OBSESI untuk menggelar sebuah pameran buku internasional atau Bali International Book Fair (BIBF) memang agak berat, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba. Bali sudah memiliki modal kuat untuk menggelar BIBF karena nama Bali yang sudah dikenal serta keberadaan Bali sebagai destinasi wisata internasional.
Hal itu terungkap dalam diskusi Temu Buku Beranda Pustaka Festival Seni Bali Jani V bertajuk “Bali International Book Fair Roadmap: Peluang dan Tantangan” di gedung Citta Kelangen, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Minggu (23/7). Diskusi yang dipandu jurnalis IK Eriadi Ariana itu menghadirkan dua narasumber, yakni mantan anggota Komite Buku Nasional, Anton Kurnia serta pengelola penerbitan Pustaka Larasan Denpasar, Slamat Trisila.
“Mengadakan BIBF itu ide yang bagus. Pasalnya, Bali punya potensi yang besar, baik dari segi kultural, ekonomi dan juga perbukuan,” kata Anton Kurnia.
Dari segi jejaring, Bali juga cukup bagus, baik secara regional, nasional, maupun internasional. Demikian juga infrastruktur berupa tempat acara, transportasi, dan akomodasi sudah memadai. Potensi lain tentu saja dukungan pemerintah daerah maupun pusat.
Namun, Anton Kurnia menyarankan agar dibuat rencana dan strategi yang matang sebelum menggelar BIBF, selangkah demi selangkah. Langkah awal bisa dengan menggelar pameran buku secara nasional dan regional Asia Tenggara terlebih dulu. Selain itu, perlu dilakukan promosi terlebih dulu di berbagai pameran buku internasional sehingga bisa terbina jaringan nasional dan internasional dalam industri perbukuan. Langkah lain yang penting dipikirkan, menyelenggarakan fellowship untuk penerbit asing,
membuat program sastra dan wisata kultural sebagai bagian dari acara pameran serta bekerja sama dengan stakeholders perbukuan nasional.
Pekerjaan Rumah
Slamat Trisila menjelaskan nama Bali memiliki nilai jual tinggi untuk menggelar BIBF. Jika sungguh-sungguh akan menggelar pameran buku internasional, Bali pasti akan dilirik.
Namun, kata dia, obsesi Bali menggelar BIBF menghadapi sejumlah tantangan, antara lain minimnya pengalaman, kualitas kepanitiaan, daya dukung penerbit, serta waktu penyelenggaraan. Trisila menyebut sementara ini Bali baru memiliki ajang pameran buku berskala lokal, seperti Denpasar Book Fair, Hardiknas Book Fair, maupun Beranda Pustaka. Untuk bisa menggelar pameran buku berskala internasional, pengalaman itu menjadi penting. Pasalnya, kepanitiaan sebuah pameran buku internasional harus disiapkan secara matang.
“Dalam pameran buku internasional, semua unsur kepanitiaan benar-benar siap. Tak ada lagi cerita ketika ada pengunjung bertanya lalu panitia menjawab, ‘oh, nanti saya tanyakan dulu’. Karena itu, kepanitiaan yang solid perlu disiapkan matang jauh-jauh sebelumnya,” kata Trisila.
Menurut Trisila, setidaknya ada tiga pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama jika hendak membuat pameran buku internasional. Selain kepanitiaan yang solid, perlu juga ada sekretariat tetap yang merepresentasikan kepanitiaan serta jembatan untuk berkomunikasi pada para pihak yang berkepentingan.
Pekerjaan berikutnya membangun relasi dengan para pemangku kepentingan industri perbukuan di Bali, maupun nasional dan internasional. Hal lain yang tak kalah penting juga, memanfaatkan teknologi secara maksimal untuk promosi dan komunikasi.
Pameran buku internasional, imbuh Trisila, harus berangkat dari pemikiran untuk memajukan industri perbukuan. Berbicara industri perbukuan berarti menyangkut suatu ekosistem yang berkaita satu sama lain, seperti penulis buku, penerbit, distributor, toko buku, hingga pembaca.
Di Bali, kata Trisila, hingga kini baru tercatat ada 16 penerbit yang menjadi anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Dari 16 penerbit itu, baru separuh yang bergerak dalam penerbitan buku-buku umum. Tiras buku yang diterbitkan di Bali pun umumnya maksimal 500 eks, kecuali beberapa buku tertentu yang dicari pembaca, bisa dicetak 2.000—3.000 eks. [T]