Suara kesakitan terdengar sayup-sayup dari pinggir kota yang masih basah karena hujan. Itu suara Satya. Lengan kanannya dipenuhi luka. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Pandangannya mulai mengabur, suara-suara semakin samar, rasa sakit mulai menguasai tubuhnya, kemudian hanya gelap sejauh mata memandang.
Satya kini terbaring di kamar kos. Rasa sakit masih ia rasakan. Ia dipersilakan pulang setelah sempat menerima perawatan di rumah sakit.
Matanya menangkap Tilem duduk dengan tatapan yang tajam ke layar laptop.
“Aku yakin ini akibat dari berita yang kau tulis beberapa waktu lalu,” kata Tilem kemudian membaca berita yang ia maksud.
***
Diduga Alami Kekerasan Seksual, Seorang Mahasiswi Akhiri Hidup dengan Menenggak Racun Serangga
Kota B, Suara Pos – Seorang mahasiswi berinisial SK ditemukan tewas di kamar kosnya, Senin (17/7/2017), diduga menerima kekerasan seksual.
Kapolsek Kota B, Dana Setiawan mengatakan, dugaan itu berdasarkan surat yang ditemui di meja belajar korban.
“Dari surat yang kami temukan, SK diduga menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosennya,” kata Dana.
Dana mengatakan, salah seorang temannya menemukan korban sudah dalam keadaan tidak bernyawa sekitar pukul 11.30.
“Saksi kembali ke kos karena korban tidak kunjung terlihat di kampus, setelah sampai di kamar korban, saksi telah mendapati korban dalam keadaan terbaring dengan cairan putih keluar dari mulutnya,” ujar Dana.
Jajaran Polsek Kota B tengah menyelidiki kasus bunuh diri yang diduga melibatkan dosen berinisial SP di salah satu perguruan tinggi ternama di Kota B.
“Dalam surat yang diduga ditulis korban, kronologis diceritakan secara rinci, dan lewat surat dan saksi-saksi yang ada, kami akan lakukan penyelidikan lebih lanjut,” tutur Dana.
***
“Ya. Aku pikir juga demikian,” kata Satya sembari melihat luka di lengan kanannya yang telah diperban.
“Kau terlalu berani untuk menyebutkan inisial terduga pelaku dalam berita.”
“Aku hanya menuliskan fakta. Tidak ada hal yang aku buat-buat.”
“Apa kau mendapatkan salinan surat yang ditulis korban?”
“Ya. Tentu saja,” seru Satya kemudian merogoh ranselnya.
“Ini dia!”
Satya kemudian menyodorkan lipatan kertas ke arah Tilem yang masih duduk di balik meja kerjanya.
***
Aku pikir ini adalah kesempatan terakhirku menceritakan apa yang aku alami selama 6 bulan belakangan. Pengalaman yang tidak pernah terlintas sebelumnya di kepala. Pengalaman yang membuatku terjebak di lorong kegelapan tanpa cahaya setitik pun, dan meninggalkan luka menganga di hati. Aku menyesal tidak menceritakan ini pada sahabatku, apalagi orang tua di kampung. Aku tak punya kuasa untuk membuka aib ini. Ketakutanku begitu besar. Aku tak mau membebani sahabat, apalagi orang tuaku dengan masalah yang datang ke hidupku.
Dr. Surya Prakasa ditakdirkan menjadi dosen pembimbingku. Saat itu hanya rasa syukur dan senang yang aku rasakan. Bersyukur karena terhindar dari dosen “killer”, senang karena banyak teman-teman perempuanku yang iri denganku, termasuk Melati—sahabatku. Mula-mula tidak ada yang aneh, semua berjalan seperti halnya seorang dosen yang membimbing mahasiswanya. Namun berbeda di pertemuan kedua, Pak Surya mulai memberi tatapan yang aku rasa memiliki maksud lain. Kemudian perlahan ia mendekatkan tubuhnya. Tangannya mulai menggerayangi pahaku begitu lahap. Aku pun tak kuasa bertahan setelah Pak Surya melontarkan ancaman. Tak main-main kelulusanku menjadi taruhannya.
Aku kehilangan kuasa atas tubuhku. Sepenuhnya direbut oleh Pak Surya. Pakaianku dilucuti begitu kasarnya. Tubuhku dibolak-balik seenaknya demi memuaskan nafsu berahinya. Lenguh dan senyum puasnya meninggalkan guratan luka dalam diri ini. Tidak hanya sekali, aku harus menyerahkan diri ini berkali-kali. Entah berapa lama, aku pun tidak mau mengingatnya. Sampai hal yang aku takutkan menghampiri. Pagi hari, seminggu sebelum ujian skripsi, aku merasakan hal aneh di tubuhku. Mual-mual tidak karuan. Apakah aku sedang tidak enak badan? Tapi aku punya kecurigaan lain soal ini, maka aku putuskan untuk membeli test pack sepulang dari kampus. Tak terasa air mata mengalir melewati kedua pipiku. Dua garis biru tampak jelas di alat itu. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku bicara jujur dan meminta pertanggungjawaban dari Pak Surya? Atau malah mengugurkan janin yang tumbuh di waktu yang salah?
Kembali aku menemui Pak Surya, pertemuan itu bertujuan untuk mempersilakannya menilai kesiapanku untuk ujian. Tapi tak berhenti di sana. Tubuhku kembali dilumat habis olehnya. Sari-sari kehidupan rasanya sudah tak tersisa dalam tubuh. Entah kekuatan dari mana, aku masih mampu mengatakan apa yang ingin aku minta darinya—orang yang memang harus bertanggung jawab atas semua ini. Kamu tahu apa jawabannya? Ia langsung menarikku dari ranjang, menyuruhku segera pulang dan bersiap untuk menggugurkan janin ini. “Setelah ujian, kamu ikut saya! Jangan sampai janin itu tumbuh lebih lama di dalam perutmu”. Sungguh perkataan yang menyakitkan.
Setelahnya, aku hanya bisa meratapi yang aku alami. Menangisi apa yang telah terjadi. Apa ini kesalahanku? Atau memang Tuhan menyiapkan skenario ini untukku? Tapi aku sudah memutuskan. Siapa pun yang membaca surat ini aku ucapkan terima kasih. Mungkin saat kamu membaca surat ini, aku dan janin ini sudah tidak ada di dunia yang menyimpan beragam kenangan buruk.
Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya.
Sukma Kinanti
***
“Setelah ini kau harus berhenti, Sat!”
“Tidak! Aku akan melanjutkan dengan segala risikonya.”
***
Dua lelaki berbadan kekar dengan pakaian serba hitam masuk ke dalam sebuah rumah besar. Berbagai jenis bunga itu selalu siap menyambut setiap orang yang datang di rumah itu. Namun warna-warni bunga itu tak mencerminkan suasana hati si pemilik rumah hari ini.
Rumah itu milik Surya. Kedua alisnya bertemu begitu lama seperti dua orang saudara yang baru bertemu setelah sekian tahun terpisahkan. Kedua kakinya tak henti menghentak lantai tatkala dua orang berbadan kekar tersebut sudah duduk di hadapannya.
“Sudah kalian kasi pelajaran bocah itu?” kata Surya, kemudian menyodorkan sebuah amplop cokelat kepada dua lelaki itu.
“Aman, Pak!” kata salah satu dari lelaki itu sambil menghitung isi di dalam amplop cokelat.
“Oke. Kalau dia macam-macam lagi, kalian bersiaplah. Pasti pekerjaan akan datang lagi untuk kalian.”
“Siap, Bos!”
Dua orang itu pergi meninggalkan Surya yang masih duduk di tempatnya semula.
“Bisa-bisanya Kinan meninggalkan surat yang secara jelas menyebut namaku di dalamnya. Bisa habis karirku kalau enggak berbuat sesuatu!” ujar Surya kemudian menggebrak meja.
Semenjak Kinan memutuskan untuk bunuh diri, ketenangan menjadi barang langka dalam hidupnya. Setiap mengingat Kinan, ia langsung terlempar ke masa-masa ia memanfaatkan kuasanya sebagai dosen. Tak pernah ia bayangkan perempuan polos seperti Kinan berani mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya. Pemberitaan media berhasil memperkeruh keadaan. Apalagi kampus belakangan sudah bekerja sama dengan banyak pihak untuk mengungkap kasus ini.
Begitu banyak hal berloncatan di pikirannya. Apa yang akan terjadi dengan dirinya? Akankah ia diberhentikan sebagai dosen? Akankah ia berakhir di dalam jeruji besi? Atau ia harus mengakhiri hidup dan menyusul Kinan dan janinnya ke alam sana? Begitu banyak hal yang ia pikirkan sampai akhirnya ia memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas ranjang—saksi bisu pergulatannya bersama Kinan.
***
Beberapa langkah lagi Satya tiba di ruangan salah seorang pimpinan legislatif di daerahnya. Tekadnya bulat untuk melanjutkan, meski Tilem—sahabatnya bersikeras melarang.
Sesekali Satya menggosokkan kedua telapak tangannya agar terasa hangat. Tidak sering ia berada di ruangan sedingin ini. “Memang nyaman ya ruangan pejabat yang katanya mewakili rakyat,” pikirnya.
Ukiran burung Garuda yang diapit foto Presiden dan Wakil Presiden menghiasi tembok di belakang meja kerja pejabat yang akan ditemuinya. Beberapa menit sekali aroma-aroma lavender memenuhi ruangan yang dua kali lebih luas dari kamar kosnya. Konon aroma ini dapat mengurangi rasa cemas dan membuat tubuh menjadi rileks.
Tidak lama menunggu, pejabat yang ditunggu oleh Satya pun masuk dari pintu khusus. Senyum khas pejabat saat bertemu tamu menghiasi wajah Nyoman Prakasa—salah seorang pimpinan legislatif di daerahnya. Satya kemudian mengeluarkan alat perekam suara dan meletakkannya di atas meja.
“Jadi apa yang bisa saya bantu untuk seorang wartawan muda yang tampak begitu bersemangat ini?” ujarnya sambil menghempaskan tubuhnya di kursi kerja.
“Wah alangkah senangnya saya mendapat pujian dari seorang tokoh masyarakat seperti bapak.”
“Saya tidak punya banyak waktu, karena beberapa menit lagi sidang paripurna akan segera dimulai dan saya harus memimpin jalannya rapat, jadi langsung ke poin pertanyaan saja ya,” saran Nyoman Prakasa.
“Baik. Bagaimana tanggapan Bapak soal kasus bunuh diri seorang mahasiswi yang diduga terjadi akibat pelecehan seksual yang diterima dari seorang dosen beberapa waktu lalu?
Senyum yang sejak tadi menghiasi wajah Pak Nyoman mendadak dilalap kobaran api. Hilang, lenyap—diganti dengan tatapan tajam seolah ingin melenyapkan orang-orang yang berada di hadapannya. Tangannya langsung meraih kopi yang sudah disuguhkan bahkan sebelum ia duduk di kursinya. Wajahnya memerah, tangannya mencoba memperbaiki dasi yang sejak tadi sudah terpasang dengan baik.
“Kenapa kamu menanyakan hal itu pada saya?” jawabnya terbata-bata.
“Karena saya mendapatkan beberapa data yang mengatakan bahwa Bapak adalah kerabat dari oknum dosen tersebut.”
“Maksud saudara?!” Wajahnya makin memerah dan tubuhnya semakin mendekat ke bibir meja kerjanya.
“Jadi begini, kemarin saya mendapat data-data oknum dosen tersebut, sumbernya tidak saya sebutkan demi melindungi informan. Data tersebut menunjukkan bahwa Bapak Nyoman Prakasa adalah ayah kandung dari oknum dosen berinisial SR tersebut,” jelas Satya sambil mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya.
Nyoman Prakasa meradang setelah dipojokkan oleh seorang anak muda yang baru lahir kemarin. Ia pun tidak bisa menahan diri untuk menggebrak meja kerjanya. Tatapannya semakin tajam ke arah Satya, seolah ingin membakar lawan bicaranya hingga tersisa debu yang dapat dibersihkan kapan saja.
“Siapa nama kamu?! Dari media mana kamu?!” tanya Nyoman dengan nada tinggi sambil menunjuk wajah Satya.
Bulir-bulir keringat mengucur di pelipisnya saat melihat respon dari pejabat di hadapannya. Ia memilih untuk meminum kopi yang telah tersuguh di depannya sebelum menjawab pertanyaan Nyoman Prakasa.
“Saya Satya, Pak. Saya dari Suara Pos,” Ia meletakkan kembali kopi di tempatnya semula.
“Lebih baik kamu keluar sekarang!” kata Nyoman Prakasa sambil menunjuk pintu keluar.
***
“TAK MAU BERI KETERANGAN, NYOMAN PRAKASA PILIH TINGGALKAN RUANGAN”
“Sudah gila kau, Sat?!!” bentak Tilem setelah membaca judul berita yang ditulis Satya.
“Kenapa gila? Aku tulis berdasarkan fakta yang ada.”
“Bahkan kau beberkan data yang kau dapat dari kampus. Itu bisa membahayakan pihak kampus, Sat!” kata Tilem sambil menunjuk-nunjuk dengan kasar koran di tangannya.
“Aku sudah menyamarkan sumber informasinya,” sahut Satya dengan cukup tenang.
“Argghh! Bingung aku hadapi kau, Sat. Sekarang kau harus jaga diri, kau kan tahu kalau Pak Nyoman itu terkenal sebagai preman dulu. Bahkan anak buahnya semakin banyak hari ini. Kalau dia tersinggung, bisa habis kau karenanya.”
“Hei, coba kamu tenang. Sepertinya kamu terlalu banyak menonton film, jadi khayalanmu kemana-mana.” Satya coba cairkan suasana.
“Ahh, terserah kau saja!”
Satya memungut koran yang dijatuhkan oleh Tilem. Membaca kembali berita yang telah ia tulis. “Menurutku tidak ada yang salah dari apa yang tertulis. Semua berbasis data dan fakta,” gumamnya. Ia melipat koran dan memasukkannya ke dalam tas.
***
Sinar cahaya bulan mempercantik tanaman bunga yang tumbuh di halaman rumah Surya Prakasa. Beberapa orang dengan tubuh kekar berpakaian serba hitam terlihat berdiri dan mendengar arahan dari dua orang yang sedang duduk di hadapannya. Bagai tantara yang mendapat tugas dari komandannya, orang-orang bertubuh kekar tersebut menjawab dengan kompak dan bubar setelahnya.
“Gara-gara ulahmu, karir Bapak terancam. Dasar anak goblok!”
“Mana Surya tahu kalau anak itu bakal ninggalin surat sebelum mati. Surya juga tidak menduga kalau hari ini masih ada wartawan yang seberani Satya.” Surya coba mengelak.
“Sudah tidak perlu diperpanjang. Bapak sudah komunikasi sama beberapa teman supaya kasusmu aman, dan sekarang tinggal urus satu serangga saja. Setelah itu, hidup kita bakal aman,” tegas Nyoman Prakasa kemudian meninggalkan Surya Prakasa.
***
Bruuaagghh….
Satya terlempar dari motornya. Sebuah mobil hitam menabrak bagian belakang motornya dengan kencang. Ia terjungkal cukup jauh. Tidak ada luka di tubuhnya. Jaket dan celana jeansnya robek di beberapa bagian. Ia bersyukur hari ini menggunakan pakaian yang serba menutupi tubuhnya. Ia pun bangkit mencari motornya yang terlempar entah kemana.
Bugh! Sebuah pukulan di kepalanya berhasil membuatnya tersungkur. Helmnya terlepas, menggelinding ke sembarang arah.
Arrgghh! Satya bangkit sembari menahan rasa sakit.
“Siapa kalian?” kata Satya kemudian terkesiap melihat empat orang berbadan kekar berdiri di hadapannya. “Mau apa kalian? Apa salah saya?” Satya mencoba mundur dan coba berlari. Namun salah seorang berbadan kekar berhasil menarik leher jaketnya dan kembali membantingnya ke permukaan tanah.
Pria berbadan kekar tersebut mendaratkan pukulan ke wajahnya beberapa kali. Darah mengucur deras bak air terjun dari hidungnya.
Rasa asin ia rasakan tatkala darah tersebut melintas dan masuk ke mulutnya. Tak lama kemudian tubuhnya diangkat oleh dua orang lainnya. Pria yang sudah mendaratkan banyak pukulan di wajahnya tampak masih belum puas memukulinya.
Satya coba berontak, kedua kakinya yang masih bebas melayangkan sepakan pada pria yang masih asik memukulinya. Satu, dua tendangan berhasil mengenai pria di hadapannya, namun tendangannya belum cukup kuat untuk membuat pria tersebut tersungkur. Pria yang menahan lengannya pun menghadiahi sebuah tendangan ke kedua kakinya yang berhasil membuat Satya berteriak kesakitan. “Percuma kau teriak, tidak ada orang yang akan mendengar,” ujar pria yang sedang mengamati pemukulannya.
“Ada pesan terakhir?” salah seorang pria yang memegangi lengan kirinya akhirnya buka suara.
“Argh! Pesan terakhir?”
“Ya, pesan terakhir. Karena malam ini akan menjadi hari terakhirmu melihat dunia,” kaat salah satu dari pria itu disambut dengan tawa empat pria kekar lainnya.
“Aku pikir tidak ada pesan terakhir. Aku tidak menyesali apa yang telah aku lakukan!” kata Satya sembari tertawa kecil yang tertahan karena sakit.
Dorr!!! Dorr!!!
Suara tembakan yang menembus dada kiri Satya. Tembakan itu bagai sebuah pelepasan yang membuat dirinya terbebas dari segala hal. Percakapannya dengan Tilem sepintas terlihat di depannya. Seorang sahabat yang begitu khawatir dengan keselamatannya. Senyum menghiasi wajahnya sebelum ia memeluk bumi—memeluk Tilem.
***
Ungkap Kebenaran!!!
Tangkap Pelaku Intelektual Pembunuhan Satya!!!
Teriakan massa yang tergabung dalam gerakan #MenolakLupaPembunuhanSatya memenuhi jalanan di depan kantor legislatif. Beberapa massa aksi juga membawa kertas dan spanduk yang bertuliskan #10TahunSatya #10TahunMenolakLupa. Mereka menuntut adanya kejelasan hukum terhadap kasus hilangnya nyawa Satya—seorang wartawan muda yang tewas saat sedang memberitakan kasus bunuh diri seorang mahasiswi yang melibatkan oknum dosen dari kampus ternama.
“Sudah sepuluh tahun kasus ini berjalan, tapi tidak ada kejelasan sama sekali dari pihak penegak hukum. Kami menuntut keadilan, karena otak dari pembunuhan ini belum juga tertangkap dan mungkin masih ongkang-ongkang kaki di suatu tempat,” jelas Tilem pada media yang meminta keterangannya.
Sedangkan di sisi lain, Surya Prakasa bersama ayahnya sedang berbahagia merayakan terpilihnya Surya Prakasa sebagai Dekan Fakultas dan Nyoman Prakasa terpilih kembali sebagai pimpinan legislatif di periode yang baru. [T]
_____