SALAH SATU TOKOH dalam epos Ramayana, Surpanaka, tampaknya memiliki keistimewaan tersendiri bagi Cok Sawitri, sastrawan sekaligus seniman dari Bali.
Seniman yang akrab dipanggil Cok itu, menuangkan kisah-kisah tersembunyi Surpanaka ke dalam sebuah pertunjukan monolog yang dipentaskannya sendiri pada rangkaian Mahima March March March, di Rumah Belajar Komunitas Mahima Jl. Pantai Indah III, Singaraja, Kamis, malam 30 Maret 2023.
Surpanaka adalah adik kandung Rahwana dalam epos Ramayana. Kisah cintanya terhadap Rama tidak berbalas. Begitu juga terhadap Laksamana. Surpanaka ditolak oleh kedua lelaki tampan itu. Sebagai salah seorang figur dalam kisah Ramayanan, selampah lakunya sering terlupakan. Kisah hidupnya tak banyak menarik perhatian pembaca dan peneliti untuk menulis atau membelanya.
Namun, tidak dengan Cok Sawitri, dalam pertunjukkannya pada malam itu, secara tidak langsung, ia berusaha menunjukkan “pembelaannya” atas Surpanaka yang selalu dinilai hanya menggunakan satu sudut pandang semata.
Sebuah Pembelaan
Dalam pementasannya, Cok Sawitri yang diiring Komunitas Mahayana, Ningan, Karangasem, itu tampil sangat total. Ia berdandan arja, menembang (bernyanyi) dan melenggok dengan anggun di atas panggung saat membawakan kisah rumit percintaan Surpanaka.
Cok menjelma menjadi Surpanaka yang lain dari gambaran selama ini—yang bertaring, yang kasar, jahat, dan memiliki wajah tua-jelek dengan perut buncit dan bermata juling.
Dikisahkan Surpanaka sedang berjalan-jalan di sebuah hutan dekat telaga. Di sanalah ia berjumpa dengan lelaki tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Hanya telaga itu satu-satunya alasan untuk dia datang.
Betapa indah kisah cinta Sang Surpanaka. Perasaan yang berbunga-bunga ketika melihat pujaan hati. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Surpanaka bersedih, kecewa dan marah. Hatinya hancur, cintanya tak sampai.
“Kisah-kisah seperti ini tidak banyak diketahui oleh orang-orang. Kecuali bagi mereka yang benar-benar membaca epos tersebut,” ujar Cok Sawitri.
Pementasan Arja Siki Cok Sawitri di Komunitas Mahima
Cok Sawitri menggambarkan sosok Surpanaka sebagai perempuan anggun dan lembut; sosok yang berani juga tangguh. Tapi, di balik gambarannya yang demikian, sosoknya tetap gagal memikat Laksamana, adik Sang Rama. Laksamana justruilfeel karena keberanian Surpanaka, sebagai seorang perempuan, mengungkapkan isi hatinya terlebih dulu.
“Surpanaka karena merasa jatuh cinta, dia duluan yang nembak. Tapi justru hal itu membuat si laki-laki memandang perempuan menjadi tidak anggun. Padahal apa salahnya perempuan nembak duluan?” imbuhnya.
Dalam kisah tersebut, bukan saja hanya memandang dunia secara hitam-putih, atau penyampaian kisah sepihak, tapi juga dengan jelas meluliskan patriarki, betapa laki-laki lebih dominan dalam hal apapun.
Tak dapat dimungkiri bahwa sejarah peradaban manusia didominasi oleh peradaban patriarki. Peradaban ini telah menggiring dan menjadikan perempuan tak ubahnya sebuah properti. Sebagai sebuah properti kebudayaan, perempuan “dituntut” agar tumbuh berkembang sesuai kehendak laki-laki.
“Jadi, malam ini, saya akan menggugat kalian semua,” ucap Cok saat memantaskan Arja Siki Surpanaka.
Pada akhirnya, Surpanaka berakhir kecewa. Ditatapnya telaga. Ia memejamkan mata dan membiarkan kuasa-kuasa keangkuhan itu hadir untuk menjelaskan kepada Laksamana, bahwa tak ada salahnya perempuan membebaskan dirinya untuk menyampaikan cinta.[T]