Bagi beberapa generasi seniman era sekarang tentu tidak banyak yang mengenal I Dewa Putu Serong. Kehidupan seniman ini dalam kesehariannya adalah sebagai petani dengan penampilannya yang sederhana.
Ia dilahirkan di lingkungan Banjar Tengah Desa Batuan Gianyar pada tanggal 31 Desember 1925, beristrikan anak dari seniman Pande Timtim yang bernama Jro Nami, dari Banjar Pekandelan Desa Batuan Gianyar.
Ia belajar secara otodidak dari seniman gambuh di Batuan kala itu untuk dapat menguasai teknik permainan gamelan gambuh gaya Batuan. Keinginan untuk menempa diri dan pergaulannya dengan beberapa seniman senior di desa seni ini membuat beliau cepat menguasai ilmu teknik bermain kendang, sehingga teknik pukulannya memiliki ciri khas yang kental (agol).
Di setiap penyajian kesenian gambuh yang tergolong bebali ini Dewa Putu Serong khusus sebagai pemain Kendang lanang. Berkat kemampuannya banyak yang berguru kepada beliau, dan telah banyak memiliki murid baik dari tingkat lokal maupun mancanegara.
Darah kesenimanannya sekarang dilanjutkan oleh keponakan dan cucu-cucunya. Salah satu warih ida Dokak Silungan adalah Dewa Dirga Pacung, yang era 1990-an pernah belajar menari pada I Made Bukel.
Perkembangan Bali yang semakin pesat di bidang seni yang ditandai dengan berdirinya perguruan tinggi seni yakni Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bali, keahliannya Dewa Putu Serong sebagai seniman gambuh sangat dihargai dan diperhitungkan.
Terbukti diangkatnya ia sebagai Dosen/Asisten Tidak Tetap pada lembaga seni ASTI Denpasar. Bukti otentiknya terdapat di arsip penulis yang tertera tahun 1975 saat pimpinan ASTI (ISI) Denpasar Mertha Sutedja.
Tentunya membagi ilmu di lembaga pendidikan tinggi seni suatu kebanggan buat beliau, dan sebagai pengajar secara tidak langsung memiliki tanggung jawab besar bagi kelestarian gambuh gaya Batuan yang saat itu sebagai salah satu mata kuliah yang harus ditempuh oleh mahasiswa ASTI Denpasar.
Proses perkuliahan secara akademik selain gambuh gaya Desa Batuan, mata kuliah yang mesti ditempuh oleh mahasiswa ASTI Denpasar yakni; gambuh gaya Pedungan, Legong Saba, Binoh, Legong Peliatan, dan lain sebagainya. Walaupun sebagai asisten dosen, beliau selalu rendah diri dan tidak segan-segan untuk selalu berbagi ilmu pada insan seni sekalipun sudah di luar kampus.
Pengalaman berharga misi kesenian dari Dewa Putu Serong di antaranya adalah ikut serta dalam rombongan Darma Kanti yang merupakan gabungan ASTI Denpasar dengan Sekaa Gambuh Mayasari Batuan.
Misi kesenian tersebut bertandang ke negeri Sakura/Jepang pada tahun 1982 selama kurang lebih satu bulan, dengan pimpinan rombongannya oleh Bapak Prof. I Made Bandem.
Di tahun 1993 melawat ke negara Eropa; Swis, Austria, Francis, dan Jerman selama kurang lebih tiga minggu bersama Sanggar Tari Bali Nyoman Kakul dengan pimpinan rombongan I Ketut Kantor. Pada kedua misi itu ia tetap sebagai pemain kendang lanang pagambuhan.
Seniman Batuan-Bali ini, karena terkait dengan administratif kewilayahan, akhirnya ia berdomisili di Banjar Silungan Ubud Gianyar. Saking lamanya bertempat tinggal di wilayah itu, kami memanggil ia dengan sebutan Dokak Silungan.
Ia adalah salah satu guru penulis dalam bidang gamelan pagambuhan gaya Batuan, khususnya teknik permainan Kendang Lanang. Saat menuntut ilmu, jika tidak ada waktu untuk bertandang ke rumahnya (Jero), sewaktu-waktu ia yang datang ke rumah penulis dengan penampilan gayanya yang kental yakni selalu berpakaian adat dengan udeng (destar) batiknya.
Saat datang ke rumah penulis, ia akan berceloteh; “apang maan dokak mesliahan mulih, sambillang ngorte ajak bapak wake e (agar dapat saya refresing pulang, sambil berbincang-bincang dengan ayahmu). Semasih ia aktif, sekaa Gambuh Mayasari, Sekaa/ Sanggar Tari Bali I Nyoman Kakul (Kakul Mas) adalah tempat Sang Maestro mendedikasikan ilmunya.
Patut disyukuri, karena sebelum berpulang (2019) kepada-Nya, salah satu struktur lagu pagambuhan telah beliau berikan kepada penulis walau masih sangat sukar dipahami. Struktur gending Tembung lengkap seperti struktur lagu iringan tokoh Arya/Kade-kadean yang jarang digunakan sampai pada bagian pangawak, pangecet, dan pakaad.
Memiliki andil besar dalam mewujudkan pelestarian kesenian Bali, ia telah mewarisi kesenian nan adi luhung ini kepada generasi seniman Bali, khususnya bagi Desa Batuan, dan patut berbagga atas sosok ketauladannya.
Kini sosoknya telah tiada, namun spiritnya selalu menjadi motivasi kami dalam mengemban, memikul berat ringan bagi ajeg lestarinya kesenian dramatari gambuh gaya Batuan Gianyar.[T]