Malu rasanya ketika melihat kawan-kawan sudah menyandang juara dan dicap sebagai mahasiswa berprestasi. Malu rasanya ketika mendengar nama-nama mereka disebut sebagai contoh penggerak lembaga.
Sedangkan saya ini apa? Memang saya sudah menjadi mahasiswa. Namun mahasiswa biasa-biasa saja, yang pakai seragam, lalu keluar-masuk kampus begitu saja. Tak ada yang memandang saya. Apalagi jadi mahasiswa terpandang. Bahkan nama pun sering dilupa.
“Eh, itu yang duduk di pojok itu, siapa ya?” kata seorang dosen. Pertanyaan seperti itu tak hanya sekali, tak hanya dari satu dosen, tapi berkal-kali, dan dari banyak dosen.
Duh. Betapa menyedihkan. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari nama-nama yang selalu dilupa. Tidak ada yang lebih memprihatinkan dari sosok yang senantiasa dianggap biasa-biasa saja.
Pernah saya berpikir mungkinkah proses yang biasa-biasa saja, yang saya jalani hari ini akan membuat saya menjadi orang sukses di masa depan? Apakah otak saya akan encer dengan sendirinya di kemudian hari?
Mungkinkah, dengan kuliah biasa-biasa saja, saya akan menjadi mahasiswa kritis dan memperoleh gelar cumlaude?
Tentu tidak. Egois rasanya jika menginginkan sesuatu tanpa dibarengi dengan aksi. Kita ada di dunia nyata, bukan di negeri dongeng. Jika menginginkan sesuatu hanya dengan menggoyangkan tongkat ajaib, kemudian simsalabim abracadabra, sesuatu yang kita inginkan tiba-tiba muncul dengan sendirinya, jelaslah itu mimpi.
Heeei, bangun, Sister!
Mungkin itu bisa terjadi karena ada jalur yang bernama keberuntungan. Namun apakah keberuntungan selalu datang di saat kita benar-benar membutuhkannya? Kemungkinannya sangatlah jauh.
Semua itu rencana Tuhan. Kita tidak tahu apa rencana Tuhan dan bagaimana Tuhan memberi jalan. Yang jelas keberuntungan itu layaknya permainan undian. Kita tidak tahu apakah nomor yang akan muncul sesuai dengan nomor yang kita pegang.
Ketika saya bertemu dengan mereka yang berprestasi, saya merasa jauh. Di sisi lain saya agak jengah juga mendengar jika seseorang dibangga-banggakan oleh banyak orang. Saya iri dan hanya bisa mengeluh.
Padahal saya tahu pencapaian yang mereka dapat tidak diperoleh secara instan. Mereka lakoni dengan proses latihan yang tidak kita ketahui.
Sebagai rekan yang dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu lulus dengan nilai yang memuaskan, saya ternyata tak punya usaha apa-apa. Beda dengan mereka. Mereka berusaha untuk terus berkembang dengan selalu berlatih, berani berpendapat dan menambah relasi.
Saya sibuk menyalahkan keadaan dan mengutuki diri.
Iri Dulu, Berusaha Kemudian
Tapi ngomong-ngomomg, wajar jika saya merasa iri. Karena iri itu manusiawi, meski iri juga dianggap sebagai tanda tidak mampu.
Namun, bolehlah iri dulu, tapi berusaha kemudian untuk membuat diri mampu. Artinya, bagaimana kita mengubah rasa iri itu menjadi motivasi untuk masa depan kita nanti tentunya.
Mengelola rasa iri menjadi motivasi juga bukanlah hal yang gampang. Tak semudah yang dipikirkan, apalagi kalau kita tidak tahu darimana harus memulai. Ditambah hal yang kita ambil bukan merupakan rencana yang telah kita susun sebelumnya, bukan hal yang kita bayangkan akan menjadi bagian dari hidup kita. Lebih-lebih hal yang sejak lama kita hindari.
Lucu rasanya mengingat sandiwara masa lalu. Saya pernah berjanji kepada orang tua saya. Jika saya kuliah, di tahun ke-3 mereka tidak perlu membayar uang perkuliahan saya lagi. saya akan mencari beasiswa dengan nilai saya.
Betapa gagah dan yakinnya diri saya di kala itu. Namun ketika memasuki dunia berkuliahan, nyali saya mulai menciut dan mulai kehilangan kepercayaan diri.
Saya dari kecil memang mudah tertarik akan banyak hal, namun juga mudah merasa bosan. Mungkin banyak dari anak-anak muda yang pernah merasa demikian atau sedang berada di fase itu. Sedangkan jika ingin mendapatkan hasil dari yang dikerjakan, sudah sewajarnya kita konsisten sampai hasil yang diinginkan tercapai.
Saya bukanlah orang yang kritis, Saya belum mampu mengembangkan argumen serta menanggapi pendapat seseorang secara matang. Ketakutan akan salah bicara juga memengaruhi saya untuk tidak berpendapat.
Ini pengalaman buruk. Dulu, waktu menginjak bangku SMP, saya bertanya akan suatu hal, apakah salah bicara atau bagaimana, saya ditanyakan balik mengenai hal itu dengan gaya yang menyeramkan, serta tatapan mengerikan dari teman-teman, saya merasa terbebani akan hal itu. Saya takut jika saya bertanya dan ditanyakan balik dan tidak bisa saya jawab.
Trauma semacam itu membuat saya susah mengelola motivasi. Tapi saya tetap berusaha, meski harus ditempuh secara perlahan-lahan.
Jika menulis opini saat tugas perkuliahan, saya berusaha mengerjakan secara mandiri, Meski begitu, maafkan saja, saya juga masih sering mengutip dari berbagai situs di internet.
Terkadang saya hanya mengganti dengan kata atau bahasa yang hanya disekitatan itu saja. Misalnya: kata “menabung” diubah menjadi “mengumpulkan uang,”. Memang terlihat sama saja. Hal ini saya lakukan semata mata untuk menghindari plagiarisme.
Tapi, mau apa lagi. Untuk menciptakan susunan kata yang lahir dari pemikiran sendiri, saya belum sepenuhnya bisa kemas menjadi rangkaian kalimat yang pas. Terlepas dari itu, kita dituntut untuk mengajukan pertanyaan saat atau setelah materi disampaikan. Kemampuan otak untuk memuat materi tidak secepat itu.
Setelah menjelaskan materi, kalimat sederhana namun membebani pun saya dengar dari dosen, “Apakah ada yang bertanya?”
Duarr! Seketika saya berdoa semoga malaikat-malaikat yang berwujud seorang teman mengajukan pertanyaan dan saya bisa menjawab dengan lancar. Doa lainnya, semoga jam perkuliahan cepat berakhir.
Untuk itulah, plis, plis, plis. Bimbinglah saya.
Saya tahu betul bahwa menulis, seperti menulis esai atau artikel opini,dengan diikuti diskusi tanya-jawab, bisa mengembangkan dan melatih kemampuan otak seseorang. Namun, kita jarang mendapat bimbingan yang benar tentang bagaimana dan apa-apa yang harus dilakukan agar anak muda bisa menjadi remaja yang kritis. Tentu tak bisa berkembang otak ini jika hanya menonton video edukasi dan diberi teori.
Jadi, plis, plis, plis, bimbinganlah saya secara langsung dengan sabar.
Jangan hanya memberi bimbingan kepada orang yang sudah dianggap mampu saja, namun bimbing juga yang baru saja memulai untuk berusaha, seperti saya, agar memiliki kepercayaan diri.
Saya tahu, kenapa berpikir kritis itu penting. Karena dengan memiliki karakter yang kritis, lebih mudah menjabarkan pendapat seseorang dan tidak mudah terpengaruh.
Dan saya ingin mengasah agar saya bisa bersikap kritis, bukan nyinyir, bukan protes tanpa juntrungan, bukan pula sekadar berkeluh-kesah.
Saya memang sering menulis, namun tulisan yang saya hasilkan masih belum murni hasil karya saya. Tujuan awal saya berkuliah, untuk mencari beasiswa. Pilihan untuk lanjut berkuliah, berasal dari hasutan seseorang. Jika ditanya saya masih belum tahu menjadi apa, mungkin bisa ke media penyiaran, periklanan, humas, dan sejenisnya.
Spesifikmya saya masih belum tahu mau ke mana secara pasti. Namun jika saya disuruh memilih saya berniat menjadi seorang penulis. Walau di bidang akademik saya masih kurang, namun saya cukup aktif dalam organisasi.
Pengetahuan dan pengalaman bukan hanya didapat dari satu sumber namun dari banyak sumber. Bagaimana kita menaruh interest atau ketertarikan terhadap suatu hal. Bertanggung jawab, terhadap apa yang kita pilih sebagai sebuah konsekuensi adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola pikir kita. Rasa tanggung jawab itu akan menimbulkan semangat untuk menjalaninya.
Jangan khawatir.Keluhan-keluhan yang saya sampaikan ini tidak akan membuat saya ingin berhenti kuliah, apalagi sampai membuat saya ingin bunuh diri. Tidak. Justru ini membuat saya menjadi semangat untuk kuliah, keinginan untuk membuktikan diri mendorong saya untuk bertahan. Saya mengikuti berbagai kegiatan berhubungan dengan prodi yang saya ambil. Alhasil saya bisa menulis ini, pertama kalinya saya tidak mengutip dari berbagai situs. Ini hasil dari argumen dan pemikiran saya.
Jadi tekanan untuk menjadi terbaik atau setara dengan yang telah dikenal dan dianggap sebagai salah satu yang terbaik memang susah. Namun bagaimana cara kita mengerti akan situasi yang ada. Belajar untuk menerima lingkungan sekitar. Hal yang terjadi belum tentu sesuai dengan ekspektasi kita. Belajarlah dari orang lain, bukan meniru orang lain. [T]