Minggu 20 Juni 2021, pukul 18.15 WITA. Matahari sudah rebah di cakrawala barat. Pelan saya kayuh pedal keluar dari Pelabuhan Gilimanuk. Mata saya celingukan mencari hotel murah di jalan raya menuju Sekik.
Selama bersepeda, saya berusaha mencari hotel murah dengan kamar di lantai 1, agar sepeda bisa masuk kamar. Selain untuk keamanan, saya tidak mau repot melepas pannier.
Baju, piranti mandi, dan berbagai macam tool untuk servis ringan, saya masukkan di dalam pannier. Tas yang didesain khusus untuk bersepeda itu saya gantung di sisi kiri dan kanan rak belakang.
Setelah mencari beberapa saat, saya menemukan hotel kecil tidak jauh dari jalan raya. Melihat kondisi bangunannya, sepertinya hotel baru selesai dibangun.
“Ada kamar?,” tanya saya pada resepsionis. Perempuan muda, usianya tidak lebih dari 25 tahun.
“Ada Pak.”
Harga resminya Rp300 ribu. Karena pandemi dan sepi pengunjung, didiskon 50%. Saya perhatikan, kelihatannya hanya saya tamu yang menginap di hotel ini.
“Saya besok pukul lima pagi harus sudah berangkat, apakah bisa disiapkan sarapan?”
“Pagi sekali, Pak? Di sini jam lima masih gelap lho. Mau ke arah Singaraja atau Denpasar?”
“Singaraja.”
“Saran saya, sebaiknya pukul enam atau setengah enam saja. Apalagi ke Singaraja harus melewati hutan yang lumayan panjang.”
Rencana semula, saya menuju Pelabuhan Padangbai melalui jalur selatan: Negara, Tabanan, Denpasar, Padangbai. Tapi sahabat saya, Putu Sutawijaya, menyarankan lewat utara.
Salah satu maestro seni rupa Indonesia itu menyampaikan bahwa jalur utara lebih menarik. Menurutnya, Kabupaten Buleleng memiliki banyak pura kuno dengan karakter ukiran yang khas dan unik. Salah satunya adalah Meduwe Karang.
Saya tanya kepada kemenakan saya yang sering ke Padangbai melalui jalur utara. Apakah jalur tersebut ramah buat pengendara sepeda.
“Aman Om. Ada sih tanjakan, tapi nggak terjal. Saya sering lewat sana,” jelasnya.
Saya percaya, dan memutuskan lewat utara.
Senin, 21 Juni 2021 pukul 05.30 WITA. Setelah makan setangkup roti bakar keju dan teh manis, saya berangkat meninggalkan hotel.
Sepagi itu Gilimanuk masih remang-remang. Saya nyalakan lampu depan dan belakang. Saya menuju arah Singaraja dalam udara pagi yang menyejukkan.
Beberapa puluh meter sebelum pertigaan Cekik, saya berhenti. Saya lupa menyalakan cyclocomp. Jalanan masih sepi. Satu-dua pengendara motor memberi semangat dengan menunjukkan ibu jari.
Setelah belok ke pertigaan Cekik, saya merasa ada yang mengikuti. Saya lihat dengan sudut mata, seseorang mengendarai sepeda, sepertinya MTB.
Saya mencoba menambah kecepatan, dia juga tidak mau kalah. Saya mulai masuk kerimbunan belantara Taman Nasional Bali Barat yang berkabut tipis.
Jalanan masih sangat sepi meskipun suasana sudah mulai terang. Sinar matahari menerobos celah dedaunan. Panah-panah cahaya menghujam aspal basah dari sisa hujan semalam.
Pesepeda di belakang saya masih terus mengikuti. Saya lirik lagi dengan sudut mata, tubuhnya tampak kekar. Saya mulai khawatir.
Saya tidak memiliki ilmu beladiri, apalagi ilmu kebal. Saya bukan pendekar silat yang melumpuhkan musuh sekali pukul seperti dalam film. Pun saya juga tidak punya senjata.
“Mau ke mana, Pak?”
Sunyi. Saya ragu apakah dia benar-benar menyapa saya.
“Paak!”
Saya menoleh ke belakang. Orang di belakang saya tersenyum ramah. Lelaki muda, sekitar 30 tahun. Mungkin lebih. Badannya kekar. Tangan kirinya penuh tato.
“Ke Singaraja.”
“Sendiri!?”
“Iya.”
“Berangkat dari mana?”
“Gresik.”
“Wah! Jauh juga ya!.”
“Anda mau ke mana?”
“Dari rumah. Ini mau bersepeda dekat-dekat sini saja.
Saya mengurangi kecepatan sehingga kami bersebelahan. Anak muda itu mengeluarkan ponsel.
“Boleh saya videokan?”
“Buat apa, Bli?”
“Buat saya share ke kawan-kawan komunitas sepeda. Boleh kan, Pak?”
“Silakan.”
Setelah keluar hutan, ada perkampungan kecil. Anak muda itu pamit, katanya mampir menemui kawannya. Kami pun berpisah.[T]