MATAHARI SUDAH BERGERAK naik ketika saya sampai di Pasar Bendo, pasar tumpah yang terletak di dekat pertigaan Kediri-Blitar, Jawa Timur.
Beberapa pedagang masih menggelar dagangan mereka. Jelalatan mata saya mencari buah pepaya yang sudah masak.
Setelah melewati tiga pedagang, mata saya menangkap 5 buah pepaya, dua masih berwarna hijau dan selebihnya memerah.
Saya hentikan sepeda tepat di lapak milik perempuan dengan wajah keruh. Saya taksir usianya lebih dari 70 tahun. Rambutnya yang semuanya memutih terlihat awut-awutan.
Lapaknya hanya berupa alas terpal plastik dengan ukuran 1 x 1,5 meter. Di atasnya ada 5 pepaya utuh, potongan pepaya mentah, 3 bunga pisang, beberapa jeruk nipis dalam keranjang kecil dan 2 labu siam.
“Monggo,” ujarnya lirih. Suaranya parau.
Saya pilih pepaya yang berukuran paling kecil dan sudah matang. Di rumah saya tidak punya kulkas. Sehingga dalam dua hari satu buah pepaya harus sudah habis. Sebab jika tidak akan membusuk.
“Yang ini berapa, Bu?”
“Coba saya lihat dulu.”
Perempuan renta itu mengulurkan dua tangannya untuk mengambil pepaya di tangan saya.
Pepaya yang saya taksir seberat 1,5 kilogram itu didekatkan ke matanya, hingga sekira 15 sentimeter.
“Sepuluh ribu saja.”
Saya keluarkan selembar Rp50 ribu dari dompet kemudian saya berikan padanya. Tapi dia tidak merespon.
“Ini uangnya, Bu.”
“Mana?”
Saya baru menyadari, pengelihatan perempuan tua ini mengalami gangguan. Segera saya ulurkan hingga uang tersebut menyentuh jari-jari tangan kanannya.
Reflek jarinya menggepit lembaran lima puluh ribuan itu, kemudian mendekatkannya pada kedua matanya.
“Kok uang besar. Apa tidak punya uang pas?”
Saya menyesal tadi kenapa tidak membawa yang kecil.
“Mohon maaf, Bu. Saya tidak bawa uang pas.”
Belum sempat saya menyelesaikan ucapan, dia segera beringsut ke toko kelontong kecil di belakang lapaknya.
Dua menit kemudian dia sudah membawa beberapa lembar uang.
“Tolong sampean hitung.”
Setelah saya hitung, jumlahnya lima puluh ribu. Terdiri dari dua lembar Rp20 ribuan dan selembar Rp10 ribuan. Saya berikan yang sepuluh ribu padanya.
“Matur nuwun,” ujarnya, masih dengan suara yang serak.
Saya selalu kagum dengan orang-orang yang masih tetap mandiri dengan segala keterbatasannya. Mereka mencari uang dengan penuh martabat.
Saya tidak tahu pasti, kenapa perempuan penjual pepaya tersebut masih tetap mencari uang dengan kondisi raganya yang serba terbatas.
Ah, kehidupan nyata memang tidak seindah seperti yang diimajinasikan tukang dakwah dan politikus wangi yang gemar mengatas-namakan rakyat.
Setahun lagi negeri ini akan kembali masuk dalam tahun politik yang hampir pasti akan sangat berisik. Dan para paria itu hanya akan menjadi tumbal untuk syahwat kuasa mereka. [T]