HARI PERTAMA hingga hari keempat, hari singkat yang sangat melekat di hati. Sejak pertama menginjakkan kaki di Philadelphia, kami (Indonesian cohort) masih merasa ini mimpi.
Sejak kapan kami sampai di benua yang berbeda dengan benua tempat kami lahir dan besar? Kami seakan tiba-tiba saja berada pada waktu dan suasana sangat jauh berbeda dari yang kami alami seperti biasanya.
Hari pertama kami hanya melakukan makan malam bersama, sembari menunggu delegasi negara yang belum sampai. Itulah hari pertama kami mencoba makanan dengan menu baru yang bukan menu Indonesia. Terkejut. Itulah hal pertama yang saya dan teman-teman Indonesia rasakan.
“Kok gini rasanya,” ucap Yusuf.
“Aneh,” sambung Farah.
Ya, kurang lebih itulah ekspresi kami ketika pertama kali mencoba makanan di luar ekspektasi kami.
Terasa banyak merica, asin, sangat aneh di lidah kami. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu makanan yang tersedia untuk makan malam perdana.
Bersama teman-teman yang ikut program di Temple University | Foto: Dok Anggreny
Pengalaman yang benar-benar luar biasa. Ternyata hari pertama saja kami sudah mendapatkan culture shock. Makanan yang berbeda, cuaca yang seharusnya panas namun dingin bahkan hujan.
Yang paling membuat kami terkejut adalah: Jam 8 malam matahari, di langit masih bersinar terang. Dan fenomena matahari tenggelam, sunset baru kami temukan pukul 9 malam.
***
Menuju pagi hari besoknya saya terbangun pukul 4 pagi. Dan benar saja. Matahari sudah mulai bersinar terang. Benar-benar malam yang sangat singkat.
Di samping itu, bangun pagi bersama beberapa teman kamar kami yang berasal dari timur tengah pun membuat kami merasakan culture shock lainnya. Mereka terbiasa bangun pukul 8 atau pukul 9 pagi.
Sementara sangat berbeda dengan budaya di Indonesia yang kebanyakan akan bangun pada pukul 6 atau pukul 7 pagi. Contoh saja di keluarga saya sendiri, ibu saya bangun pada pukul 5 pagi dan langsung siap-siap untuk memasak.
Ternyata begitu banyak perbedaan yang kami rasakan.
Namun ada hal sungguh berkesan yang kami temukan. Warga setempat di sekitaran universitas sangat taat lalu lintas. Mereka akan tetap membiarkan pejalan kaki menyeberang terlebih dulu walaupun lampu lalu-lintas untuk pengendara sudah menyaloa hijau.
Selain itu teknologi mereka yang benar-benar canggih membuat saya kagum. Kereta api bawah tanah, pengairan tanaman dari bawah sedemikian rupa, dan masih banyak lagi Dengan hanya menggunakan satu kartu saja sudah bisa mengakses sebagian besar transportasi di sini. Jadi, sangat modern.
Bangunan-bangunan kampus pun beberapa bagian terlihat sangat unik. Seperti kastil-kastil di kerajaan, megah dan terlihat mewah. Orang di sini pun terlihat tidak peduli, mereka cenderung cuek dan bekerja sendiri. Namun bahayanya, karena daerah ini melegalkan senjata, jadi harus tetap waspada dan tidak merespon orang yang tidak dikenal.
***
Berlanjut pada pembelajaran hari pertama. Kami mendapatkan orientasi kampus mengenai Temple University, tempat kami belajar. Di mana titik titik amannya dan ternyata banyak sekali telepon darurat yang tersedia di sekitaran kampus. Mereka benar-benar menjamin keselamatan dan kenyamanan mahasiswanya.
Kemudian pembelajaran hari kedua, kami mengunjungi museum. Di sana kami mendapat penjelasan mengenai sosok William Penn. Yang ternyata merupakan pendiri dari Pennsylvania.
Kami belajar | Foto: Dok Anggreny
Disamping itu kami juga mempelajari tentang George Fox, yang merupakan pendiri dari Kaum Quaker. Ah, saya jadi ingat dengan Quaker oatmeal yang terkenal itu, mungkin saja sama pendirinya sehingga namanya pun sama, Hahaha.
Kami juga diajak mengunjungi gereja, dimana merupakan gereja bersejarah yang ada di Philadelphia.
Berlanjut hari ketiga dan keempat, aktivitas kami disibukkan dengan workshop pluralisme dan leadership, juga action plan yang akan kami rencanakan ke depannya setelah program yang kami ikuti ini selesai.
Aktivitas pembelajaran yang singkat, namun melekat. Dan banyak waktu kosong untuk kami eksplor lebih jauh mengenai tempat kami berada.
Sore hari kami diajak wisata ke City Hall. Tempat itu bisa dibilang alun-alun kota, dimana ada banyak tempat bersejarah disana. Terutamanya saja, patung William Penn yang berada di atas gedung yang sangat tinggi.
Pertama kalinya juga saya merasakan sensasi naik kereta di bawah tanah. Kemudian berkeliling menuju Chinatown. Mencoba Hot Pot, bersama teman-teman seharga 330$ yang kalau di Indonesia bisa untuk membeli satu buah ponsel keluaran terbaru.
Luar biasa sekali pengalaman ini.
Hari Sabtu dan Minggu kami libur. Namun kami isi dengan aktivitas olahraga atau sekedar berkeliling untuk melihat kampus dan tempat berfoto ria. Ternyata waktu berjalan, tidak terasa kami sudah menghabiskan satu minggu di tempat ini.
Pernah suatu malam saya dan teman saya merindukan rumah. Rindu masakan Indonesia, dan orang-orang nya yang ramah. Hingga kami sampai pada pemikiran, mengapa orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri bisa berlama-lama.
Kami yang baru satu minggu saja terasa sudah bertahun-tahun lamanya. Ah, saya jadi ingat kata Tuk Dalang di animasi Upin Ipin. “Walaupun negara orang lain hujan uang, dan negara sendiri hujan batu. Memang lebih baik di negara sendiri”.
Ya, saya baru merasakan ini, culture shock yang beberapa kali membuat saya ingin cepat pulang.
Foto: Dok Anggreny
Namun, meski rindu kampung halaman, kami tetap semangat untuk belajar di negeri ini. Kami tentu tak akan mau menyia-nyiakan kesempatan. Culture shock adalah hal biasa, dan hanya orang-orang yang punya keinginan belajar-lah yang bisa melewati culture shock dengan tenang.
Soal kuliner? Ah, saya tentu harus belajar membiasakan lidah. Dalam ilmu komunikasi (ilmu yang saya pelajari di STAHN Mpu Kuturan Singaraja), saya belajar komunikasi lintas budaya, dan tentu di dalamnya ada juga komunikasi kuliner, komunikasi menggunakan lidah dan indra pengecap.
Satu minggu adaptasi, kami benar-benar mencoba membiasakan diri. Ya semoga saja, tetap bisa bermimpi untuk di sini, namun juga tak lupa dengan tanah air yang kami miliki. [T]