BUFFON! Setiap mendengar nama ini, ada dua hal yang terbayang di benak; passion dan kesetiaan. Sebagai fans Juventus sejak awal milenium, selain Alex Del Piero, tentu saja saya menganggap Gigi – sapaan akrab Buffon- sebagai pemain yang paling spesial. Statusnya hampir sama dengan Del Piero, di mana mereka berdua bukanlah pemain hasil akademi Juventus, melainkan mulai berkembang di klub lain.
Del Piero mulai terlihat bakatnya di klub semenjana Italia, Padova, sementara sinar Buffon mulai benderang ketika memperkuat klub tradisional Serie-A yang pada era 90-an begitu disegani, yakni AC Parma. Buffon kemudian ditebus Juve dengan status kiper termahal dunia pada 2001.
Bagi saya, Buffon adalah kiper luar biasa, yang senantiasa disegani kawan maupun lawan. Ada sangat banyak kiper hebat yang terang-terangan mengaku begitu terinspirasi dari suksesor Del Piero sebagai kapten Juve ini, termasuk kiper yang dianggap rival abadi Buffon, Iker Cassillas.
Tak hanya sebatas kehebatan memblok bola, namun sikapnya yang selalu penuh semangat tanpa mengabaikan wibawa dan etika sebagai seorang profesional. Gigi selalu bermain penuh passion, tak henti-hentinya memotivasi rekannya baik dalam situasi unggul maupun tertinggal, begitu piawai membangkitkan semangat tim.
Ia merupakan langganan kiper terbaik di berbagai kompetisi. Dirinya juga merengkuh trofi paling bergengsi, Piala Dunia bersama tim nasional Italia pada 2006. Bersama Juventus, Buffon meraih semua gelar di Italia.
Sayang memang, prestasi Juve dengan Buffon-nya di kompetisi Eropa tak semulus di Liga. Tentu, semua orang tahu kisah memilukan seorang Buffon; gagal juara Liga Champions bersama Juventus di tiga edisi final. Kalah adu penalti dari Milan di 2003, ditekuk Barcelona 3-1 pada 2015, dan hancur 1-4 oleh Real Madrid musim lalu.
Selain kekalahan atas El Real tersebut, satu laga yang paling disesali Buffon adalah kekalahan 0-4 timnas Italia dari Spanyol di final Piala Eropa 2012. Saya lalu membayangkan, jika Juventus berhasil lolos ke final Liga Champions tahun ini lalu kalah lagi, maka Buffon akan mencetak rekor bertema tragedi yang epik; 4 kali final, semuanya kandas!
Daripada begitu, saya memilih berdoa Juventus tak usah lolos ke final saja. Saya sampai menangis dengan sunyi ketika Juventus kalah dari Real Madrid laga pamungkas Liga Champions musim lalu, mengingat itu adalah momen emas Buffon bisa meraih gelar Liga Champions Eropa.
Dan ketika Italia dipastikan tidak lolos ke Piala Dunia tahun ini, lantas melihat Buffon tak kuasa membendung air mata, maka getir mana lagi yang kau dustakan! Namun kemudian Buffon menyadari tak semua ekspektasi bisa tercapai. Ia dan Daniele De Rossi serta Andrea Barzagli memutuskan pensiun di timnas demi memulai era baru dan regenerasi Gli Azzuri.
Tak usah ditanya lagi, berkali-kali Buffon disodori tawaran mewah untuk bermain di klub wahid Eropa, semisal Barcelona dan Manchester United. Jawabannya tetap sama; TIDAK! Bahkan ketika badai terbesar datang menghempas Juventus, yakni terjerembab ke Serie-B akibat Calciopoli pada 2006, Buffon adalah satu dari beberapa pemain yang memilih setia, meski karirnya kemungkinan hancur.
Fabio Cannavaro, Lilian Thuram, Patrick Vieira, Gianluca Zambrotta serta Zlatan Ibrahimovic berbondong-bondong menyelamatkan karir dengan terbang ke klub lain. Satu hal yang wajar saja, namun tidak dengan Buffon. Segala tawaran pindah tak ubahnya seperti bangkai undur-undur yang mati akibat menabrak mata pengendara motor. Tidak ada artinya.
Juventus, bagi Buffon, sudah seperti roh dan jiwa, terbang tenggelam akan selalu ia peluk sepenuh hati. Dan Tuhan agaknya tersentuh juga pada kesetiaan Buffon. Setahun berlaga di kasta kedua, Juventus kembali ke Serie-A setahun kemudian dan kembali berjaya hingga saat ini.
Ketika bermain bola di sawah semasa kanak-kanak, saya sering didapuk menjadi penjaga gawang yang tiangnya memakai bambu. Maka jadilah saya membayangkan diri sendiri menjelma Buffon yang hebat. Saking semangatnya terbang menghalau bola, kepala lantas terbentur bambu gawang yang kekar. Hasilnya sudah jelas, kepala benjol lalu tak masuk sekolah selama dua hari. Begitu menginspirasinya kiper legendaris berjuluk ‘Superman’ itu, hingga nyaris tak punya haters, seperti halnya Andrea Pirlo atau Ronaldinho.
Minggu, 28 Januari kemarin, Buffon resmi berusia 40 tahun. Ia mengindikasikan akan gantung sarung tangan akhir musim ini, meski belum pasti. Jika memang pensiun di usia 40, ia bukanlah yang tertua dalam mengakhiri karir. Mantan kiper Lazio, Marco Balotta bahkan pensiun di usia hampir 43 tahun. Di pertandingan terakhir melawan Atalanta tengah pekan ini yang merupakan debut Buffon setelah cedera dan absen di beberapa laga, ia malah tampil heroik dengan berhasil menggagalkan tendangan penalti lawan sehingga Juve berhasil mempertahankan keunggulan.
Hal itu menandakan bahwa usia tak berpengaruh apapun baginya. Rasa-rasanya, baik Juventus ataupun timnas Italia belum bisa dibilang mempunyai calon suksesor Buffon. Sebutlah Gigio Donnarumma atau Mattia Perin. Meski sudah mempunyai beberapa caps di level timnas dan tampil konsisten di klub, saya rasa belum bisa menyamai Buffon muda sekalipun.
Buffon adalah representasi sebuah loyalitas sejati. Ketika ditanya perihal kemungkinan mencoba mencicipi bermain di klub atau liga lain sebelum pensiun, dengan senyum mantap yang mengingatkan kita pada wajah aktor Bollywood Akshay Kumar, ia menjawab: “Juventus atau tidak sama sekali”.
Ah, kurang setia apalagi coba! Buffon adalah idola dan inspirasi mutlak. Menurut saya terlepas dari embel-embel fans Juventus, Buffon adalah kiper terbaik sepanjang sejarah sepakbola, melebihi Schmeichel, Dino Zoff atau Lev Yashin. Cassillas meraih segala jenis gelar, namun Buffon lebih teruji di segala situasi. (T)