NYOMAN SUDARMAJA DUNIAJI tutup usia, Minggu, 3 Desember 2022. Semasa hidupnya ia pernah dikenal sebagai politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkemuka di Buleleng. Dan, sebagai politikus, kepergiannya tentu saja meninggalkan sejuta kisah politik—dari kisah politik paling cemerlang hingga kisah kisah politik yang membuatnya terpuruk.
Ia sudah sejak lama menderita sakit diabetes dan kerap bolak-balik ke rumah sakit untuk berobat. Sebulan lalu, kondisinya sempat menurun. Selain menderita diabetes, terakhir ia divonis terserang stroke batang otak. Penyakit itu sempat membuat daya ingatnya menurun. Ia meninggal di RSUD Buleleng saat menjalani perawatan. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Desa Bubunan, Seririt, Buleleng.
Generasi muda di Buleleng, saat ini, termasuk kader muda PDIP, barangkali tidak banyak yang mengenal Nyoman Sudharmaja Duniaji. Tentu saja sejak sekitar dua kali masa Pemilu namanya tak banyak disebut-sebut. Ia tidak menjadi anggota Dewan, tidak menjadi pejabat, dan tidak banyak melakukan kegiatan politik.
Padahal, pada masa politik yang begitu gawat di tahun 1990-an, menjelang lengsernya kekuasaan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, nama Sudharmaja Duniaji selalu menjadi pembicaraan. Ia masuk dalam jajaran politisi muda yang turut andil dalam gerakan reformasi.
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) saat itu terbelah dua. PDI Soeryadi yang diakui pemerintah dan PDI Megawati Soekarno Putri (PDI Pro Mega) yang tak diakui pemerintahan Soeharto. Dan, Sudharmaja berada pada barisan PDI Pro Mega dan terus berjuang membesarkan partai. Saat itu tak banyak orang atau tokoh yang berani terang-terangan masuk PDI Pro Mega karena takut pada pemerintahan Orde Baru.
Namun Sudharmaja Duniaji jalan terus. Ketika Orde Baru jatuh, dan PDI Pro Mega berubah menjadi PDI Perjuangan atau PDIP, nama Sudharmaja makin cemerlang sebagai politisi andal dari PDIP. Sebagai ketua DPC PDIP Buleleng saat itu ia mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Buleleng pada Pemilu 1999. Dan saat itu PDIP mendapatkan 31 kursi, termasuk kursi untuk Sudharmaja. Makin naik karir politiknya, ia menjadi Ketua DPRD Buleleng periode 1999-2004.
Saat itu terjadi pergolakan politik di Buleleng. Bupati Buleleng Wirata Sindu yang dianggap produk Orde Baru, digulingkan. Dan digelarlah Pemilihan Bupati pertama pada era reformasi, tahun 2002, untuk memilih pengganti Wirata Sindu.
Pada Pilkada itu, Sudharmaja menjadi calon bupati berpasangan dengan Nyoman Sudiana sebagai calon wakil bupati. Saat itu Pilkada belum dilakukan secara langsung, masih dipilih oleh anggota DPRD.
Peluang menang Sudharmaja yang dicalonkan oleh Fraksi PDIP saat itu sangat besar. Dari 45 anggota DPRD Buleleng hasil pemilu legislatif (pileg) tahun 1999, PDIP menduduki 31 kursi. Artinya, jika semua anggoa Fraksi PDIP memilih calon kepala daerah dari PDIP pastilah Sudharmaja menang.
Tapi kenyataan dalam politik tak segampang hitung-hitungan jumlah kursi. Nasib Sudarmaja ternyata apes. Sejumlah anggota Fraksi PDIP membelot dan memilih calon lain yang bukan dicalonkan oleh Fraksi PDIP. Sehingga, saat kartu suara dihitung, kalahlah Sudarmaja. Pemenangnya adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati, Putu Bagiada dan Gede Wardana, yang dicalonkan oleh fraksi lain.
Kekalahan Sudarmaja saat pilkada itu membuat karirnya kian merosot. Apalagi kemudian ia tersandung kasus korupsi penyalahgunaan dana tirtayatra saat menjadi pimpinan DPRD. Karir politiknya hancur.
Pada Pemilu tahun 2004, ia tetap ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislative dari PDIP. Namun angin politik tidak memihaknya. Ia didaftarkan sebagai caleg PDIP di DPRD Bali dengan nomor urut 6. Saat itu PDIP meraih 5 kursi di DPRD Bali, dan Sudharmaja terlempar.
Sejak itulah namanya kemudian jarang disebut-sebut. Sementara dunia politik di Buleleng sudah dipenuhi dengan nama-nama baru sehingga nama Sudharmaja semakin lenyap sampai akhir hayatnya, Minggu 3 Desember ini.
Sosok Panutan
Di mata lima anaknya Sudharmaja Duniaji adalah sosok panutan. Ia dikenang sebagai sosok ayah yang bertanggungjawab dan penyayang. Ia selalu meluangkan waktu untuk keluarga.
“Dulu saat Bapak jadi Ketua DPRD tahun 1999-2004, kalau bicara pekerjaan ya pasti sangat sibuk. Tapi Bapak selalu ada untuk kami,” ujar Mega Paramitha, putri keempat Sudharmaja, di rumah duka di Desa Bubunan, Selasa, 6 Desember 2022.
Kendati sempat tersandung kasus korupsi, Sang Bapak tetap mengingatkan anak-anaknya agar tak salah langkah. Pengalaman Sudharmaja menjadi guru bagi istri dan anak-anaknya.
“Kami anak-anak tidak ada yang meniru jejak Bapak di politik. Karena banyak pelajaran yang kami dapat dari Bapak selaku tokoh politik. Jadi kami tidak memilih jalan itu,” ujarnya.
Apalagi, sebagai tokoh politik, Sudharmaja pernah nyaris kehilangan nyawa akibat ditebas golok di bagian kening. Ia diserang kawanan perampok saat tengah malam.
Atas pengalaman-pengalaman pahit itu. pihak keluarga pun sempat meminta Sudharmaja untuk mundur dari dunia politik. Tapi ia tetap bertahan. Ia teguh pendirian dan berjalan dengan idealismenya. “Kami lihat tekanan politik itu berat. Bapak tetap jalan, hati Bapak tetap untuk PDIP,” kata Mega Paramitha.[T]