Awal Juni 2022 lalu saya menerima undangan untuk sosialisasi bank sampah di Desa Bantiran, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Ada yang menarik perhatian saya ketika pertama sampai di lokasi sosialisasi. Ada sebuah aula di belakang kantor Desa Bantiran, terlihat spanduk tanda kegiatan yang sedikit berbeda dari kebiasaan saya di desa. Tertulis jelas nama kegiatan, nomenklatur kegiatan dan anggaran dana pelaksanaan kegiatannya.
Jika biasanya hanya tertulis nama kegiatan, nama desa dan waktu pelaksanaan, spanduk ini berbeda, atau mungkin saya saja yang baru tahu. Tapi dari sekian banyak saya menghadiri undangan dari desa-desa, baru kali pertama saya melihatnya.
Saya memang hampir dua tahun sudah tak menerima undangan sosialisasi ke desa-desa tentang bank sampah. Selain faktor pandemi yang melarang orang berkumpul, juga ditambah semakin banyak para penggiat lingkungan kini yang rajin turun ke desa-desa.
Sejalan dengan menurunnya efek pandemi, sepertinya desa-desa sudah mulai bergeliat, termasuk untuk urusan persampahan.
Undangan sosialisasi sendiri sebenarnya tidak ditujukan langsung kepada saya, tetapi untuk Yasasan Bali Wastu Lestari (BWL). Yayasan yang bermarkas di Denpasar ini memang sedari dulu menjadi salah satu yasayan yang banyak mendirikan bank sampah di desa-desa di Bali.
Kebetulan pengelola yayasan adalah guru, partner dan juga teman diskusi saya untuk urursan bank sampah. Dan karena satu dan lain hal, ia mendelegasikan tugas sosialisasi ke Desa Bantiran, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Subuk, Busungbiu, Buleleng, itu kepada saya.
Sayapun mengiyakan untuk bisa mewakili BWL bertemu warga Desa Bantiran. Sudah cukup rindu rasanya berkunjung ke desa-desa.
Hari itu Jumat. Sekitar pukul 07.15 Wita saya berangkat, berbekal air putih dalam tumbler dan setepak nasi dengan lauk-pauk racikan istri. Saya memulai perjalanan. Jarak Desa Panji, Buleleng, (tempat saya tinggal) dan Bantiran menurut map Google dapat ditempuh dalam waktu 1 Jam 15 menit dengan sepeda motor.
Meskipun dalam undangan tertulis acara dimulai pukul 09.00 Wita, saya merasa perlu untuk berangkat lebih awal, agar bisa lebih santai di perjalanan. Lama sudah saya tidak menuju Tabanan melewati jalur Busungbiu. Terakhir saya ke Tabanan, saat itu ketika sosialisasi bank sampah di Desa Manikyang, Selemadeg, tiga tahun lalu.
Desa Bantiran memang tidak begitu asing, dulu ketika menjadi tenaga fasilitator di Desa Pucaksari Busungbiu, hampir empat kali dalam seminggu saya melewati Desa Bantiran.
Foto: Sosialisasi bank sampah di Desa Bantiran, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan.
Pukul 08.30 Wita saya sudah sampai di perbatasan Desa Subuk dan Desa Bantiran, yang juga jadi batas Kabupaten Buleleng dan Tabanan. Saya mulai melambatkan kecepatan sepeda motor untuk sedikit mengamati kondisi Desa Bantiran kini. Terasa suasana sejuk di sepanjang jalan.
Jarak antar rumah terlihat tidak begitu padat di pinggiran jalan. Kepadatan mulai nampak setelah berada dekat kantor Desa Bantiran, dan mulai semakin ramai mendekati perbatasan dengan Desa Pupuan.
Terlihat banyak ibu-ibu mulai berjalan kaki menuju kantor desa, salah satu pemandangan yang jarang saya lihat di desa saya, semua berkendara meskipun sebatas ke pasar desa.
Sesampainya di arena desa, seperti tertulis dalam surat undangan, arena ini semacam aula terbuka atau wantilan desa yang berada tepat di belakang kantor Desa Bantiran, terlihat sudah banyak berkumpul ibu-ibu di tempat itu.
Terlihat juga petugas desa sedang mempersiapkan sarana prasarana sosialisasi, lalu ada seorang polisi Babinkabtimas yang memperingatkan ibu-ibu agar tetap menggunakan masker, meskipun pandemi sudah berkurang.
Saya menghampiri salah satu petugas di sana dan mempernalkan diri sebagai perwakilan dari BWL dan Bank Sampah. Diarahkanlah saya untuk menunggu sebentar dan bisa duduk di salah satu tempat yang sudah disediakan.
Sembari menunggu, di situlah mata saya teralihkan pada spanduk yang tergantung di tiang-tiang arena. Huruf-hurufnya cukup kecil karena banyaknya informasi yang disajikan.
Mulai dari judul kegiatan, Bidang Pelaksanaanya yang berada di Bidang Dua Pelaksanaan Pembangunan Desa, hingga anggaran kegiatan yang mencapai Rp.36.511.000 (Tiga Puluh Enam Juta lima Ratus Sebelas Ribu Rupiah), angka yang bisa dibilang tidak kecil untuk satu kali kegiatan, tertulis juga luaran kegiatan yaitu terciptanya lingkungan yang bersih.
Jadi, bisa disimpulkan secara sederhana, untuk menciptakan lingkungan yang bersih, kita juga harus jujur dan terbuka dalam penggunaan anggaran.
Sebelum acara dimulai, seorang perangkat desa mulai mengambil mik, lalu mengatakan tentang pelaksanaan kegiatan tersebut, mulai dari acara yang akan dihadiri oleh Kadis Lingkungan Hidup (LH) Tabanan dan Camat Pupuan.
Secara terbuka juga ia menjelaskan besaran anggaran kegiatan dan ditujukan untuk apa saja, seperti membeli ember besar, gayung kecil, dirigen putih 5 liter, gula dan EM4. Nantinya semua itu akan dibagikan kepada 117 keluarga di wilayah Banjar Dinas Bantiran Kelod untuk tempat pengelolaan sampah organik.
Disampaikan pula bahwa acara sosialisasi akan dimaksimalkan sampai jam 12 siang, karena tidak ada anggaran untuk makan siang, hanya kue ringan saja, dananya dimaksimalkan untuk membeli sarana tadi katanya.
Keterbukaan informasi dan keterusterangan perangkat desa itu, memberi kesan mendalam di hati saya. Bagaimana orang-orang desa berpikir lebih sederhana, kalau sudah terbuka dan jelas anggaran itu untuk apa saja, tentu tidak akan ada lagi pertanyaan di masyarakat, pikir saya. Yang terpenting tujuannya jelas dan semua menikmati.
Bapak Kadis LH Tabanan dan Bapak Camat Pupuan pun tiba di lokasi. Dan acara acara sosialisai dimulai. Saat itu kembali saya terpana. Bagaimana Prebekel Desa Bantiran I Nyoman Suranata terlihat begitu serius menjelaskan program kegiatannya.
Kata dia, untuk sementara kegiatan itu fokus pada satu banjar dulu sehingga anggaran yang ada mampu dimaksimalkan untuk menyelesaikan permasalahan sampah.
Setelahnya Camat Pupuan I Putu Gede Wirawan memberikan arahan. Arahannya seperti sedang sosialisasi, karena isinya penuh dengan informasi bagaimana ia dan keluarganya membuat eco enzym lalu memanfaatkannya dirumah. B ahkan ia juga membuat clasic enzym yanh bisa diminum. Kalau sudah praktek langsung memang terlihat berbeda cara penyampaiannya.
Seperti tak mau kalah, Kadis LH Tabanan I Made Subagia, dengan semangatnya mensosialisasikan pengelolaan sampah, baik sampah organik dan non organik, bahkan ia yang datang sendirian tanpa didampingi stafnya itu membawa sampah dari rumahnya, katanya agar mudah menjelaskan sampah apa saja yang nanti bisa ditabung di bank sampah.
Bahkan di akhir sosialisasinya ia memberikan minyak goreng kepada dua orang ibu-ibu yang berani kedepan untuk mengulang apa saja yang sudah disosialisasikannya itu. Pembawaan Kadis ini seakan tak ada jarak, bahasanya yang disampaikan juga sederhana.
Kata Bapak Perbekel, Kadis yang satu ini memang paling mudah dihubungi dan diajak diskusi, dan diundang kapan pun selalu siap.
Ada alasan khusus kenapa seorang Kepala Dinas datang sendiri. Di sela-sela obrolan kami, ia katakan tak ingin memberatkan bawahannya, karena jarak Desa Bantiran dari Kota Tabanan yang cukup jauh, apalagi sekarang tak ada uang perjalanan.
“Ya karena saya lebih tinggi penghasilanya, ya harus bekerja lebih banyak, jadi biarpun malam, atau hari libur biasanya saya sendiri yang hadir sosialisasi, De,” ujarnya.
Saya sendiri berharap ke depan bisa kembali berkolaborasi dengan Kadis LH Tabanan ini, Eh, ternyata informasi terbaru dari laman Facebook I Made Subagia, tertulis ia kini telah bertugas di tempat baru tepatnya di Dinas Pertanian Tabanan, mungkin tugas yang lebih besar dipercayakan padanya, mengingat Tabanan dikenal sebagai “lumbung beras” Provinsi Bali.
Setelah saya menyampaikan materi tentang bagaimana membangun Bank Sampah Galang Panji yang mandiri dan jenis-jenis sampah yang dapat ditabung di Bank Sampah, acaranya pun ditutup oleh perbekel dengan sesi foto bersama dan pembagian ember dan sarana lainya itu kepada para ibu-ibu yang hadir.
Pesan Perbekel agar ember yang dibagikan digunakan untuk Komposter, sementara Dirigen dan Gula untuk membuat ecoenzym. “Gulanya jangan dipakai buat jaje hari Raya Galungan ya, niki untuk membuat eco enzyme,” jelasnya disambut tawa para ibu-ibu.
Sehabis menikmati secangkir kopi di ruang Perbekel bersama Kadis LH dan Camat Pupuan saya pun ijin pulang kembali ke Desa Panji.[T]