HARI sudah beranjak siang. I Made Karang hanya bisa duduk termangu di tempat berteduh yang ada di tengah areal persawahan miliknya. Sejak tiga purnama terakhir, anggota Subak Sidemen, Karangasem itu tidak menanam padi.
Semestinya pada awal Januari tahun ini, Made Karang sudah menanam bibit padi di petak-petak sawah miliknya. Sayang, banjir lahar hujan menerjang. Akibatnya, sawah miliknya mengalami kerusakan hingga 75 persen. Alih-alih menanam, memperbaiki petak sawahnya pun sulit.
Made Karang, hanya salah satu dari sekian banyak petani di Kabupaten Karangasem dan Klungkung, yang terdampak Gunung Agung. Aliran banjir lahar hujan, menyebabkan lahan pertanian tak bisa ditanami padi. Dampaknya, petani pun gigit jari.
Di Karangasem saja, tercatat ada 300 hektare sawah yang terdampak banjir lahar hujan. Sawah itu terhampar di Kecamatan Selat, Rendang, dan Bebandem. Seluruhnya berbatasan langsung dengan Tukad Yeh Sah. Ada yang masih bisa direhabilitasi, ada pula yang teramat sulit direhabilitasi. Itu baru di Kabupaten Karangasem.
Sedangkan di Kabupaten Klungkung, setidaknya ada 143 hektare lahan yang terdampak. Seratusan hektare lahan itu tersebar dalam tiga subak. Masing-masing Subak Toya Ehe, Subak Selat, dan Subak Toya Cau.
Menjadi petani di Bali, apalagi petani padi, memang tak mudah. Apalagi saat erupsi Gunung Agung mengintai. Alih-alih mendapat cuan, petani terancam terlilit hutang.
Hingga kini, tatkala krisis Gunung Agung masih berlangsung, belum ada komitmen melindungi petani padi. Alih-alih melindungi, pemerintah justru merekomendasikan petani melakukan urbanisasi. Petani Karangasem, diminta urbanisasi ke Jembrana dan Buleleng. Alasannya, disana ada ribuan hektare lahan pemerintah yang bisa dimanfaatkan jadi lahan pertanian.
Jangankan melakukan urbanisasi, petani seperti I Made Karang dan kawan-kawan, kini tengah kebingungan bagaimana membayar utang. Mereka terlanjur meminjam uang untuk modal. Selain beli bibit, mereka juga harus beli pupuk dan pestisida. Utang pokok harus dibayar, beserta bunga yang menanti.
Jadi petani di Bali memang tak semudah jadi pekerja di bidang pariwisata. Ini bisa terlihat jelas saat krisis Gunung Agung sekarang ini.
Tatkala sektor pertanian meranggas nyaris kolaps, semua pihak, pejabat, petinggi, justru menumpahkan perhatiannya pada sektor pariwisata. Menteri Pariwisata Arief Yahya bahkan menggelontorkan dana promosi pariwisata senilai Rp 100 miliar untuk memulihkan pariwisata. Sementara untuk pertanian, memperlihatkan komitmennya. Satu-satunya wacana yang muncul, hanya menyarankan petani melakukan urbanisasi.
Pariwisata seolah menjadi berhala baru. Tanpa pariwisata, Bali dianggap mati. Padahal, pariwisata Bali justru lahir dari pertanian. Tanpa pertanian, pariwisata Bali akan mati. Tanpa pertanian pula, orang tak bisa makan nasi.
Tanpa pertanian, tidak akan ada Subak Jatiluwih yang jadi warisan budaya dunia. Tanpa pertanian, tidak ada tari joged yang dipertontonkan pada wisatawan. Tanpa pertanian, tidak ada budaya yang disaksikan para petani. Pendeknya, tanpa pertanian, tidak ada pariwisata di Bali.
Kebijakan pemerintah, nampaknya belum berpihak pada petani Bali. Justru lebih berpihak pada praktisi pariwisata Bali. Padahal, tanpa pertanian, pariwisata Bali tidak ada apa-apanya.
Maka, lebih baik tak usah jadi petani di Bali. Jadilah pengusaha pariwisata. Tatkala Gunung Agung mengalami krisis, uang Rp 100 miliar untuk promosi sudah di depan mata. Belum lagi diskon untuk pajak hotel dan restoran. Sungguh nikmat jadi pengusaha pariwisata, karena dimanjakan berbagai aturan. Sedangkan petani, jangankan dapat kemudahan, mereka harus banting tulang memulihkan lahan.
Kalau boleh saya meniru Dilan, maka saya akan bilang: Jangan jadi petani. Berat. Biar orang lain saja. (T)