INDONESIA PATUT berbangga memiliki Bali. Kesenian tradisional masih bertahan hidup di masyarakat hingga hari ini. Sementara di daerah lain, utamanya di Pulau Jawa, kesenian tradisional memiliki nasib yang kurang menguntungkan. Ada yang punah tergerus zaman. Ada pula yang terengah-engah dalam persaingan dengan budaya modern.
Dua hal turut mendukung kelestarian kesenian tradisional Bali.Pertama, kesenian tradisional Bali menjadi bagian tak terpisahkan dari adat dan agama masyarakat Bali. Hampir semua komunikasi ritual, adat, dan agama diwarnai dengan kesenian tradisional; baik berupa tarian, tembang maupun tetabuhan.
Kedua, industri pariwisata di Bali tumbuh pesat lantaran didukung oleh atraksi seni budaya yang khas. Wisatawan domestik dan mancanegara yang datang ke Bali bukan hanya ingin melihat pantai atau sawah, namun juga menyaksikan adat, budaya, dan kesenian tradisional. Tanpa adanya kesenian tradisional, Bali tidak akan menjadi destinasi wisata yang menarik.
Sementara daerah lain di Indonesia, yang juga memiliki destinasi wisata indah kurang diminati wisatawan karena tidak didukung oleh potensi seni budayanya. Kesenian tradisional di daerah seringkali ada dalam kondisi hidup enggan, mati pun tak mau. Padahal di masa lalu hampir setiap desa di Tanah Air memiliki kesenian tradisional.
Regenerasi
Gaya hidup modern dan komunikasi era baru kerap dianggap sebagai faktor yang membuat kesenian tradisional tidak dapat bertahan dan berkembang di daerah. Orang lebih asyik di depan gawai sambil menyaksikan berbagai totonan, ketimbang harus datang ke lokasi pertunjukan kesenian tradisional.
Hasil penelitian terhadap keberadaan kesenian tradisional Ebeg (Kuda Lumping) di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menunjukkan adanya tiga hal serius (Chusmeru, 2011). Pertama, proses komunikasi dan pelestarian kesenian tradisional terkendala oleh regenerasi pelaku kesenian.
Generasi muda merasa enggan menjadi pelaku kesenian tradisional. Alasannya malu saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman-teman jika menjadi pemain kesenian. Apalagi adanya stigma terhadap pemain kesenian yang dianggap kuno dan dekat dengan hal-hal klenik. Hal ini tentu saja menghambat proses komunikasi dan regenerasi dari pelaku kesenian tradisional yang telah berusia lanjut kepada yang muda.
Kedua, ditemukan problem organisasional pada kesenian tradisional di daerah. Banyak kelompok kesenian yang tidak memiliki struktur organisasi resmi. Hal ini akan berpengaruh terhadap proses pembinaan kesenian tradisional oleh pemerintah. Keterbatasan pengetahuan dan pendidikan para pelaku kesenian di daerah menyebabkan kesenian tidak terorganisasi dengan baik.
Ketiga, ada masalah finansial yang menghantui kesenian tradisional di daerah. Kelompok kesenian biasanya dikelola secara sosial dan nonprofit. Sementara berbagai peralatan dan perlengkapan kesenian memerlukan perawatan yang membutuhkan biaya.
Sumber penghasilan yang digunakan untuk operasional perawatan adalah honor pementasan. Padahal jadwal pentas kesenian tidak menentu, karena masyarakat kini lebih memilih menanggap hiburan musik organ tunggal ketimbang kesenian tradisional.
Faktor yang menjadi penghambat pelestarian dan regenerasi membuat kesenian tradisional semakin terpinggirkan. Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah penyelamatan agar kesenian tradisional kembali menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.
Revitalisasi
Setiap daerah memiliki jenis kesenian tradisional yang khas dengan permasalahan masing-masing. Langkah penyelamatan diperlukan agar masyarakat tidak kehilangan orientasi dan jatidirinya. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan revitalisasi agar kesenian yang nyaris punah dapat kembali hidup, dan yang terpinggirkan dapat berperan kembali dalam komunikasi dan kehidupan sosial budaya masyarakat.
Revitalisasi kesenian tradisional dapat dilakukan secara edukasional, institusional, dan relasional. Langkah edukasional ditempuh dengan menjadikan kesenian tradisional bagian dari kurikulum atau muatan lokal di sekolah, sejak tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Dengan demikian, kecintaan terhadap kesenian tradisional sudah terbangun sejak dini.
Secara institusional, kesenian tradisional dapat diselamatkan dengan pembuatan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pelestarian kesenian tradisional di daerah. Hal ini memerlukan komitmen legislatif dan eksekutif dalam upaya revitalisasi kesenian tradisional.
Secara kelembagaan, kesenian tradisional juga dapat dipertahankan melalui pembentukan kelompok-kelompok kesenian di daerah. Patut dicontoh apa yang terdapat di Bali, dimana setiap desa memiliki sekeha (kelompok) kesenian tradisional. Tak heran jika kesenian tradisional di Bali masih bertahan sampai kini.
Pemerintah di daerah berkepentingan untuk menyelenggarakan festival kesenian secara rutin. Dengan demikian kelompok-kelompok kesenian terpacu untuk berkreativitas. Festival kesenian juga menjadi bagian dari komunikasi sosial masyarakat dengan akar-akar budaya mereka. Lagi-lagi Bali patut dicontoh. Setiap tahun Bali menggelar Pesta Kesenian Bali (PKB) yang diikuti oleh kelompok kesenian di seluruh kabupaten di Bali.
Langkah relasional berupa kemitraan dengan pihak-pihak yang selama ini diuntungkan atau memiliki kepedulian terhadap kesenian tradisional. Sejauh ini industri pariwisata diuntungkan dengan kesenian yang ada di daerah. Maka sudah sewajarnya jika pemangku kepentingan di sektor pariwisata ikut melestarikan kesenian tradisional.
Revitalisasi kesenian tradisional bukan hanya memerlukan tenaga, tetapi juga membutuhkan biaya. Pihak pengelola objek dan daya tarik wisata, biro perjalanan, perhotelan, dan restoran dapat menyisihkan sebagaian keuntungan mereka untuk program pelestarian kesenian.
Bentuknya bisa berupa kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan menjadikan kelompok kesenian di daerah sebagai “anak angkat”. Kepada kelompok kesenian diberikan bantuan finansial untuk melestarikan keseniannya. Bisa juga memberi kesempatan kepada kelompok kesenian untuk tampil dalam penyambutan wisatawan di tempat usaha mereka.
Revitalisasi kesenian tradisional sejatinya bukan sekadar menyelamatkan kesenian, namun juga menyelamatkan generasi. Revitalisasi diharapkan mampu menempatkan kesenian tradisional dalam tatanan kehidupan sosial yang lebih beradab. Komponis Stephen Sondheim menegaskan, kesenian adalah sebuah upaya untuk mencapai tatanan dari kekacauan.[T]