yang sangat perhatian, namun telah terbagi hatinya. Baru kali ini Dokter Nugie memperhatikan wajah wanita itu. Tak mudah baginya, bagaimana mengungkapkan paras wajah yang ia lihat, meski hanya di dalam hati saja. Itu paras cantik yang tak biasa. Bukan pula sekadar manis atau anggun saja.
Ia merasakan kecantikan yang mahal. Apakah karena keadaan ekonomi keluarganya yang kaya raya atau memang kelebihan fisik yang telah dibawanya dari kelahirannya?
“Selamat pagi, Bu Retno, ibu kelihatan cukup baik pagi ini. Ibu sudah sarapan?”
“Terimakasih, Dok. Saya merasa jauh lebih baik dibandingkan kemarin. Kemarin sore, tiba-tiba saya merasakan sangat sulit untuk bernafas. Saya sudah pasrah, saya pikir bakal putus saja nafas saya.”
Ibu Retno menjawab sambil tersenyum. Shinta yang duduk di sebelah ibu mertuanya lalu menimpali.
“Porsi sarapannya tadi pagi juga bisa dihabiskan, Dok.”
“Oh ya? Bagus sekali Bu Retno. Asupan nutrisi yang cukup, selain membantu pemulihan, itu juga bisa menjadi petunjuk sakit yang ibu alami saat ini tidaklah berat. Penyakit yang lebih berat biasanya menyebabkan pasien kehilangan selera makan!”
Shinta dan Ibu Retno jelas tampak senang dengan penjelasan Dokter Nugie. Shinta kembali mengajukan pertanyaan.
“Kenapa ya, Dok, kemarin ibu saya kok tiba-tiba sesaknya kumat begitu rupa?”
Mengikuti tekanan bicaranya yang demikian kuat, pandangan matanya pun begitu intens menguasai sekujur tubuh Dokter Nugie.
Dokter Nugie memilih untuk fokus menjawab pertanyaan medis tersebut, meski ia masih jelas meyakini apa yang akan dipaparkannya, sudah berkali-kali ia pernah sampaikan kepada ibu dan menantunya itu.
“Memang ada beberapa hal yang menyebabkan bronkitis kumat. Paling sering karena infeksi saluran nafas. Tapi bisa juga akibat lingkungan seperti debu, asap atau udara dingin. Oh ya, dapat juga bulu binatang. Kadang akibat aktifitas fisik berlebih juga dapat memicu kekumatan sesak nafas bronkitis. Bahkan kecemasan. Makanya Ibu tidak boleh mandi terlalu malam atau menggunakan AC terlalu dingin!”
Ketika meninggalkan rumah sakit, Dokter Nugie menerima pesan whatsapp dari Shinta.
“Terima kasih ya, Dok, atas kunjungannya tadi. Oh ya, semoga istri dokter senang dengan hadiahnya!”
Dokter Nugie tiba-tiba menyadari, betapa wanita itu dalam tiga bulan dapat bertahan. Tidak pernah menghubunginya kembali soal hadiah tas itu. Ia makin percaya, Shinta bukanlah wanita biasa, bukan wanita sembarangan. Meski fakta bahwa ia seorang wanita yang tak setia, tak bisa dipungkiri. Namun, sepertinya ia cukup puas dan tenang mencintai seseorang dengan cara demikian.
Saat mencintai seekor burung kita tak harus mengurungnya dalam sangkar.
Ketika mampir makan siang di warung makan langganannya, Dokter Nugie membalas pesan whatsapp itu. Sebetulnya ia merasa berat melakukannya.
“Ya Shinta, istri saya sangat suka. Terima kasih ya. Sepertinya kamu tahu, saya jarang ngasi hadiah untuk istri saya!”
“Dok, panggil saja saya Shin ya, Shinta terlalu resmi, hehehe. Dokter sibuk sekali, pasti nggak sempat membelikan istrinya hadiah.”
Dokter Nugie tak tahu mesti menjawab apa. Atau lebih tepatnya, ia menghindari terseret arus masalah. Namun yang membuatnya tertegun adalah bagaimana mungkin seorang wanita yang menyukainya, begitu santai membahas istri orang yang disukainya? Apakah sebuah sandiwara yang dilakoninya dengan sangat terpaksa?
Dokter Nugie saja merasa kikuk. Sangat sulit membayangkan jika ia berada pada posisi wanita malang tersebut. Apakah yang ia harapkan?
“Hahaha, sebetulnya saya sempat saja. Cuma saya gak yakin. Baiknya belikan hadiah apa ya buat istri saya. Saya merasa kurang romantis atau kurang berbakat untuk urusan itu!”
“Dokter itu dokter paling romantis lho yang pernah saya tahu. Mungkin karena cara Dokter memperlakukan pasien-pasiennya. Saya yakin, kesan romatis itu datang dari situ!”
Tak mau masuk terlalu jauh ke dalam pusaran air yang dapat menenggelamkan dirinya, Dokter Nugie mengakhiri percakapan itu. Ia meyakini tak ada perubahan apa pun dalam hati maupun perasaannya. Baginya, Shinta masih tetap seorang menantu dari pasien yang ia rawat, Ibu Retno.
Sesaat pikirannya kembali ke pavilium ruang perawatan, meski ia tahu, namun ia seolah-olah berlagak tak menyadari, sesaat Shinta telah memiliki dirinya dari caranya memandang yang begitu lekat dan intens. Jauh lebih mendalam dibandingkan saat mereka bertatapan di ruang praktek ketika ia memberi hadiah. Saat itu Shinta sangat rasional.
Tadi pagi ia jelas lebih emosional. Dalam gaun santai yang tetap kelihatan sangat mahal, membalut tubuhnya yang ramping terawat. Dokter Nugie membantin.
“Bagaimanakah ini akan berakhir nanti?”
Masih dalam pikirannya, Dokter Nugie berpekulasi.
“Jangan-jangan Shinta menikmati jika sakit mertuanya kumat. Ahh!”
***
Hampir enam bulan berlalu, pesan whatsapp itu akhirnya datang lagi.
“Selamat sore, Dok. Gimana kabarnya?”
Bagi Dokter Nugie, membalas chat konsultasi medis jauh lebih sepele ketimbang menanggapi pesan non medis dari wanita khusus seperti ini.
“Baik, terimakasih.”
“Dok, Sabtu besok kami bikin acara syukuran rumah baru kami. Mohon Dokter sekeluarga hadir ya. Mohon diajak istri dan anak-anak Dokter.”
Kesulitan itu datang kembali. Bagaimanakah ini akan berakhir?
“Wah selamat. Semoga acaranya lancar ya!”
“Dokter bisa datang kan?”
Ketimbang bertanya, chat itu jelas sebuah permintaan. Dokter Nugie cukup lama tidak menjawab.
“Maaf ya, Dok, sebetulnya kehadiran Dokter akan sangat berarti untuk saya pribadi. Namun saya harus menghargai Dokter sudah berkeluarga. Seperti saya juga.”
Dan cukup banyak susulan pesan teks wanita yang sedang kasmaran itu.
“Saya tidak pernah membayangkan Dokter Nugie akan tega mengecewakan seseorang. Meski kepada seorang wanita yang kacau seperti saya ini! Dokter nggak usah khawatir. Ini memang masalah saya saja sebenarnya. Saya tahu seperti apa dokter menilai saya!”
Narasinya mulai sentimental dan emosional. Dokter Nugie tak ingin ini berlarut-larut.
“Oh, rasanya Sabtu besok ini saya tidak ada kegiatan apa pun. Oke, kami bisa datang!” “Betapa sulit saya mencari kesempatan bertemu Dokter. Haruskah saya berharap ibu mertua saya kumat sakitnya, demi bisa bertemu Dokter?”
Dokter Nugie memutuskan tidak memperpanjang percakapan itu, karena sudah mengatakan akan mau datang. Ia selalu mencemaskan segala kemungkinan masalah yang dapat terjadi jika mengikuti keinginan wanita itu.
Namun, Shinta terus mengirimkan pesan. “Tiba-tiba ada kesempatan baik ini. Kalau saja kita bisa pergi lebih jauh berdua. Eh maaf ya, Dok. Berhadapan dengan dokter saya selalu kacau!”
Dokter Nugie hanya memandang layar HP-nya.
“Tapi terima kasih banget Dokter bisa datang nanti. Saya sangat bahagia. Dokter akan menjadi milik saya nanti, meski sesaat, dalam keramaian!”
Shinta semakin terbuka dan terang-terangan. Beban hati Dokter Nugie makin berat. Syukurnya wanita itu mau berhenti mengirimkan pesan.
***
Dokter Nugie mengenakan kemeja hitam dipadukan dengan celana jeans tua serta sepatu kets yang sudah lama tak dipakainya. Ia memang tak begitu suka menghadiri acara pesta. Kurang pede hadir dalam keramaian, apalagi pesta-pesta berkelas.
Juga di sore itu. Ia merasa itu bukan tempatnya. Namun kali ini merupakan undangan khusus, atau lebih tepatnya pribadi. Bersama putra semata wayangnya, yang baru SMP kelas 2 mereka menuju garasi. Kaget ingat akan sesuatu, ia berhenti, kemudian berbalik masuk rumah dengan tergesa-gesa.
Dengan dahi sedikit berkerut, putranya hanya memandangi tingkah laku ayah tersayangnya. Tak berapa lama kemudian Dokter Nugie kembali membawa sebuah bungkusan. Tampak mewah dan beraroma wangi.
“Kado untuk yang punya acara!” Sambil melangkah, Dokter Nugie berbisik dan memeluk anandanya.
Putranya cuma tersenyum dan menggenggam tangan ayahnya yang melilit di lehernya. Lalu mereka melaju menuju kediaman Shinta.
Rumah baru itu begitu besar. Dibangun dengan bahan-bahan paling mahal dan berkelas. Desain eksteriornya menyerupai hotel berbintang. Tetamanan dengan rumput hijau tebal di sana-sini dengan lampu yang telah ditata begitu anggun. Serasi dengan bangunan rumah yang begitu kokoh dan megah.
Mereka diantar seorang pelayan menuju lokasi pesta di halaman samping. Dokter Nugie berusaha matimatian untuk bersikap biasa, namun jantungnya tetap terasa berdebar lebih cepat dan lambungnya mulai perih.
Saat berbelok dari halaman depan, dari kerumunan orang menerobos datang menyongsong seorang wanita berpenampilan anggun. Mengenakan yuki dress hitam, Shinta begitu bergairah menyambut Dokter Nugie. Seolah-olah tak ada tamu yang lain. Gaun mini yang dikenakannya membuat lengannya tampak bersih dan begitu halus. Make up di wajahnya tampak sekadarnya saja, namun kecantikannya terkesan mahal. Sama halnya dengan gaun yang dipakainya. Mudah ditebak pastilah busana bermerk dengan produksi terbatas.
“Halo Dokter, terimakasih ya sudah datang!”
Shinta menggenggam tangan kanan Dokter Nugie. Dokter itu menanggapinya dengan gugup dan menyadari kembali aroma wangi itu. Sepertinya parfum itu telah menyatu dengan tubuh wanita itu.
“Selamat ya Shinta. Pestanya meriah sekali!”
Seorang pria tampan bertubuh atletis mendekati mereka sambil melemparkan senyum ramah. Gesturnya tipikal orang yang rajin berlatih di pusat kebugaran. Lalu ia menyalami Dokter Nugie dan putranya.
“Pa, ini Dokter Nugie yang selama ini merawat ibu,”
“Oh, terima kasih ya, Dok. Kondisi Ibu sudah cukup baik saat ini. Beliau pun hadir, bersama keluarga besar di pojok taman sana!”
Tangan lelaki itu menunjuk ke bagian halaman yang dimaksud. Lalu ia melanjutkan.
“Dok, silakan nikmati ya. Saya izin menemani rekan-rekan saya dulu. Shin, ajak Dokter dinner ya!”
Lalu ia berlalu menuju ke sebuah kerumunan lain.
“Dok, kok istri Dokter nggak diajak?”
Kedua otot kelopak mata wanita itu sedikit menegang. Dokter Nugie cuma tersenyum. Ia merasa telah dapat menguasai perasaan dan suasana saat itu. Sementara putranya cuma memperhatikan keduanya.
Wajah Shinta semakin tegang saat Dokter Nugie menyerahkan bungkusan yang tentu saja sangat ia kenali. Hadiah yang hampir setahun lalu diberikannya kepada Dokter Nugie, yang disamarkan untuk istrinya.
“Maaf Shinta, istri saya sudah almarhum kira-kira lima tahun lalu. Saat itu kami bertugas di kota lain. Saya rasa, lebih baik hadiah ini saya kembalikan untukmu!”
Jelas sekali wanita itu tampak kaget. Terdiam beberapa saat. Lalu tak kuasa membendung air matanya, ia spontan memeluk putra Dokter Nugie yang hanya bisa tertunduk.
Shinta mulai menangis sesunggukan, meski ia berusaha menahannya. Ia terus menangis sambil memeluk dan menciumi bocah piatu itu.
“Ya, istri saya berpulang saat Juno baru kelas 3 SD.”
Suara Dokter Nugie bergetar, pandangan matanya lirih. Sangat jelas betapa ia begitu mencintai istrinya yang telah kembali ke sisi Sang Pencipta. Seakan orang di sekitarnya pun dapat merasakan vibrasi kesetiaannya yang tak bisa diragukan.
“Saya minta maaf Dokter, saya betul-betul tidak mengetahui kisah Dokter ini. Terima kasih, Dokter telah mengajari saya tentang rasa kehilangan. Tentang mensyukuri apa yang kita telah kita miliki. Bukan apa yang kita inginkan. Sekali lagi, saya mohon maaf sebesar-besarnya!”
Meski mulai berkurang, wanita itu masih terus menangis. Dokter Nugie mengusap-usap bahu wanita itu, seakan-akan seorang pasien, yang tiba-tiba telah menemukan penyembuhannya. [T]