HASNA MUFIDAH atau yang lebih akrab dipanggil Mufi, berdiri tepat di samping Pamungkas. Di atas panggung musik We The Fest 2019 itu, ia dan Pamungkas akan tampil bersama membawakan lagu Intro I dan beberapa lagu dalam album Walk The Talk (2018). Malam itu, dengan mengenakan busana hitam yang elegan, Mufi tampil begitu energik.
Ia tak hanya menerjemahkan lirik lagu ke dalam bahasa isyarat untuk dimengerti para penonton yang Tuli, tapi juga menarikannya. Tak jarang ia bergerak lincah seolah sedang berada di kamarnya sendiri.
Mufi adalah seniman Tuli berbakat yang tuli sejak lahir. Dan meski terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, tapi saat ia didapuk sebagai salah seorang penyanyi dan penari—semacam juru bahasa isyarat—pada konser We The Fest, ia tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Di atas adalah fragmen awal dalam film Senandung Senyap (A Sonorous Melody) (2022) karya Riani Singgih yang diputar Minikino Film Week Bali International Short Film Festival 2023 di MASH Denpasar. Film dokumenter berdurasi 24 menit itu menampilkan kisah Mufi dalam memperjuangkan kariernya di bidang seni, khsusnya musik. Meski bagi sebagian orang ia dianggap memiliki keterbatasan, tapi itu tidak menjadi hambatannya dalam meraih mimpi.
“Mulai pembuatan film ini sebenarnya sudah sejak tahun 2019. Dan karena pendemi, tahun 2022 baru selesai,” ujar Riani Singgih, kepada tatkala.co, Kamis (21/9/2023).
Riani Singgih sendiri, sebagaimana yang tertulis dalam In-Docs, seorang sutradara muda film dokumenter dan sinematografer berbasis di Asia Tenggara. Ia terdorong untuk bercerita tentang masyarakat Asia Tenggara, khususnya dalam isu kesehatan mental, disabilitas, dan LGBTQ+.
Film-film dokumenter pendeknya telah ditayangkan di lebih dari 50 festival film di seluruh dunia, serta ditayangkan di Vice Media, Discovery Channel, dan PBS Network. Ia juga berpartner dengan NGO di seluruh dunia yang bertujuan untuk bercerita tentang kisah yang berdampak panjang.
Melalui Senandung Senyap, kata Riani, ia ingin mengetahui lebih dalam tentang kehidupan teman Tuli di dunia seni itu seperti apa. Dari situlah, bersama timnya ia mulai mengikuti kehidupan Mufi, yang kebetulan ia kenal saat mengerjakan film VR bersama Mohammad Ismail—seorang Tuli yang bekerja di SIGAB Indonesia—dan Annisa Adjam, produser film dan pendiri komunitas Inteamates.
“Selama kami bekerja bersama Mufi dalam dunia seni, kami melihat secara langsung bagaimana orang dengar itu merendahkan teman Tuli. Jadi, perjuangan teman Tuli di dunia seni itu tidak mudah, penuh tekanan,” tukas Riani, serius.
Selain hanya sekadar mengetahui teman Tuli dalam berkesenian, lebih dari itu, Senandung Senyap hendak menyampaikan pesan bahwa teman Tuli juga bisa berkarya. Mereka tidak selemah yang selama ini banyak orang pikirkan. Seperti Mufi, misalnya, ia mengukir karier musiknya; dan karyanya mampu menginspirasi orang lain untuk mengekspresikan diri melalui bahasa isyarat.
Dalam film Senandung Senyap, sebagai sutradara, Riani benar-benar menempatkan Mufi sebagai subjek. Ia memberikan ruang yang leluasa untuk Mufi berbahasa isyarat. Dengan begitu, Mufi tampil dengan apa adanya. Seniman Tuli yang juga seorang sutradara film Kereta Kita—yang memenangkan Festival Film Pendek Jakarta 2019—itu, begitu luwes dalam menuturkan kisah hidupnya.
Bahkan, mengulang kembali apa yang telah disampaikan Putu Bayuwestra, “Melalui selera humornya, Mufi bahkan sempat memparodikan suatu situasi, ketika bel rumahnya ditekan, dan dirinya berjoget.”
“Film ini melibatkan partisipasi teman Tuli juga. Selain Mufi sebagai protagonisnya, ada juga Mas Mail [maksudnya Mohammad Ismail, seorang Tuli yang bekerja di SIGAB Indonesia] mentor kami di bidang disabilitas dan Sinta Nainggolan—seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI). Dari sini kami membentuk tim namanya Tim Dampak,” ujar Annisa Adjam, produser film Senandung Senyap, menyebut dua nama yang kebetulan juga ada di sana saat ia diwawancarai.
Dalam proses produksi film Senandung Senyap, selain kendala bahasa, Annisa menuturkan bahwa pendanaan dan pendemi juga cukup menjadi hambatan. Dan sebelum film tersebut benar-benar didistribusikan ke masyarakat luas, Riani dkk meminta teman Tuli untuk menontonnya terlebih dahulu. Hal itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana respon mereka setelah menonton film dokumenter pendek yang masuk nominasi The RWI Asia Pacific Award at MFW9 itu.
Projek film ini tidak hanya sampai di sini, lanjut Annisa, tapi akan berlanjut dengan program-program lain yang akan melibatkan teman-teman komunitas Tuli di berbagai kota di Indonesia. “Jadi, mimpinya itu lebih panjang lagi,” katanya. Film Senandung Senyap dianggap sebagai pemantik untuk gerakan-gerakan berdampak selanjutnya.
Sesaat setelah Annisa mengatakan hal tersebut, Mufi meresponnya dengan bahasa isyarat. Melalui Sinta Nainggolan, interpreternya saat itu, Mufi mengatakan, “Ini akan terus berlanjut sampai seterusnya. Kita akan menunjukkan tentang Tuli ini ke seluruh Indonesia.”
Menurut Annisa, program jangka panjang dari projek film ini adalah menumbuhkan kepercayaan diri, baik teman Tuli maupun teman dengar, untuk bersosialisasi melalui interaksi seni. “Ke depan akan ada edukasi kesenian, kolaborasi dengan teman Tuli, dan juga akan ada penyuluhan atau edukasi basic tentang bahasa isyarat,” kata Annisa, menjelaskan.
Senandung Senyap telah tayang di berbagai festival film di belahan dunia seperti Bengaluru International Shorts Film Festival (India), Show Me Shorts New Zealand Indonesia Innovation Focus (Selandia Baru), dan lain-lain.
Mufi dan Seni
Hasna Mufidah—atau Mufi—bercerita dengan bahasa isyarat. Kedua tangan dan mulutnya tak berhenti bergerak. Kedua tangan itu kadang bergerak cepat, membentuk pola-pola, dan kadang melambat saat mencoba membentuk huruf supaya bisa dieja interpreternya.
Sinta Nainggolan, interpreternya—yang sekaligus seorang Juru Bahasa Isyarat (JBI) profesional—menerjemahkan gerakan tangan dan mulut Mufi secara tepat dan cermat. Mereka berdua seolah memiliki chemistry yang telah terjalin bertahun-tahun yang lalu. Sinta, begitu ia akrab dipanggil, belajar bahasa isyarat sejak tahun 2017.
Mufi tuli sejak lahir. Hal tersebut diketahui orang tuanya saat umurnya masih enam bulan. “Ketika papa mama mau foto-foto aku, mereka manggil “Mufi” tapi aku tidak respons. Akhirnya mereka curiga, dan aku dibawa ke RS. Ternyata ketahuan sama dokter bahwa aku Tuli sejak lahir,” ujar Mufi.
Mufi mengaku, sejak kecil dirinya sudah mulai tertarik dengan dunia seni, khususnya tarian. Mufi belajar menari saat di Sekolah Dasar. Tapi saat itu ia belum begitu dalam mempelajarinya. Dan saat kuliah; saat hendak melanjutkan kesenangannya menari, ia tidak tahu harus ke mana—bahkan nyaris berhenti menyukai tari sebab tidak tahu arah dan bagaimana cara mengaksesnya. “Waktu itu aku tidak tahu harus ke mana dan harus bekerja sama dengan siapa. Belum lagi masalah komunikasi,” terangnya.
Namun, setelah ia lulus kuliah tahun 2017, pintu gerbang kesenian itu mulai terbuka untuknya. Mufi mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan tari inklusif dari British Council—organisasi kebudayaan dari Inggris yang bergerak di bidang pendidikan—yang akhirnya mengubah hidupnya. “Karena, kata mereka, orang Tuli juga bisa ikut, jadi aku mulai mendaftar dan mengikuti programnya. Dan itu membuka pikiran dan hatiku terhadap kesenian,” katanya.
Sejak saat itulah, Mufi terus berproses dan akhirnya bisa bekerja sama dengan banyak pihak, mulai dari penyanyi, pembuat lagu, dan perfoming arts lainnya. Hingga pada 2019, ia bekerja sama dengan Pamungkas dalam pagelaran musik We The Fest—dan itu yang pertama kalinya, katanya.
“Jadi tantangannya adalah, pertama lagunya berbahasa Inggris, sedangkan aku pakai bahasa Indonesia. Belum lagi pakai bahasa isyarat Indonesia. Jadi kan ada tiga kali penerjemahan: Inggris ke Indonesia dan Indonesia ke isyarat. Meski lagunya ada yang bahasa Indonesia, tapi maknanya terlalu dalam. Contoh, “sudah terlambat”, itu maksudnya apa? Sudah terlambat datang atau terlambat waktu? Ternyata maknanya adalah mengenai orang yang mencintai tapi sudah diambil orang lain dan itu katanya sudah terlambat,” jelas Mufi, sembari tertawa, yang tentu membuat kami semua ikut tertawa.
Dalam dunia musik, selain Pamungkas, beberapa musisi dunia juga pernah menghadirkan juru bahasa isyarat dalam konser mereka, seperti Lamb of God, Eminem, Red Hot Chili Peppers, Kendrick Lamar, dan Snoop Dogg. Dan selain Mufi, orang-orang seperti Lindsay Rothschild-Cross, Laura M. Schwengber, Amber Galloway Gallego, dan Holly Maniatty, juga pernah menjadi juru bahasa isyarat dalam konser musik.
Tapi Mufi tetap lebih istimewa. Sebab, dari nama-nama yang disebut, hanya dia yang seorang Tuli dan penampilannya di We The Fest tak kalah dengan Lindsay Rothschild-Cross—yang normal dan tumbuh dengan mendengarkan Guns N ‘Roses, Alice in Chains, dan Iron Maiden—saat tampil bersama Lamb of God di Austin, Texas, pada 20 Juni 2018 silam.
Kini, sebagaimana telah disampaikan dalam laman In-Docs, Mufi benar-benar bekerja sebagai seorang seniman. Selain itu, ia mendirikan komunitas Fantasi Tuli yang memiliki visi mendorong teman Tuli untuk bergerak mewujudkan ide kreatif, mengembangkan passion, keterampilan seniman atau karya kesenian Tuli.
Selama kariernya menjadi seniman, selain bekerja sama dengan Pamungkas, sebelumnya ia pernah terlibat sebagai produser dan penulis film Silent on Sound yang diputar di Shanghai Deaf Film Festival 2018 dan menjadi sutradara film Kereta Kita yang memenangkan Festival Film Pendek Jakarta 2019. Dan seperti yang ditampilkan di akhir film Senandung Senyap, Mufi juga menciptakan lagu berjudul Power, yang berkisah tentang kesetaraan untuk orang Tuli.
Perlakuan Terhadap Teman Tuli
Di negara ini, orang Tuli kerap diharuskan berkomunikasi secara lisan daripada menggunakan bahasa isyarat. Padahal, menurut Mufi dalam Senandung Senyap, “Bahasa oral (lisan) bukan bahasa asli orang Tuli. Bahasa orang Tuli adalah bahasa isyarat.”
Mufi, misalnya, hidup sebagai satu-satunya seorang Tuli dalam keluarga, ia merasa tersisih dalam banyak percakapan keluarga karena kesulitan memahami percakapan cepat. Baru setelah dewasa, Mufi mulai bisa menggunakan bahasa isyarat sehari-hari dengan teman-teman terdekatnya. Begitulah umumnya orang dengar memperlakukan orang Tuli.
Selama ini, seperti yang telah disampaikan Aditya Widya Putri dalam artikelnya di Tirto.id, disabilitas—termasuk teman Tuli—masih menjadi kelompok yang dipandang hanya sekadar angka. Bahkan untuk “sekadar angka” pun datanya tidak pernah mutakhir. Keberadaan mereka baru dianggap menjelang musim pemilu untuk menambah jumlah suara.
Data paling anyar, menurut Putri, soal disabilitas anak contohnya, hanya tersedia pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jumlah anak dengan disabilitas berumur 5-17 tahun di Indonesia mencapai 265.470 anak.
Sedangkan, menurut data dari Kemdikbud jumlahnya lebih banyak, mencapai 2,2 juta anak disabilitas pada rentang umur 5-19 tahun, di tahun yang sama. Jika dianalisis berdasar Riskesdas, proporsi disabilitas anak paling banyak berada di Pulau Jawa (139.542), kemudian Sumatera (63.325), Sulawesi (20.977), Kalimantan (16.910), Nusa Tenggara dan Bali (16.211), dan terakhir Papua (8.505).
Lalu, dengan jumlah yang banyak itu, khususnya anak-anak, bagaimana dengan hak pendidikan mereka, misalnya? Mudah dijawab: itu bak jauh panggang dari api.
Mari melihat contoh ketimpangan akses pendidikan bagi disabilitas. Tak perlulah jauh-jauh ke wilayah timur Indonesia, kata Putri, di Provinsi Jakarta saja—yang sampai sekarang masih jadi ibukota negara—jumlah SLB belum juga merata.
Lanjutnya, akses SLB paling banyak berada di Jakarta Selatan (28), Jakarta Timur (25), dan Jakarta Barat (21). Sementara Jakarta Utara hanya 9 SLB, dan Jakarta Pusat hanya 6 SLB. Kepulauan Seribu malah tidak punya SLB sama sekali. Kalau Jakarta saja kondisinya demikian, bagaimana dengan daerah-daerah di pelosok?
Dalam konteks orang Tuli, bahasa isyarat adalah hak komunitas mereka. Itu sangat penting. Bahkan, saking pentingnya, setiap 23 September diperingati sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya bahasa isyarat dalam mewujudkan hak asasi manusia bagi semua kalangan, khususnya bagi kalangan teman tuli atau penyandang disabilitas rungu.
Komnas Perempuan melalui rilisnya menyampaikan, sebagaimana dikutip Yulaika Ramadhani dalam Tirto.id, perayaan Hari Bahasa Isyarat Internasional memupuk harapan terhadap meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mendukung identitas linguistik dan keragaman budaya bagi komunitas tuli maupun pengguna bahasa isyarat lainnya secara global.
Pada tahun 2021, Federasi Tuli Sedunia mencatat, terdapat sekitar 70 juta penduduk mengalami tuli di seluruh dunia. Lebih dari 80% tinggal di negara berkembang dan menggunakan bahasa isyarat beragam. Menurut PBB, di seluruh dunia dewasa ini terdapat sekitar 300 bahasa isyarat.
Di Indonesia terdapat dua jenis bahasa isyarat yang sering digunakan dalam berkomunikasi di kalangan teman Tuli, yaitu Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo). Penerapan SIBI ini diresmikan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 dan dibakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 30 Juni 1994. Hingga sekarang, SIBI masih digunakan sebagai bahasa pengantar komunikasi dalam kurikulum Sekolah Luar Biasa (SLB) (Tirto.id, 2021).
Namun, meski sudah diatur dalam UU, masih banyak orang yang enggan untuk berkompromi dengan teman Tuli—untuk menggunakan bahasa isyarat. Pada kenyataannya, lebih banyak orang dengar yang menginginkan orang Tuli berinteraksi dengan bahasa oral.
Tetapi, ada yang lebih mengerikan daripada itu, pemantauan Komnas Perempuan mencatat, perempuan tuli termasuk kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan seksual.
Dalam artikelnya Pentingnya Ketersediaan Bahasa Isyarat sebagai Hak Komunitas Tuli (Tirto.id, 2021) Yulaika menguraikan, Catatan Tahunan (CATAHU) 2021 Komnas Perempuan mencatat 8 perempuan tuli menjadi korban kekerasan seksual. Pada analisa CATAHU tersebut ditemukan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan mereka mengalami kekerasan adalah keterbatasan akses informasi terhadap seksualitas dan pencegahan kekerasan.
Kondisi ini diperburuk dengan ketidakpekaan Aparat Penegak Hukum terhadap cara komunikasi perempuan tuli korban kekerasan. Sementara itu, hak bahasa isyarat tidak selalu dipenuhi dalam berbagai kegiatan webinar. Di masa pandemi COVID-19, informasi terkait kesehatan maupun kebijakan pencegahan penularan COVID-19 lainnya, belum tersedia dalam bahasa isyarat.
Terlepas dari bagaimana negara—atau kita—memperlakukan orang Tuli, melalui film Senandung Senyap, kita belajar menjadi manusia yang memanusiakan manusia. Kehadiran orang-orang seperti Mufi ke dunia, adalah pelajaran nyata bahwa siapa pun bisa menjadi diri sendiri dan berhak menjadi apapun yang kita impikan—termasuk berkolaborasi dengan Pamungkas dan Tulus, misalnya, atau seperti kata Putu Bayuwestra, “Menyanyi lewat isyarat.”[T]
Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan menarik lainnya JASWANTO
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Made Adnyana