Masyarakat Bali tentu tidak asing dengan cerita rakyat Kala Rau. Pada setiap munculnya gerhana bulan atau gerhana matahari, cerita rakyat itu pasti diceritakan kembali. Karena dalam cerita itu, Kala Rau-lah yang disebutkan menelan matahari sehingga terjadi gerhana.
Cerita itu populer, pada zamannya, mungkin juga sampai saat ini di beberapa pelosok Bali. Dalam cerita rakyat itu, sosok Kala Rau diceritakan sebabagi makhluk menyeramkan, menjadi momok ketakutan. Untuk itulah, pada saat gerhana matahari, ketakutan itu seakan terpelihara dan di masa lalu kadang memaksa warga menutup pintu rapat-rapat ketika gerhana matahari atau gerhana bulan datang.
Cerita rakyat itulah yang menjadi pondasi pertama yang dipasang oleh Medy Mahasena, ke dalam film pendek garapannya. Garapan filmnya berjudul Kala Rau When the Sun Got Eaten, produksi tahun 2021. Film itu diputar di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja, Jumat 29 April 2022 . Pemutaran itu berkaitan dengan program Minikino Indonesia Raja 2022.
Satu adegan dalam film Kala Rau When the Sun Got Eaten | Foto: Dok Medy Mahasena
Konon Kala Rau adalah makhluk seram yang datang melahap matahari atau bulan. Pada saat bersamaan, muncul ketakutan, Kala Rau juga bisa melahap orang-orang yang keluar rumah sewaktu gerhana muncul. Garapan ini merupakan sebuah tantangan tentunya. Karena Medy mengangkat hal yang bisa dibilang besar dan dekat dengan masyarakat pada zamannya, untuk ukuran film pendek yang ia lahirkan.
Namun, bukan kreativitas sempurna dalam penyutradaraan masa muda namanya, bila tak bersahabat dengan tantangan di dalamnya. Medy Mahesa mengumpulkan banyak cerita dari masyarakat, termasuk dari ibunya sendiri, tentang kengerian, kecekaman serta ketakutan pketika gerhana matahari terjadi pada masa itu. Medy terbilang berhasil menyulam semuanya menjadi film pendek yang menyentuh berbagai sisi.
Film ini mengambil latar tahun 1983 ketika terjadi gerhana matahari yang cukup heboh saat itu. bercerita tentang seorang gadis bernama Sri. Ia kehilangan ayahnya ketika genap berumur 4 tahun. Ia menyimpan segudang pertanyaan tentang ayahnya. Bukan ditinggal mati atau pergi menceraikan ibu Sri. Namun diceritakan bahwa ayah Sri menghilang ketika gerhana matahari datang. Jujur, kombinasi antara mitos dan narasi yang dihadirkan oleh Medy dalam filmnya bisa dibilang berhasil tersampaikan. Ditambah beberapa long take yang segar, tak sedikit melahirkan humor sedap.
Kala Rau When the Sun Got Eaten adalah tontonan singkat yang lezat, mengalir juga mengejutkan. Seperti dikatakan sebelumnya, film ini menyentuh berbagai sisi. Seperti setiap penonton yang pernah hidup pada masa kepopuleran cerita rakyat tersebut. Pastinya mempunyai nostalgianya sendiri, mengingat masa itu terkurung dalam kengerian mitos yang terpelihara oleh masyarakat. Selain itu, film pendek yang disutradarai oleh Medy Mahasena ini mampu membuka ruang-ruang kritis bagi para penontonnya.
Tak jarang, beberapa teman-teman mengaitkan mitos serta kejadian yang terjadi secara simultan itu, dengan pemerintahan Orde Baru. Bagaimana Orde Baru saat itu mengelola peristiwa gerhana matahari hingga membuat warga larut dalam mitos yang mencekam. Jujur jika mengamati sekuen tengah dari film pendek besutan Medy, memang ada adegan menyorot layar TV yang menampilkan pemberitaan akan terjadinya gerhana matahari, dan pemberitaan itu menyinggung suatu kebijakan pemerintah. Di mana saat itu dibentuk suatu tim yang secara khusus “menangani” peristiwa gerhana itu. Namun secara lengkap, mengamati setiap plot dari film Kala Rau When the Sun Got Eaten, bukan itu tujuan dari struktural narasi yang dihadirkan.
Satu adegan dalam film Kala Rau When the Sun Got Eaten | Foto: Dok Medy Mahasena
Sri, dengan berbagai pertanyaan yang ada dalam benaknya, menanyakan perihal ayahnya kepada seorang tokoh masyarakat di desanya, Pak Agus. Namun dari penceritaan itu, tak ada petunjuk dari Pak Agus yang menjelaskan alasan kenapa ayahnya menghilang. Dalam sekuen itu, alih-alih membeberkan cerita tentang hilangnya sang ayah dari tokoh utama, dan mengikis rasa penasaran penontonnya, Medy, sang sutradara, malah memilih menggiring kita untuk mengenal karakteristik dari Pak Agus.
Hilangnya sang ayah, membuat Sri menghubung-hubungkan kejadian itu dengan Kala Rau. Bahwa siapapun yang masih berada di luar ketika gerhana menelan matahari, mereka akan menjadi korban sang Kala Rau. Pengkombinasian kepercayaan masyarakat terhadap mitos, dengan musibah yang umum terjadi di kehidupan banyak orang, membuat film ini sebetulnya renyah untuk dikonsumsi. Terlebih lagi alurnya yang dinamis serta latar cerita yang kembali ke masa lalu, menjadikan Kala Rau When the Sun Got Eaten sebagai film pendek yang berhasil mengenalkan kultur lampau. Sontak, penonton dapat merasakan kengerian seperti apa yang tengah terjadi di sekitaran masyarakat pada saat itu.
Namun, ada ending yang tak bisa menjawab kebingungan para penonton, soal substansi apa yang sebenarnya dibentuk oleh Medy dalam filmnya. Inilah yang menjadi sebuah masalah. Padahal dalam Kala Rau When the Sun Got Eaten, Medy sedang tidak mendramatisasi persoalan sosial, melainkan menampilkan sesuatu yang misterius, yang dibungkus oleh mitos masyarakat. Dan semua film yang bergenre misterius pastinya mempunyai semacam sinyal untuk sampai ke sebuah pemahaman.
Melihat ending Kala Rau When the Sun Got Eaten, mengingatkan saya tentang ending film In the Mood for Love (2000), garapan sutradara kondang, Wong Kar Wai. Disimpulkan dari sana, Kar Wai setuju bahwa tak semua film misteri atau thriller saja yang memiliki ending yang bersifat plot twist atau surealis. Semua genre dapat diolah bersifat demikian.
Dalam endingnya, Wong Kar Wai benar-benar menghancurkan jutaan hati penonton, memberikan pemahaman tentang sebuah arti melepaskan dan rasa cinta yang sesungguhnya. Tentunya ending tersebut dibangun oleh narasi-narasi yang kuat.
Dalam adegan sebelum ending, Wong Kar Wai menyuguhkan kita sebuah dialog dua arah, antara tokoh utama dan tokoh pendukung. Di sana, sang tokoh utama mengatakan “Orang zaman dulu, ketika menyimpan rahasia dan tak berniat mengungkapkan, mereka pergi ke bukit, mencari pohon lalu melubanginya, kemudian membisikkan rahasianya ke lubang itu, menutupnya dengan lumpur, dan meninggalkan semua rahasianya di sana.” Alhasil, ending dalam film In the Mood for Love itu pun dibuat serupa dengan dialog yang dihadirkan dalam adegan sebelumnya.
Sedangkan ending Kala Rau When the Sun Got Eaten, tak memiliki sebuah tanda atau dialog yang membangunkan kita untuk menarik satu premis terhadap ending. Menampilkan sosok Pak Agus yang memenuhi mulutnya dengan senter, bertepatan dengan munculnya gerhana matahari, sebenarnya membuat saya, mungkin juga para penonton terkejut, dan menduga bahwa ternyata Pak Agus menjelma sebagai Kala Rau.
Namun, tak ada penjelasan tentang gagasan apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Medy dalam film pendeknya. Jangan terlalu mudah percaya ke orang lain kah? Atau setiap orang mempunyai sifat yang disembunyikankah? Akhirnya itu membuat penonton tak menggenggam kepuasan terhadap ending yang ada.
Di samping itu, bagi saya sendiri, Kala Rau When the Sun Got Eaten, sungguh film pendek yang mempesona dari segi sinematiknya, permainan tone serta sisi-sisi pengambilan shot, memanjakan mata para penonton. Terlepas dari itu, saya juga turut mengisi ruang kritis yang diberikan oleh Medy dalam sinemanya. Dan itu saya utarakan dalam tulisan ini.
Sinematografi yang indah dan sejuk, tidak menjamin pemahaman penonton akan sifat kejut dalam ending Kala Rau When the Sun Got Eaten. Ending yang terdapat dalam film tersebut, tidak menjawab penasaran para penonton, sebagaimana tak menjawab pertanyaan yang bergelimang dalam diri Sri. Hal itu tak lain dan tak bukan, dikarenakan kekuatan narasi yang dihadirkan dalam film tersebut kurang memadai, jadinya tak ada yang menjembatani antara pemahaman penonton dan ending yang disajikan.
Namun Medy bukanlah sineas muda yang tertinggal jauh. Film pendek yang digarap olehnya, topik yang diangkat, juga penggabungan mitos dalam sinemanya, meyakinkan saya bahwa Medy adalah sutradara muda yang memiliki karakteristik ke depannya. Mungkin takkan lama, karya-karyanya akan dikenal di mana-mana.[T]