31 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Nonton Bareng Piala Dunia, Melintas Dari Zaman ke Zaman

dr. Ketut Suantarabydr. Ketut Suantara
November 25, 2022
inEsai
Nonton Bareng Piala Dunia, Melintas Dari Zaman ke Zaman

Suasana menonton sepakbola Piala Duia di TV tahun 1970-an hingga 1980-an di desa-desa di Bali | Foto: Dok pribadi dr. Ketut suantara

“Bli, coba diulas sedikit mengapa Piala Dunia kali ini tak semeriah Piala Dunia-Piala Dunia sebelumnya,“ tantang seorang sahabat di sebuah grup percakapan yang beranggotakan teman-teman dokter sesama penggila bola.

Sepertinya ini keheranan dari kita bersama, penggemar bola, khususnya penikmat Piala Dunia yang telah menyaksikan Piala Dunia selama beberapa dekade.

Bagaimana sebuah event sepak bola terbesar, empat tahun sekali, diadakan di negara yang waktunya tak terpaut jauh dengan kita di sini. Dalam waktu seminggu sebelum peluit pertama dibunyikan, masih terkesan adem ayem seperti ini.

Sepak bola adalah sebuah bisnis besar, melibatkan begitu banyak pihak. Pemain dalam satu tim, penonton yang tergabung menjadi pendukung setia. Penyelenggara, sponsor dan yang tak kalah pentingnya adalah jurnalis, yang mengabarkan kejadian penting ini ke seluruh pelosok dunia. Baik melalui tulisan maupun siaran langsung dari lokasi penyelenggaraan.

Sebelum membahas secara mendalam tentang penyebab kesepian ini, saya ingin lebih dulu mengenang kembali Piala Dunia yang telah saya lewati. Setiap Piala Dunia yang saya ikuti seakan mewakili babakan kehidupan yang saya lewati, baik secara sosial, ekonomi, kejiwaan maupun kepribadian.

Piala Dunia 1986 Mexico adalah Piala Dunia pertama yang bisa saya ingat. Umur baru 9 tahun tapi sudah ikut begadang menonton aksi Maradona bersama keluarga dan tetangga.

Partai semi final dan final lengkap saya menonton  Aksi terbaik Maradona mengantarkan Argentina menjadi juara untuk yang kedua kalinya. Yang memprihatinkan, saat itu listrik belum masuk ke desa kami di gunung. Jadi kami menonton bola lewat televisi hitam putih dengan energi dari aki yang bisa bertahan selama beberapa jam dan setelah dayanya habis harus di setrum kembali di tempat penyetruman.

Dan saat situasi kritis, lampu kontrol di TV berwarna merah pertanda strum sudah mulai habis, segera terjadi kanibalisasi. Aki sepeda motor kakak yang kebetulan pulang kampung segera dibuka untuk menyambung hidup siaran Piala Dunia itu. Benar benar heroik.

Italia 90, Piala Dunia berikutnya menyisakan banyak kenangan. Juara Eropa 2 tahun sebelumnya, Belanda, sangat difavoritkan. Langkahnya terhenti oleh Jerman di babak 16 besar, ditandai insiden ludah Frank Rijkaard kepada Rudi Voeller, striker Jerman.

Tim favorit kami, keluarga dan tetangga di Desa Dapdaputih, Buleleng, adalah juara bertahan Argentina. Dikalahkan Kamerun di partai awal, tapi tetap bisa melaju ke babak berikutnya. Brazil dan tuan rumah Italia menjadi korban perjalanan Argentina menuju bababk final.

Juara akhirnya direbut Jerman, setelah mengalahkan Argentina, dengan gol penalti Andreas Brehme. Final ditandai dengan kartu merah untuk 2 pemain Argenitina, Pedro Monzon dan Gustavao Dezoti.

Tahun 1990, listrik belum juga masuk ke desa kami. Jadi untuk bisa menikmati aksi Maradona, Gullit, Lothar Mathaeus, kami setiap malam mesti mengembara ke rumah tetangga yang punya TV sekaligus aki atau jenset sebagai sumber energinya.

Kadang karena dalam semalam bisa ada 2 laga, dari petang sampai keesokan harinya kami menginap di rumah tetangga tersebut. Saat yang bersangkutan balik ke kota, kami mesti mencari tempat lain lagi untuk menonton.

Kadang kalau dikenang rasanya tanpa merasa malu kami menggedor rumah orang untuk ikut menonton, sedangkan si empunya TV tak ikut menonton karena tak menyukai bola. Begitulah kenangan terakhir menonton bola, sebelum listrik mengaliri desa kami tercinta.

Destinasi berikutnya adalah Amerika Serikat, tahun 1994. Piala dunia pertama di Negeri Paman Sam.

Pas liburan sekolah, jadi full bisa menonton. Listrik sudah menyala 24 jam, TV sudah dibelikan Bapak, jadi kami bisa menonton sepuasnya di rumah sendiri.

Saya ingat sebelum Piala Dunia digelar, sudah menyiapkan sumber energi tambahan, susu bubuk dilengkapi  bubuk coklat Milo untuk minum setiap malam, kebiasaaan yang tetap saya lanjutkan sampai Piala Dunia hari ini.

Tak banyak yang saya ingat tentang piala dunia ini. Jagoan saya Inggris tak maju ke putaran final. Jagoan lama saya Argentina tersingkir di babak kedua. Ditandai dengan terciduknya sang mega bintang Maradona yang menggunakan obat terlarang.

Yang bisa diingat penonton mungkin tarian menimang bayi yang dilakukan pemain Brazil, Bebeto, saat berhasil mencetak gol ke gawang lawan. Piala dunia akhirnya dimenangi Brazil dengan mengalahkan Italia di final lewat adu pinalti.

Piala dunia 1998 digelar di Perancis. Saya sudah mulai kuliah. Piala Dunia berlangsung saat masih ada jadwal kuliah. Kebetulan induk semang punya TV dan memperbolehkan kami anak kost untuk nonton. Sangat menyenangkan  Piala Dunia kali ini, TV berwarna tersedia di ruang tamu kost kami, dan boleh dibuka kapan pun kami mau.

Sekali waktu saya dan teman kost menyempatkan diri nonton bareng di kantor koran Nusra di Jalan Hayam Wuruk. Yang saya ingat di tengah keramaian , rasa kantuk tak bisa ditahan. Tak ada aksi pemain yang bisa saya lihat, justru seperti orang linglung pulang ke kost menahankan kantuk.

Yang bisa diingat dari Piala Dunia kali itu, hadirnya Zinedin Zidane, yang dengan dua golnya di final membawa Perancis ke tampuk juara dengan mengalahkan Brazil yang diperkuat oleh Ronaldo.

Inggris dikalahkan Argentina di babak 16 besar. Ditandai oleh insiden dramatikal Diego Simeone yang membuat bintang muda Inggris David Beckham mendapat kartu merah. 10 orang berhati singa dan seorang anak kecil, begitu tajuk koran-koran Inggris keesokan harinya mengomentari kekalahan Inggris malam itu.

Empat tahun berikutnya, untuk pertama kali Piala Dunia mampir ke tanah Asia. Jepang dan Korea Selatan berbagi kota untuk menjadi penyelenggara Piala Dunia kali ini. Gelaran yang sukses untuk kedua tuan rumah. Untuk kedua kalinya negara Asia bisa melewati babak penyisihan.

Yang pertama terjadi saat gelaran Piala Dunia 1966 di Inggris, tim Korea Utara melaju sampai babak perempat final sebelum dihentikan Portugal yang diperkuat Eusebio. Piala Dunia kali itu Jepang sampai ke 16 besar, sedang Korsel selangkah lebih jauh, sampai ke delapan besar.

Saat Piala Dunia itu digelar saya sudah tamat kuliah dan mulai bekerja di Buleleng bagian barat. Tempat yang tak terjangkau siaran TV terrestrial selama bertahun tahun.

Jadi even Piala Dunia maupun Piala Eropa terasa jauh buat mereka yang tinggal di sana. Saya sendiri tak sempat menonton banyak laga, karena mesti bergerilya ke rumah-rumah warga yang bisa menangkap siaran bola lewat parabola, biasanya mencari siaran dari negara lain.

Jadi sering terdengar komentator dalam Bahasa aneh, kadang Cina, kadang Arab mengiringi siaran langsung tersebut. Itu Piala Dunia paling pahit menurut saya. Juara sendiri diraih Brazil yang mengalahkan Jerman di final lewat dua gol yang dicetak Ronaldo.

Mulai edisi Piala Dunia ke-18  yang diadakan di Jerman pada tahun 2006 saya mulai bisa menikmatinya secara penuh. Saya sudah berdomisili di belahan Pulau Bali sisi selatan, bertugas di wilayah Busungbiu, yang walaupun masuk Kabupaten Buleleng tetapi secara geografi berada di sisi selatan pulau Bali.

Jadi tak ada istilah siaran langsung yang diacak (dihilangkan), untuk urusan Piala Dunia. Akhir pekan pun saya lewatkan di kota Negara, yang juga tak terkendala masalah siaran langsung ini, karena semua masih menggunakan siaran terrestrial.

Jadi sepanjang stamina memungkinkan kita dapat menonton full 64 pertandingan yang semuanya disiarkan oleh stasiun televisi nasional. Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang Piala Dunia ini maupun edisi-edisi berikutnya. Karena pasti masih terbayang jelas di ingatan teman teman pecinta bola.

Satu yang pasti, hampir semua laga saya nikmati sendiri, tanpa ada yang menemani. Fitrah saya sebagai makhluk sosial secara bertahap kembali menjelma menjadi makhluk individual.

Dan akhirnya edisi terbaru Piala Dunia tahun 2022 ini, diadakan kembali di wilayah Asia. Memilih tempat jazirah Arab, negara Qatar. Untuk pertama kalinya Piala Dunia tak dilaksanakan pertengahan tahun, justru di akhir tahun, mengantisipasi cuaca panas gurun.

Pelaksanaan Piala Dunia di akhir tahun, berlangsung saat kompetisi di Liga Eropa sedang berlangsung. Praktis para pemain cuma punya waktu istirahat seminggu jelang Piala Dunia dimulai. Barangkali ini berdampak pada kebugaran para pemain yang berkompetisi di liga elite Eropa.

Dan terbukti baru satu laga saja sudah terjadi kejutan. Dua tim langganan Piala Dunia, pemegang gelar Piala Dunia. Jerman dan Argentina, takluk pada tim tim Asia. Yang secara fisiologis mungkin tubuh pemain Asia lebih terbiasa dengan iklim panas di gurun.

Terlihat begitu menariknya sisa pertandingan yang akan tersaji nanti, dan saya tak sabar untuk melewatkannya nanti.

Dan yang sangat berbeda dengan Piala Dunia edisi sebelumnya, untuk Piala Dunia kali ini kita bisa menyaksikannya di HP kita. Dengan fasilitas video on demand, kita bisa berlangganan paket untuk bisa menonton Piala Dunia dari HP kita, kapanpun di manapun kita berada sepanjang ada wifi atau paket data di HP kita.

 Bahkan laga yang tak sempat kita saksikan kemarin, hari ini bisa kita lihat cuplikan bahkan siaran lengkapnya, sesuai keinginan dan waktu senggang kita.

Jadi begitulah pengalaman menonton Piala Dunia di televisi yang saya alami dari zaman ke zaman. Ada kontradiksi yang terjadi. Secara kualitas tayangan, yang semula hitam putih, sampai berwarna, hingga sekarang kualitas HD, benar benar memanjakan mata kita,.

Tersedianya layanan video on demand, membuat kita bisa mengatur waktu menonton kita, cukup memilih laga yang melibatkan tim favorit saja. Jujur, sampai hari kelima ini, saya paling cuma menonton lengkap laga Inggris dan Argentina, serta laga lain yang ditayangkan sore dan malam.

Yang main tengah malam dan dini hari, bisa saya lihat di hp saja keesokan harinya. Dan satu satunya sisi yang mungkin buruk, kita akhirnya lebih sering nonton sendirian. Kegiatan menonton yang sebelumnya menjadi ajang kebersamaan, berkumpul dengan teman, keluarga akhirnya menjadi sebuah kegiatan privat, terutama bagi saya pribadi. Sayang sekali.

Akhirnya dari kenangan saya ini, dapat sedikit menjawab kerisauan Ngurah, teman saya tadi, tentang sepinya Piala Dunia kali ini. Untuk menjawabnya lebih lengkap saya akan coba menuliskannya nanti. [T]

Gli Azzurri dan Jhumpa Lahiri
Selamat Ulang Tahun ke-40 Gianluigi Buffon, Kau Superman yang Loyal
Sihir Sepakbola dan Fanatisme Mengambang
Tags: olahragaPiala Duniasepakbola
Previous Post

“PR“ Itu Tak Akan Pernah Usai Bagi Guru

Next Post

Geo, Cokelat dan Puisi

dr. Ketut Suantara

dr. Ketut Suantara

Dokter. Lahir di Tista, Busungbiu, Buleleng. Kini bertugas di Puskesmas Busungbiu 2 dan buka praktek di Desa Dapdaputih, Busungbiu

Next Post
Geo, Cokelat dan Puisi

Geo, Cokelat dan Puisi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tembakau, Kian Dilarang Kian Memukau

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 31, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

PARA pembaca yang budiman, tanggal 31 Mei adalah Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan...

Read more

Melahirkan Guru, Melahirkan Peradaban: Catatan di Masa Kolonial

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 30, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

Prolog Melalui pendidikan, seseorang berkesempatan untuk mengembangkan kompetensi dirinya. Pendidikan menjadi sarana untuk mendapatkan pengetahuan sekaligus mengasah keterampilan bahkan sikap...

Read more

Menjawab Stigmatisasi Masa Aksi Kurang Baca

by Mansurni Abadi
May 30, 2025
0
Bersama dalam Fitri dan Nyepi: Romansa Toleransi di Tengah Problematika Bangsa

SEBELUM memulai pembahasan lebih jauh, marilah kita sejenak mencurahkan doa sembari mengenang kembali rangkaian kebiadaban yang terjadi pada masa-masa Reformasi,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co