Sutasoma merupakan sebuah sosok yang diimajikan sebagai simbol kedharman dan pendakian spiritual. Melalui guratan Mpu Tantular, Sutasoma tidak pernah habis untuk dikupas dan ditelusuri intinya melalui beragam sudut pandang. Sastra, tari, lukis dan patung pernah menyublimasi Sutasoma dalam mediumnya masing-masing.
Sutasoma dalam bentuk nilai menjadi sebuah patron, mempatkan pada subyek yang utama. Sutasoma dengan segala ajaran kedharman, kesederhanaan dan keikhlasannya sejalan dengan konsep Budhisme. Budhisme dengan Kasogatannya mengajarkan sebuah pelepasan menuju dimensi kenirbanaan: Nirbana, Adi Nirbana dan Parama Nirbana. Sutasoma memberikan sebuah regulasi ideal untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan.
Sutasoma dengan segala imaji keutamaan jika ditarik dalam konsep ke “panjian” merujuk pada makna kebesaran, keagungan dan kewibawaan. Dalam hidup ini kita tidak menggingkari bahwa kedharman dan kebahagiaan adalah sebuah kebesaran, keagungan dan kewibawaan yang tidak dapat dibantah keidealannya dalam hidup ini. Benang merah Sutasoma dan ke-“Panji”-an yang kemudian dipilih Panji diaktulisasikan dalam medium tari sehingga lahir gagasan Panji Masutasoma oleh Ida Ayu Wayan Arya Satyani.
Ida Ayu Wayan Arya Satyani atau dikenal dengan Dayu Ani adalah seorang penari dan koreografer yang memiliki proyeksi yang tajam dan mendalam dalam mencipta sebuah karya tari. Tajam dan mendalam memilih tema, bereksplorasi bahkan memilih musik tarinya. Koregrafer yang selalu “panik” menata gagasan yang berkecamuk untuk ditransfer dalam bentuk konkretnya.
Melalui simpul Sutasoma dan Panji, Dayu Ani menggarap sebuah komposisi tari baru yang disebut dengan Panji Masutasoma. Mengolah vokabuler Panji dalam bingkai Gambuh dengan menggunakan esensi Sutasoma dalam penguatan kualitas kekaryaan tarinya.
Sebagai seorang yang lekat dengan kepanikan mengenai aktualisasi gagasan serta kualitas karyanya, pada hari Senin tanggal 25 Juli 2022 Dayu Ani membawa rombongan penari, fotografer penata artistik serta penata gendingnya (yaitu penulis sendiri) menyusuri Desa Budakeling untuk mendapatkan esensi Sutasoma melalui Panji. Menyusuri manuskrip-manuskrip yang dianggap memiliki kapabilitas untuk memantapkan esensi gerak dan kualitas kekaryaan.
Mulai Dari Tihingan Menuju Saren
Serpihan esensi-esensi Panji dan Sutasoma dimulai dari mengunjungi seorang seniman sekaligus spititualis dari Desa Tihingan yaitu Ida Wayan Jelantik Oka. Beliau adalah seniman Gambuh Desa Budakeling yang dahulu merupakan jebolan seleksi ketat di desa tersebut pada tahun 1970.
Seniman lain yang tidak kalah penting peranannya pada Gambuh Desa Budakeling yang juga ikut seleksi saat itu adalah Ida Wayan Granoka, I Made Degung dan Ida Made Jelantik Dede. Sowan pagi itu di Pasraman Jnana Kasogatan milik dari Ida Wayan Jelantik Oka untuk mendapatkan dua hal yaitu mengevaluasi kekaryaan dan data manuskrip khususnya mengenai Panji.
Secara teknis Ida Wayan Jelantik Oka menekankan pada teknis olah vokal mekekawin dengan memberikan teori menarik dan mengolah sirkulasi pernapasan pada setiap selesai menembang frasa-frasa baris kekawin. Teknik pengolahan napas kaitannya dengan penyuaraan akan menimbulkan sugesti untuk menyampaikan gagasan estetik.
Ida Wayan Jelantik Oka juga menambahkan mengenai bentuk-bentuk suara Pranawa sebagai suara alam dan artikulasi suara “Om Kara” dalam pengolahan bunyi musik tari dari tungguhan suling Gambuh. Selain itu Ida Wayan juga memperkuat gesture tubuh para penari agar sesuai dengan karakter tokoh panji yang gagah dan berwiba.
Foto 1. Mengunjungi Ida Wayan Jelantik Oka
Setelah mengunjungi Ida Wayan Jelantik Oka, perjalanan dilanjutkan menuju kediaman Guru Made Degung tidak jauh dari griya Ida Wayan. Hanya berjarak beberapa puluh meter saja.
Guru Made Degung biasa dipanggil Guru Degung. Dari Guru Degung, kami menggali bagaimana pentingnya gesture tubuh utamanya menjaga tulang punggung agar tetap tegap. Posisi tegap menjadi syarat utama dari karakter tokoh panji. Posisi tubuh yang tegap menurut Guru Degung dibentuk melalui yoga. Yoga untuk menyeimbangkan tubuh ketika bergerak sehingga gesture tubuh dapat terjaga sesuai dengan karakter Panji.
Kunjungan pada kedua guru atau tokoh yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai Gambuh gaya Budakeling mendapatkan “asupan secara teknis”. Namun pengetahuan secara teknis perlu dikuatkan lagi dengan elemen-elemen yang bersifat pendalaman.
Pendalaman spiritual menjadi pilihan dengan mengunjungi Mrajan Ageng Grya Buda Keling. Sesuai dengan kepercayaan kebudayaan Desa Budakeling, disana berstana Ida Betara Panji Landung yang diyakini sebagai pusat taksu dari kesenian khususnya kesenian Gambuh. Dalam kegiatan persembahyangan di Mrajan Ageng Grya Buda Keling adalah sebagai wujud pendalaman spiritual mengenai nilai-nilai rasa, filosofi dan makna-makna terkait dengan Gambuh khususnya karakter panji.
Ida Betara Panji Landung merupakan legitimasi atas sosok spiritual yang menaungi taksu dari kesenian Gambuh yang memiliki koneksi dengan Puri Karangasem. Perlu diketahui bahwa antara Desa Budakeling dengan Puri Karangasem memiliki hubungan yang sangat erat. Puri Karangasem bertindak sebagai masenas sedangkan Desa Budakeling sebagai laboratorium kreativitasnya. Pada kegiatan tersebut kita menyerahkan diri kita yang wadag dalam keadaan masih dasar untuk dapat dipikirkan serta dihayati lebih dalam lagi sehingga betul-betul dapat menginternalisasi penjiwaan.
Foto 4. Belajar Burdah di Desa Saren Jawa
Selesai dengan menanam elemen spiritual langkah selanjutnya adalah mengasah kedalaman spiritual itu untuk melangkah pada bentangan penjiwaan yang lebih luas. Secara lebih luas mengunjungi “semeton” Muslim Saren Jawa. Semeton Saren Jawa adalah sebuah masyarakat dengan berkeyakinan Muslim dalam lingkup kebudayaan Hindu-Bali yang kental.
Mereka memiliki kesenian yang dinamakan Burdah. Burdah yang berarti senandung ini merupakan sebuah kesenian perkusi berupa permainan rampak gendang untuk menyertai syair-syair pujian yang bersumber dari kitab Al-Quran utamanya pada ayat Barazanji. Uniknya tembang sholawatan ini menggunakan laras Bebali dengan mengadopsi cengkok pupuh-pupuh. Adapun lagu-lagu yang dibawakan adalah Deng-Dang, Maskumambang dan yang lainnya.
Dari kawan-kawan Saren Jawa kami belajar mengenai keterbukaan. Keterbukaan dalam mengolah unsur-unsur menarik yang ada di luar untuk dapat ditarik ke dalam internal kreatifitas kita. Hal ini perlu untuk dapar menemukan penemuan-penemuan baru yang relevan untuk dapat mengembangkan jati diri dari Panji yang begitu luwes, terbuka dan universal.
Foto 2. Mengunjungi Guru Degung
Foto 3. Mengunjungi Ida Wayan Granoka
Akhirnya dari Tihingan menuju Saren kami melalui bentangan teknis, spiritual hingga keterbukaan. Teknis membentuk garis dari sebuah kekaryaan. Spritual untuk memberikan jiwa, dinamika dan nilai dalam kekaryaan. Terakhir keterbukaan adalah sebagai bahan untuk memperkaya sebuah kekaryaan.
Panji Masutasoma adalah sebuah wadah untuk mengasah teknis, spiritual berserta keterbukaan yang tidak terbatas untuk proses penciptaan dimasa yang akan datang. [T]